Ceriwis

Ceriwis (https://forum.ceriwis.com/forum.php)
-   Lounge (https://forum.ceriwis.com/forumdisplay.php?f=9)
-   -   Tulisan Ferry Fadli Sang Brama Kumbara (https://forum.ceriwis.com/showthread.php?t=994028)

lumpiabasah 27th May 2012 05:34 PM

Tulisan Ferry Fadli Sang Brama Kumbara
 

ANDAI PEMIMPIN KITA SEPERTI BRAMA KUMBARA



Ada catatan dan kesan yang sangat khusus menyangkut keterlibatan saya sebagai pemain sandiwara radio. Di tahun 80-an, sandiwara berjudul Saur Sepuh yang saya mainkan bersama beberapa rekan, sedemikian populer di seantero Indonesia. Banyak sekali penggemar, dan uniknya, di antara mereka ada yang bila bertemu lantas minta 'berkah' karena mereka mengidentikkan diri saya dengan tokoh utama yang saya perankan dan sangat diidolakan, yakni seorang raja bernama Prabu Brama Kumbara.

Di balik fenomena itu, saya kira, tercermin kerinduan mereka akan adanya tokoh pemimpin yang karakternya seperti Brama Kumbara. Karakter itu di antaranya merakyat, rendah hati, welas asih, arif bijaksana, teguh pendirian, tegas, adil, melindungi, tahu apa yang dibutuhkan rakyatnya, dan sebagainya.



Teater dan Kekayaan Batin

Dunia teater yang saya tekuni sejak 1973, telah mendarah daging sebagai bagian dari kehidupan keseharian saya. Sebagai sumber pengayaan batin, teater memiliki keunikan dan keindahan tersendiri.



Menurut pendapat saya, akan sangat baik jika dunia teater diperkenalkan pada anak-anak sejak dini. Melalui kelompok teater kita dapat meluaskan wawasan tentang aneka-rupa karakter manusia, aneka-rupa masalah kemasyarakatan yang ada di sekitar kita, dan sebagainya.



Pelajaran tentang kemandirian, tanggung jawab, kebersamaan, tenggang rasa, dan persatuan-kesatuan, pun dapat diperoleh melalui kegiatan teater, sehingga perasaan simpati dan empati pada sesama akan terasah menjadi tajam penuh kepekaan. Sedangkan manfaat praktisnya, paling tidak, cara bicara akan terlatih menjadi lebih baik, sehingga dapat lebih mudah mengkomunikasikan apa saja pada orang lain.



Kebersamaan dan rasa persatuan-kesatuan dalam dunia teater memang merupakan tuntutan mutlak yang harus ada, karena pengaruhnya besar sekali terhadap berhasil-tidaknya pertunjukan. Dengan seringnya latihan, kebersamaan dan rasa persatuan-kesatuan itu akan terbina di antara sesama pemain.Kedisiplinan dan rasa tanggung jawab juga merupakan keharusan yang tidak selayaknya dianggap sepele. Khususnya disiplin waktu dan tanggung jawab terhadap janji atau apa pun yang telah dikomitmenkan, sangat menentukan kekompakan dan hubungan baik di antara anggota teater, yang pada gilirannya juga mempengaruhi hasil akhir pementasan. Jika, misalnya, satu saja pemain ada yang terlambat datang latihan, maka paling tidak pasti ada pemain lain yang kesal, sehingga 'mood'nya terganggu. Belum lagi, untuk dapat saling memahami karakter lawan main, misalnya, jelas diperlukan 'kumpul-kumpul' yang intens, dan ini membutuhkan ketepatan waktu.



Bagi saya pribadi, soal ketepatan waktu sudah menjadi tradisi sejak kecil, bahkan telah saya jadikan sebagai salah satu filosofi hidup. Dengan bergabung di teater, maka hal itu menjadi lebih mengental lagi. Saya benar-benar menyadari bahwa ketidaktepatan pada waktu berpotensi membuat banyak urusan menjadi kacau-balau, lebih-lebih jika urusan itu merupakan kerja tim.



Melalui kegiatan teater, kita juga belajar merasakan arti kepuasan batin; hal ini, secara langsung atau tak langsung akan menjauhkan kita dari sikap mendewakan materi. Dari situ kita akan lebih memahami hakekat materi, dalam bentuk apa pun, yang tidak lebih dari sekedar alat yang memang berguna untuk mempermudah hidup, tapi jelas bukan tujuan hidup itu sendiri.



Jika kita selesai mengadakan pentas dan sukses, ada kegembiraan yang bukan main, indah sekali; semua yang sudah kita lakukan selama masa latihan dengan susah payah, dengan segala persoalan yang ada, termasuk rasa lelah seolah hilang seketika dan berganti dengan kepuasan batin yang luar biasa. Tapi kalau pementasan gagal, menyakitkannya juga bukan main; kadang sampai seminggu tidak kunjung hilang.

Sambil lalu, penonton Indonesia dikenal pelit memberi aplus, tepuk tangan lantaran sifat umumnya yang memang kurang spontan dan kurang ekpresif. Namun justru karena itu, kalau mereka berkenan memberi aplus, maka terasa lebih berarti sebagai penambah semangat. Sayangnya, perkembangan teater di Indonesia secara umum terjadi pasang-surut dan cenderung sulit maju. Hal ini, selain dikarenakan masalah internal, terutama sehubungan dengan kedisiplinan yang memang belum menjadi budaya kita, juga disebabkan oleh kendala eksternal.



Kendala eksternal itu setidaknya ada dua. Pertama, dari segi bisnis teater masih kurang menarik, sehingga belum banyak produser yang mau terjun mendanai; kelompok-kelompok teater biasanya dengan susah-payah memproduseri mereka sendiri. Kedua, menjamurkan stasiun televisi swasta yang tayangannya didominasi hiburan-hiburan ringan, berpotensi memperkecil minat orang terhadap teater. TVRI telah membuka pintu lewat program yang diberi tajuk 'Teatronik'; namun tampaknya kurang berhasil menyedot minat masyarakat secara cukup signifikan. Oleh karena itu, alangkah bagusnya jika stasiun-stasiun televisi swasta berperan serta dengan mengagendakan program acara teater, minimal teater anak-anak sebagai wahana pemupukan minat dan kaderisasi insan teater.



Sulih-suara dan Sinetron

Mulai tahun 1976, bidang sulih-suara (dubbing), termasuk sandiwara radio, mulai saya tekuni tanpa meninggalkan aktivitas teater, sambil sesekali terlibat dalam produksi sinetron atau film. Ini lantaran dunia teater belum dapat diandalkan untuk kelangsungan hidup. Jadi, terus terang, motif utamanya menyangkut penghasilan. Sementara orang berpendapat, sulih suara dapat merusak ruh dan menghilangkan latar budaya film/sinetron yang yang disulih suarakan. Menurut saya tidak demikian, sebab kenyataannya penonton tetap dapat merasakan adanya aspek budaya yang melekat sesuai asal negara yang memproduksi film/sinetron yang bersangkutan, apalagi mengingat film-film/sinetron dari luar umumnya memiliki warna khas.





Kenyataan tersebut berbeda dengan film/sinetron nasional yang kebanyakan tidak jelas warnanya, tidak punya ciri khas yang dapat dibanggakan sebagai penegas jatidiri bangsa. Dalam pemilihan pemain misalnya, para produser cenderung mengedepankan wajah-wajah indo, atau belakangan juga wajah-wajah kontinental; yang pasti pertimbangan utamanya bukan kemampuan akting. Dalam soal tema cerita pun ada kecenderungan latah, tanpa rasa malu terlalu mudah meniru-niru lakon dari luar yang sukses secara komersial.



Mestinya para pegiat sinetron kita memiliki karsa untuk menggali dan mengembangkan materi-materi cerita yang membumi, dalam arti merupakan bagian dari realitas yang ada di tengah masyarakat kita sendiri. Jangan lagi kebarat-baratan, atau kemandarin-mandarinan, atau keindia-indiaan, dan sebagainya, seraya terlalu banyak menjual mimpi kemewahan, sementara kenyataannya mayoritas masyarakat kita masih jauh dari kehidupan berkecukupan, selain juga masih kurang terdidik.

Dalam berhubungan dengan produser pun, terutama di sinetron, secara umum masih sering dihadapi kendala yang menghambat. Mereka kadang kurang terbuka mengenai honor, cenderung menekan, dan kurang menghargai senioritas dan kualitas akting. Hal ini tak lepas dari maraknya sistem bintang; penghargaan lebih didasarkan atas popularitas dan 'daya jual' pemain, tanpa mempedulikan yang bersangkutan cukup mampu atau tidak, sehingga terasa tidak adil bagi para senior.Kembali ke soal sulih-suara; ketika awal-awalnya film/sinetron asing disulih suarakan, saya sendiri merasa aneh, apalagi waktu itu --seperti yang kita saksikan di TVRI-- yang mengerjakannya memang kurang bagus. Tapi kemudian, setelah saya sendiri terjun, saya melihat ada tantangan tersendiri yang memang tidak mudah. Saya melihat peluang, asalkan dikerjakan secara serius, untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, sekaligus dapat menghibur pemirsa, terutama ibu-ibu yang kebanyakan tidak menguasai bahasa asing.



Lebih dari itu, dunia sulih suara juga dapat dijadikan sumber penghasilan yang cukup menjanjikan. Tentu, hal itu mensyaratkan kerja keras, tidak setengah-setengah, dan mau terus-menerus belajar untuk meningkatkan kemampuan diri.Oleh karena itu, seorang pesulih-suara (dubber) harus mau berlatih keras, termasuk latihan nafas dan olahraga, mengingat modal vokal yang bagus saja belum merupakan jaminan. Selain itu juga harus menjauhkan diri dari sikap menggampangkan; antara lain ditunjukkan dengan kesediaan sebelum take untuk membaca naskah berulang-ulang agar lebih mampu menghayati peran.



Alam dan Pembangunan

Di luar segala aktivitas rutin, tiap ada waktu senggang saya berusaha mengakrabi tanaman. Semua tanaman, lebih-lebih bunganya, di mata saya tampak menarik. Bagi saya, bunga identik dengan keindahan yang memperindah kehidupan. Saya juga mencintai hutan, gunung, dan pantai. Setiap kali berada di dalamnya, saya merasa begitu kecil, takjub, dan mengagumi keagungan Sang Pencipta. Di samping itu saya memang lebih menyukai keheningan hutan daripada keramaian mall dan sejenisnya; setelah dari hari Senin sampai Jum'at bersibuk-sibuk di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, maka sekali waktu mencari suasana hening di tempat sepi merupakan bagian dari upaya menciptakan keseimbangan hidup.







sumber

</div>


All times are GMT +7. The time now is 02:57 PM.