Tantangan Agama Hindu dan Budaya Bali
Tantangan era globalisasi yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Bali seperti dikemukakan oleh Ardika (2005:18) dengan mengutip Appadurai dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul di mana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersial. Uang dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan.
Dilihat dari perspektif Agama Hindu, kondisi zaman dewasa ini telah dinujumkan dalam kitab-kitab Purana yang menyatakan bahwa sejak penobatan prabhu Pariksit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai memasuki zaman Kaliyuga (Gambirananda,1984:XIII). Kata Kaliyuga berarti zaman pertengkaran yang ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan material. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan memuaskan nafsu indrawi (Kama) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri zaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi dengan muatan filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi pada material dan usaha untuk memperoleh kesenangan nafsu berlaka. Dengan tidak mengecilkan arti dampak postif globalisasi, maka dampak negatifnya nampaknya perlu lebih diwaspadai. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur. Di mana-mana nampaknya masyarakat mudah tersulut pada pertengkaran.
Kitab Skanda Purana, XVII.1 menyebutkan pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia, yaitu pada: kekuasaan (politik), minuman keras, perjudian, pelacuran, dan harta benda/kekayaan (Mani, 1989:373). Berdasarkan uraian di atas, dampak negatif globalisasi terhadap Agama Hindu dan budaya Bali antara lain di bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi9. Akibat dampak negatif tersebut cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti dikemukakan oleh Suacana (2005:5) sebagai berikut.
1) Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali. Potensi ini makin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin membuat tembok pembatas antara �kekitaan� dan �kemerekaan� (we-ness dengan other-ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya inmigrasi dari luar pulau Bali.
2) Konflik antar kelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarkhi pun mulai menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.
3) Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak, kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai konflik kasta10.
4) Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali, dan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep �back to Veda� yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai �aliran baru�. Kristalisasi indikator kontemporer masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yang berlangsung hingga saat ini, yakni Parisada vesi Campuhan dan Besakih.
5) Konflik antarkabupaten/kota, terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah (UU No.22 Tahun 1999), yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan.
Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi sosialnya relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplemetasikan nilai-nilai bersama, serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan (Suacana, 2005:6).
Sejalan dengan upaya yang ditawarkan oleh I Wayan Gede Suacana di atas, I Wayan Geriya menyatakan: �Pada dasarnya masyarakat Bali memiliki tumpuan dan referensi potensi untuk menghadapi aneka tantangan, baik potensi normatif seperti konsep, nilai, dan filosofis maupun potensi real yang mencakup institusi dan pengalaman bersama dalam menghadapi berbagai gangguan dan ancaman� (20-02-0 6. Gangguan dan ancaman terbukti dari tragedi bom Kuta (12 Oktober 2002) dan tragedi bom Jimbaran (1 Oktober 2005) yang bila tidak ada kearifan masyarakat Bali memungkinkan terjadi konflik yang lebih besar seperti halnya yang terjadi di Ambon maupun Poso.
Berkenaan dengan potensi konflik yang dihadapi sebagai dampak negatif dari globalisasi yang menimpa Bali kiranya perlu dilakukan beberapa langkah aksi, antara lain.
1) Menumbuh kembangkan konsep atau nilai kesadaran persaudaraan yang sejati intern umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya, sebagai wujud solidaritas yang telah tertanam sejak pertumbuhan budaya Bali. Setiap penduduk Bali mesti memiliki kesadaran untuk membangun Bali dan bukan membangun atau hanya mencari keuntungan di Bali.
2) Menumbuh kembangkan kesabaran sebagai wujud pengamalan ajaran agama dengan menempuh musyawarah untuk mufakat. Tindakan anarkhis tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
3) Meningkatkan kualitas pendidikan Agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis, dengan demikian konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus yang laten dan berlarut-larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua makhluk (manusia) adalah bersaudara (Vasudhaiva kutumbhakam) dan semua makhluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah) maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran Agama Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, dan bahkan tidak eksklusif.
4) Memperjuangkan terus otonomi daerah di tingkat provinsi untuk mencegah konflik antarkabupaten/kota.
5) Memperjuangkan peradilan Agama Hindu di Bali sejalan dengan Otonomi Daerah dengan kekhasan budaya Bali untuk mencegah penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan hukum Agama Hindu, antara lain yang menyangkut kepanditaan, kepemangkuan, sidhikara, perkawinan dan sebagainya.
Selanjutnya dalam usaha untuk tetap ajegnya Agama Hindu dan budaya Bali perlu terus menerus dikembangkan pemahaman dan pengamalan berbagai kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur masyarakat Bali, antara lain sebagai berikut.
1) Kearifan untuk mengharagai kepercayaan prasejarah seperti Bhattara Da Tonta di Terunyan, yang kini disebut sebagai Bhatara Pancering Jagat (Dewata Tertinggi masyarakat Terunyan), dalam wujud arca megalitik dan kini ditempatkan dalam bangunan suci meru, yang merupakan bangunan suci menurut Agama Hindu.
2) Kearifan untuk menghargai kepercayaan yang berbeda di antara kepercayaan China (Kong Hu Chu) dengan membangunan satu bangunan suci untuk memuja Ratu Subandar (dari kata Syahbandar) yang di masa silam menangani pelabuhan termasuk pajak berkaitan dengan pelabuhan dan lalulintas barang. Bangunan suci ratu Subandar (yang juga disebut Kong Cho) dapat dijumpai di Pura Agung Besakih, Pura Ulundanu Batur, Pura Dalem Balingkang, di bebera Pura Desa di Kecamatan Kintamani dan lain-lain. Di Goa Gajah ditemukan peninggalan Agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan. Di Pura Silayukti, Mpu Kuturan dipuja sebagai penganut Siva dan Buddha, dan lain-lain.
3) Ajaran Tattvamasi dan Vasudhaiva Kutumbakam, yang memandang bahwa setiap makhluk hakekatnya sama, karena ada atma yang menghidupkan setiap makhluk dan memahami bahwa semua makhluk adalah bersaudara, bagaikan sebuah keluarga.
4) Ajaran Tri Hitakarana yang artinya tiga hal yang menyebabkan terwujudnya kebahagiaan dengan membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa) (Parhyangan), antar sesama umat manusia (Pawongan), dan manusia dengan alam sekitar termasuk makhluk rendahan lainnya (Pelemahan).
5) Konsepsi Desa, Kala, dan PatraKonsepsi ruang, waktu manusia yang berintikan penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima perbedaan dan persatuan sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar, sepanjang tidak menyimpang dari essensinya.
6) Konsepsi Karmaphala. Konsepsi berlandaskan hukum sebab akibat karena perbuatan yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi ini merupakan landasan bagi pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral dalam berbagai segi kehidupan.
7) Konsepsi Taksu dan Jengah. Taksu dan Jengah merupakan dua konsep dalam kebudayaan Bali yang perlu dihayati dan dikembangkan, karena sangat relevan untuk menjaga ketahanan dan keajegan budaya Bali, yakni sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu yang dapat memunculkan talenta dan rasa untuk malu bila sesuatunya itu gagal dilakukan.
8) Konsepsi Salunglung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, atau Beriuksaguluk. Kalimat tersebut mengandung makna solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk ditanggung bersama. Bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan.
9) Konsepsi Wirang dan Tindih. Konsepsi untuk membela teman seperjuangan, membela nama baik kekerabatan, nama baik desa dan sejenisnya.
10) Konsepsi Satyam-Sivam-Sundaram. Konsepsi berkaitan dengan kebenaran-keharmonisan-keindahan yang merupakan landasan estetika kesenian Bali.
11) Konsepsi Asih-Punya-Bhakti. Makna yang dikandung dari konsepsi ini adalah cinta kasih, jasa, dan penghormatan yakni hubungan yang harmonis antara Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan leluhur, juga hubungan yang harmonis antara yang lebih muda, sebaya dan dengan yang lebih tua.
12) Konsepsi Desa Amawacara Nagara Amawa Tata. Makna konsepsi ini adalah untuk menghargai perbedaan tradisi budaya masing-masing, demikian pula dalam dimensi waktu yang berbeda.
13) Konsepsi Tri Samaya (Atita - Wartamana - Anagata). Konsepsi dalam konteks dimensi waktu yakni: yang lalu, yang terjadi saat ini, dan yang terjadi di masa yang akan datang, dan lain-lain.
Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa sinergi Agama dan budaya Bali mampu menjadikan Bali tegar dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi. Berbagai konsep, nilai, filosofi, potensi real yang mencakup institusi dan pengalaman bersama terbukti mampu dijadikan pegangan dalam menghadapi berbabagai tantangan globalisasi.
Mengakhiri tulisan ini kata-kata Mahatma Gandhi yang dikutip pada manggala tulisan ini patut untuk dijedikan renungan.
Catatan
1 Tentang sejarah perkembangan Agama Hindu di Bali dapat dilihat pada Disertasi penulis �Persepsi Umat Hindu di Bali tentang Svarga, Naraka, dan Moksa dalam Svargarohanaparva, Perspektif Kajian Budaya� yang akan diterbitkan oleh Paramita, Surabaya, pada bulan Agustus 2006, demikian pula dapat dilihat pada I G. P. Phalgunadi, �Bali Embraces Hinduism� dalam �Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, MA, Editor Darma Putra & Windhu Sancaya, 2005, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.
2 Meru dilihat dari fungsinya dibedakan menjadi (1) Meru sebagai sarana untuk memuja manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, dan (2) Meru sebagai salah satu sarana untuk memuja roh suci leluhur, yakni roh suci yang telah diupacarakan melalui upacara �Nuntun Dewa Hyang�, pada zaman Majapahit disebut upacara Sraddha yakni men-dharma-kan roh suci leluhur pada tempat suci yang ditentukan untuk itu. Upacara Sraddha ini hingga kini juga dilaksanakan di India, sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan kepada leluhur.
3 Tentang keberadaan kesenian, khususnya seni pertunjukkan lihat Claire Holt, 2000. Melacak jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan dari Art in Indonesia: Continuities and Change. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Juga dalam Sartono Kartodirdjo, Maewati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1976. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal.84-85.
4 Lihat karya C.Hooykaas and T. Goudriaan. 1971. Stuti and Stava (Bauddha, Saiva, and Vaisnava) of Balinese Brahman Priests, C. Hooykaas. 1964. Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion. 1966. Surya Sevana. The Way to God of a Balinese Siva Priest, dan lain-lain.
5 Lihat Dubois, Abbe J.A.1981. Hindu Manners, Customs and Ceremonies. Delhi: Oxford University Press, p. 569. Sivananda, Swami. 1991. Intisari Ajaran Hindu (Terjemahan All About Hinduism), Surabaya: Paramita, hal.8, dan I G. P. Phalgunadi, �Bali Embraces Hinduism� dalam �Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, MA, Editor Darma Putra & Windhu Sancaya, 2005, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.
6 Terdapat beberapa jenis makanan yang di India dan Bali menampakkan persamaan, misalnya satu atau laddhu di Bali dikenal dengan sebutan satuh. Demikian pula sesaji yang disebut puja di Bali disebut daksina. Penggunaan hiasan bunga pada kepala wanita di India selatan memiliki kesamaan dengan hiasan kepala pada wanita Bali dan sebagainya.
7 Tentang kesenian Bali, Ida Bagus Mantra menyatakan: �Landasan-landasan yang mendalam mendasari kebudayaan Bali: 1) Agama Hindu adalah sumber inspirasi dari seni budaya Bali. Seni sakral sebagai akibat dari ini sangat mendalam dan meresap dalam jiwa umatnya; 2) seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya, ia adalah satu. Oleh karena itu nilai estetik, keindahan adalah sangat kuat dalam masyarakat Bali. Sangat tinggi kesadaran seninya. Antara seniman dan masyarakat penontonnya terdapat komunikasi yang hidup; 3) seni mempunyai fungsi dalam masyarakat dan mempunyai kedudukan sosial yang dihormati. Sebagai wayang, ketekok jago dan lain-lainnya, ia dipentaskan/dipertunjukkan pada waktu upacara-upacara tertentu; 4) seni dilihat sebagain unsur yang dapat menumbuhkan rasa kemuliaan dalam hidup.
8 Lihat Goris, R.1954. Prasasti Bali, I-II. Bandung: NV Masa Baru, juga tulisan I Wayan Gede Suacana.2006. Budaya Demokrasi Dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali, tulisan dipersiapkan untuk diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2006.
9 Tentang banalisasi lihat tulisan kami (2005) Ajeg Bali: Perspektif Pengamalan Agama Hindu, dalam Dialog Ajeg Bali, Kata Pengantar Anak Agung Gde Putra Agung: Surabaya: paramita.
10 Kesalahpahaman tentang Warna diartikan sebagai Kasta dapat dilihat pada tulisan Nyoman Singgin Wikarman (1998:60) yang menyatakan bahwa sejak pemerintahan Dalem Waturenggong terjadi legimitasi yang hanya boleh menjadi pandita dan mempimpin upacara umat hanyalah keturunan Purohita Raja Dalem Waturenggong yakni Danghyang Nirartha (Danghyang Dwijendra) dan keturunan Danghyang Astapaka. Selanjutnya ditetapkan pula Tri Sadhaka yang boleh memimpin upacara-upacara besar tadi, yakni Pandita Siva (keturunan Danghyang Nirartha), Pandita Buddha (keturunan Danghyang Astapaka) dan Rsi Bhujangga Vaisnava (keturunan Mpu Mustika). Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistem �varna�, lalu kemudian disusun berdasarkan �Vangsa�, dan keluarga beliau (Danghyang Nirartha termasuk keturunan Danghyang Astapaka) menduduki posisi sebagai Brahmana Vangsa. Ksatriya Vangsa diisi oleh para keluarga/keturunan Dalem (Raja). Para Arya didudukkan sebagai Vaisya (Waisya), dan Sudra adalah di luar warga tadi, dengan tidak melihat asal-usul mereka. Upaya penjernihan tentang Kasta di Bali, dapat dilihat dalam Ketut Wiana dan Raka Santeri, 1993. Kasta dalam Hindu: Kesalahan Berabad-Abad. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.
Sekian dan Terima Kasih
Mudah-Mudahan Berguna
Sumber:
Parisada Hindu Dharma Indonesia