![]() |
Hemofilia, Tetap Dapat Hidup Normal IBARAT keramik, pasien hemofilia harus berhati-hati menjaga dirinya dari benturan atau terjatuh. Dengan pencegahan dan terapi tepat, orang dengan hemofilia tetap dapat hidup normal.
"Ingat ya Dek, di sekolah jangan kecapekan, nanti badanmu biru-biru!" Itulah pesan yang senantiasa dilontarkan Raisah, 41, setiap kali menghantarkan putranya, Ilham, berangkat ke sekolah. Entah sudah berapa kali pesan singkat itu diucapkannya. Sebagai ibu yang memiliki anak yang menderita hemofilia, Raisah acap kali merasa was-was jika buah hatinya itu beraktivitas berlebihan di sekolah. Pasalnya, setiap kali Ilham kecapekan atau terbentur, badannya gampang menjadi biru atau bengkak. "Bahkan, pernah tangannya sampai agak bengkok. Makanya, saya larang dia ikut olahraga di sekolah. Kalau luka, darahnya keluar terus-menerus, misalnya waktu giginya patah. Darah baru mampat kalau sudah minum obat," sebutnya. Wanita berkulit putih ini berkisah, dirinya mendeteksi badan Ilham kerap biru dan bengkak sejak putra sulungnya itu berusia 4 tahun. "Waktu bayi sih enggak pernah," katanya seraya mengungkapkan bahwa sejak terdiagnosis hemofilia, tak terhitung berapa liter darah yang telah ditransfusikan ke tubuh Ilham. "Awalnya, saya dan suami tidak paham kalau dia menderita hemofilia. Setelah diberi tahu dokter dan berkunjung ke pusat hemofilia di RSCM Jakarta, kami pun jadi lebih aware. Apalagi putra kedua kami juga ternyata mengalami hal yang sama dengan kakaknya," tutur Raisah yang memutuskan untuk ikut KB steril agar tidak hamil lagi. "Sekarang Ilham sudah berusia 21 tahun dan sudah bekerja. Saya yakin dia sudah lebih mampu menjaga dirinya sendiri," imbuhnya optimistis. Secara awam, hemofilia dicirikan dengan kondisi di mana darah sukar membeku atau tak kunjung berhenti mengalir manakala terjadi luka. Hal ini disebabkan protein yang diperlukan untuk pembekuan darah tidak ada atau jumlahnya sangat sedikit. Kelainan perdarahan ini diturunkan dari orangtua kepada anaknya melalui kromosom X. Itulah sebabnya, hemofilia (terutama hemofilia A) umumnya terjadi pada laki-laki. Pasalnya, kaum adam hanya memiliki satu kromosom X (XY), sedangkan wanita berkromosom dobel X (XX). "Untuk wanita biasanya hanya carier (pembawa sifat). Misalnya seorang pria hemofilia yang menikah, lalu punya anak, maka hampir semua anak perempuannya merupakan carier hemofilia," ujar Spesialis Anak Konsultan Hematologi-Onkologi FKUI Prof Dr Djajadiman Gatot SpA(K). Contoh kasus lainnya, jika seorang pria penderita hemofilia A menikah dengan perempuan penderita hemofilia A, maka semua anaknya baik laki-laki maupun perempuan akan menderita hemofilia A. Namun, jika ibu adalah pembawa dan sang ayah normal, maka anak laki-laki akan memiliki risiko terkena hemofilia sebesar 50 persen, dan anak perempuan memiliki peluang menjadi pembawa gen tersebut sebesar 50 persen. Prevalensi hemofilia A di seluruh dunia diperkirakan 1/10.000 pria, dengan insiden 1 dari 4.000 kelahiran bayi lakilaki. Gejala kelainan ini biasanya sudah tampak sejak kecil. Misalnya, kulit bayi yang kerap mengalami biru-lebam saat belajar merangkak, atau terjadi perdarahan di kelamin bayi saat area kelaminnya dibersihkan (digosok) dengan popok kain atau diapers. "Perhatikan bahwa kalau anak kesenggol sedikit saja langsung bengkak dan biru, atau siku mendadak bengkak tanpa disertai nyeri di bagian lainnya, maka orangtua patut curiga!" kata dokter yang akrab disapa Gatot. Sayangnya, kurangnya pengetahuan acap kali menyebabkan terlambatnya pengobatan. Padahal, hemofilia yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat menyebabkan kelumpuhan, kerusakan pada persendian, hingga cacat dan kematian dini akibat perdarahan yang berlebihan. |
All times are GMT +7. The time now is 03:46 PM. |