Rebab (
Arab:
الرباب atau
رباب) adalah
alat musik gesek yang biasanya menggunakan 2 atau 3
dawai, alat musik ini adalah alat musik yang berasal dari
Timur Tengah dan mulai digunakan di
Asia Tenggara setelah penyebaran pengaruh dari Timur Tengah.
Alat musik yang menggunakan penggesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu
nangka dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit
lembu yang dikeringkan sebagai pengeras
suara.]
Dalam gamelan
Ki Cokrowasito bermain rebab. Foto tahun
1950-an dari buklet album "
Lestari - The Hood Collection",
Museum Collection Berlin.
Dalam musik Sunda, alat ini juga digunakan sebagai pengiring
gamelan, sebagai pelengkap untuk mengiringi
sinden bernyanyi bersama-sama dengan
kecapi dan
suling. Dalam gamelan Jawa, fungsi rebab tidak hanya sebagai pelengkap untuk mengiringi nyanyian sindhen tetapi lebih berfungsi untuk menuntun arah lagu sindhen.
Rebana adalah
gendang berbentuk
bundar dan pipih. Bingkai berbentuk lingkaran dari
kayu yang dibubut, dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit
kambing. Kesenian di
Malaysia,
Brunei,
Indonesia dan Singapura yang sering memakai rebana adalah musik irama padang pasir, misalnya,
gambus,
kasidah dan
hadroh.
Bagi masyarakat
Melayu di negeri
Pahang, permainan rebana sangat populer, terutamanya di kalangan penduduk di sekitar
Sungai Pahang. Tepukan rebana mengiringi lagu-lagu tradisional seperti indong-indong, burung kenek-kenek, dan pelanduk-pelanduk. Di Malaysia, selain rebana berukuran biasa, terdapat juga rebana besar yang diberi nama
Rebana Ubi, dimainkannya pada hari-hari raya untuk mempertandingkan
bunyi dan
irama.
Saluang adalah
alat musik tradisional khas
Minangkabau,
Sumatra Barat. Yang mana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (
Schizostachyum brachycladum Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai. Alat ini termasuk dari golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lemang, salah satu makanan tradisional Minangkabau.
Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik napas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernapasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik
manyisiahkan angok (menyisihkan napas).
Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memiliki style tersendiri. Contoh dari style itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Style Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Style yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Dahulu, khabarnya pemain saluang ini memiliki mantera tersendiri yang berguna untuk menghipnotis penontonnya. Mantera itu dinamakan Pitunang Nabi Daud. Isi dari mantera itu kira-kira :
Aku malapehkan pitunang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun, aia mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga buni saluang ambo, kununlah anak sidang manusia......dst
Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau
Rote,
Nusa Tenggara Timur.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti
gitar,
biola dan kecapi.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana
senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun
lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat
resonansi sasando.
Serunai, atau juga disebut
puput serunai, adalah nama alat musik
aerofonik (tiup) yang dikenal di Indonesia sebagai
alat musik tradisional di masyarakat
Minang. Bagian unik dari serunai adalah ujungnya yang mengembang, berfungsi untuk memperbesar
volume suara.
Latar belakang
Asal mula serunai atau "
puput serunai" diduga datang dari nama
shehnai, alat musik yang diduga berasal dari
Lembah Kashmir di dataran Utara
India. Alat musik
shehnai diduga juga merupakan perkembangan dari alat musik
pungi yang dipakai dalam musik para pemikat
ular tradisional India.
Setelah dikenal luas di
Sumatera Barat, serunai menjadi populer dan dikenal sebagai
alat musik tiup tradisional di
Minang. Alat musik ini dikenal merata di Sumatera Barat, terutama di bagian daratannya seperti di daerah
Agam,
Tanah Datar dan
Limo Koto, dan juga di daerah pesisir pantai Sumatera Barat sepanjang pantai
Samudera Hindia. Alat musik ini sejak lama telah dipopulerkan ke seluruh Indonesia oleh para
imigran dari Minang dan juga telah dikenal sebagai alat musik tradisional di
Malaysia dengan nama sama.
Kegunaan
Puput serunai biasanya dimainkan dalam acara-acara adat yang ramai, seperti upacara
perkawinan,
penghulu (
batagak pangulu dalam bahasa Minang) dan sebagainya. Alat musik ini juga biasa dimainkan dengan bebas, baik perorangan, pada saat memanen
padi atau saat bekerja di ladang. Musik serunai juga populer untuk mengiringi pertunjukan
pencak silat Minang. Dalam sebuah penampilan, serunai dapat dimainkan secara solo (sendirian), dan dapat digabung dengan alat musik tradisional lainnya, seperti
talempong,
gendang dan sebagainya.
Desain dan pembuatan
Bahan untuk membuat sebuah puput serunai tradisional Minang terdiri dari batang
padi,
kayu atau
bambu,
tanduk kerbau atau
daun kelapa.
Bagian
penata bunyi serunai terbuat dari kayu
capo ringkik atau dari
bambu talang yang ukurannya sebesar ibu jari tangan. Capo ringkik adalah sejenis tanaman perdu yang mempunyai lapisan kayu keras namun mempunyai bagian dalam yang lunak, sehingga mudah untuk dilubangi. Kayu yang panjangnya 20 cm tersebut diberi 4 lubang yang berselisih jarak 2,5
cm, yang berfungsi memberi beda tinggi rendah nada. Nada yang lazim pada alat musik tradisional Minang termasuk puput serunai adalah
nada pentatonis do-re-mi-fa-sol.
"
Puput" adalah bagian yang ditiup pada alat musik serunai, biasa terbuat dari kayu,
bambu talang, atau batang padi tua. Bagian ini disambungkan oleh bagian penyambung yang berfungsi sebagai pangkal puput tersebut. Panjangnya sekitar 5 cm dan terbuat dari kayu keras. Penyambung ini dilubangi untuk saluran udara tiup, yang bersambungan dengan poros badan dan poros corong. Di bagian belakang, bagian penyambung ini juga berbentuk corong, dengan
diameter 2 cm.
Bagian "
corong" adalah bagian ujung serunai yang dibentuk membesar seperti ujung akhir alat musik
terompet. Fungsi bagian ini adalah untuk memperkeras atau memperbesar volume suara. Bagian ini biasanya terbuat dari kayu, terutama
kayu gabus, dari
tanduk kerbau yang secara alamiah telah berbentuk lancip mengembang, ataupun dari
daun kelapa yang dililitkan. Panjangnya sekitar 10 sampai 12 cm, dengan garis tengah 6 cm di bagian yang mengembang.
Dalam pembuatan serunai terdapat spesifikasi yang bervarisi di tiap daerah. Bahkan ada jenis serunai di mana pengaturan nada dilakukan dengan cara menutup dan membuka permukaan bagian corong.
Dalam orkes tradisional Minang, serunai biasanya dimainkan bersama instrumen lainnya seperti
talempong,
gendang dan
gong yang menghasilkan perpaduan bunyi dan irama tradisional khas Minang.
Slenthem merupakan salah satu
instrumen gamelan yang terdiri dari lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema yang mengikuti nada
saron,
ricik, dan
balungan bila ditabuh. Beberapa kalangan menamakannya sebagai
gender penembung. Seperti halnya pada instrumen lain dalam satu set gamelan, slenthem tentunya memiliki versi
slendro dan versi
pelog. Wilahan Slenthem Pelog umumnya memiliki rentang nada
C hingga
B, sedangkan slenthem slendro memiliki rentang nada
C,
D,
E,
G,
A,
C'.
Cara memainkan
Cara menabuh slenthem sama seperti menabuh balungan, ricik, ataupun saron. Tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri melakukan "patet", yaitu menahan getaran yang terjadi pada lembaran logam. Dalam menabuh slenthem lebih dibutuhkan naluri atau perasaan si penabuh untuk menghasilkan gema ataupun bentuk dengungan yang baik. Pada notasi
C,
D,
E,
G misalnya, gema yang dihasilkan saat menabuh nada
C harus hilang tepat saat nada
D ditabuh, dan begitu seterusnya.
Untuk tempo penabuhan, cara yang digunakan sama seperti halnya bila menggunakan balungan, ricik, dan saron. Namun untuk keadaan tertentu misalnya demung imbal, maka slenthem dimainkan untuk mengisi kekosongan antara nada balungan yang ditabuh lambat dengan menabuh dua kali lipat ketukan balungan. Atau bisa juga pada kondisi slenthem harus menabuh setengah kali ada balungan karena balungan sedang ditabuh cepat, misalnya ketika gendhing Gangsaran pada adegan perangan.