atheis |
12th May 2011 10:19 AM |
Aktivis Sebut 8 Pasal RUU Antiterorisme Multitafsir
Quote:
TEMPO Interaktif, Jakarta - Imparsial, lembaga pegiat hak asasi manusia, mengkritik rancangan perubahan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Menurut Direktur Program Imparsial, Al-Araf, sejumlah pasal dalam rancangan perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 itu bersifat multitafsir dan tak berpihak pada hak asasi manusia.
Imparsial menyoroti delapan poin dalam rancangan perubahan yang dianggap memperburuk ketidakseimbangan antara keamanan dan kebebasan sipil. Misalnya, Pasal 9A dalam rancangan itu, yang berbunyi �Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan potensial sebagai bahan peledak atau membahayakan jiwa manusia dan/atau lingkungan dapat dianggap sebagai teroris dan dijerat dengan RUU tersebut�.
Imparsial menilai, pasal itu bisa menimbulkan multitafsir. �Bahan-bahan potensial itu apa? Yang bagaimana? Pasal ini bisa berbahaya,� kata Araf, Rabu 11 Mei 2011.
Imparsial juga mempersoalkan perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari. Menurut Araf, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saja masa penangkapan hanya satu hari.
Perpanjangan masa penahanan pun tak sejalan dengan prinsip peradilan pidana yang menganut asas sederhana, cepat, dan murah. �Dengan masa penangkapan tujuh hari saja, polisi sudah berhasil membongkar jaringan sekaligus menangkap tersangka baru,� kata Araf.
Ironisnya, menurut Araf, perpanjangan masa penahanan itu tidak diikuti dengan pemenuhan hak rehabilitasi warga jika diketahui menjadi korban salah tangkap. �Ini berpotensi melanggar hak asasi.� Imparsial mencatat ada 36 kasus salah tangkap dengan tuduhan terorisme dalam kurun waktu 2004-2009.
Menurut Araf, sejumlah pasal lama dalam UU No.15/2003 justru seharusnya dibenahi pemerintah terlebih dahulu. Misalnya, definisi tindak pidana terorisme yang terlalu luas, mengancam kebebasan pers, dan memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan negara. �Kenapa tidak pasal-pasal ini dulu yang direvisi,� katanya. �Bukan menambah pasal baru yang menambah panjang deretan ketakberpihakan pada hak asasi.�
Anggota Komisi Pertahanan DPR, Hidayat Nur Wahid, mengatakan belum bisa mengomentari kekhawatiran para aktivis soal revisi Undang-Undang Antiterorisme itu. Alasannya, �Pemerintah belum mengajukan drafnya ke DPR.�
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, draf revisi Undang-Undang Anti-Terorisme kecil kemungkinan dibahas dalam masa persidangan kali ini. Alasannya, pembahasan tidak ada dalam agenda pembahasan undang-undang itu di Komisi I. Meski demikian, Hidayat memahami semangat Imparsial. �Kami berprinsip bersama rakyat untuk memperjuangkan tegaknya hak asasi dan kebebasan sipil.�
| MUNAWWAROH | FEBRIYAN
|
|