The East, sitcom terbaru di NET yang dibintangi Tara Basro dan Tanta Ginting, menghadirkan profesi jurnalis televisi.
Di layar televisi Indonesia makin sulit sekali kita temui penggambaran yang realistis tentang sebuah profesi, baik dalam format serial maupun film televisi. Yang kerap muncul, seperti di banyak sinetron, adalah kisah-kisah drama beserta konfliknya di ranah domestik yang mengada-ada. Profesi hanyalah tempelan semata di situ dan tak mempengaruhi pengembangan karakter para tokohnya, apalagi berdampak pada jalan cerita. Untunglah belum lama ini tayang
The East, sebuah
sitcom (
situation comedy) terbaru dari stasiun TV terestrial
NET, yang menggambarkan profesi jurnalis TV.
The East memperlihatkan tentang apa yang terjadi di balik dapur redaksi program
Entertainment News di
NET. Episode pertamanya saja langsung dibuka dengan proses tayangan live
Entertainment News, lengkap dengan visual aktivitas para presenternya di studio, para kru produksi di
control room, hingga polah pimpinan produksi di ruangan kantornya. Semua rangkaian adegan itu dijahit dengan dinamis. Dan, karena
The East adalah
sitcom, maka unsur komedi langsung dilepaskan dalam satu menit pertama di sekuens awal lewat kejadian kesalahan penayangan klip. Inilah yang kemudian menjadi pendorong utama narasi episode awal
The East. Hasilnya pun cukup efektif untuk menyampaikan gambaran tentang situasi realistis yang dialami para pekerja TV.
Dalam 10 menit awal, episode perdana
sitcom ini juga efektif dalam memperkenalkan para tokohnya. Antara lain, Mutia (Tara Basro) sebagai Produser Senior, Dhewo (Sutan Simatupang) sebagai Kepala Departemen Produksi, Gista (Gista Putri) yang menjadi Produser Junior, Fajar (Tanta Ginting) si Kameramen, Putri (Ayushita) sebagai Reporter Senior, Andika (GE Pamungkas) di posisi Asisten Produksi, Iren (Sahira Anjani) yang masih menjadi Reporter Junior, Caesar dan Shafira yang memerankan dirinya sendiri presenter
Entertainment News, Eman (Ferry Gusta) sebagai Office Boy, hingga penampilan khusus Dian Sastrowardoyo sebagai Direktur di ujung episode pertama
The East.

Karakterisasi para tokohnya
The East juga dibeberkan dengan tanpa membuang-buang waktu dalam 10 menit pertamanya. Namun, jika bicara komedi, ada dua tokoh dalam episode awal
sitcom ini yang ditugaskan sebagai pemicu gelak tawa. Yakni, Dhewo yang hobi bermain golf tapi sebenarnya justru tak berbakat dalam olahraga itu, dan Andika yang suka 'cari muka' di depan para bos tapi sayang tak bisa menyembunyikan sikap kikuknya. Lewat dua tokoh inilah
The East berusaha melucu. Ada kalanya mereka berhasil, tapi ada kalanya masih terasa
nanggung.
Sedangkan tokoh lainnya
The East juga akan menciptakan kelucuan karena kekhasan karakterisasi, seperti lazimnya yang terdapat dalam
sitcom. Misalkan saja yang diperlihatkan dalam episode kedua
The East melalui tokoh Fajar dan Andika. Namun, sekali lagi, tak semuanya berhasil membuat kelucuan. Beberapa adegan malah terlihat tipikal dan klise. Perhatikan saja saat Andika mencari-cari setengah mati Iren karena diburu
deadline. Di sini, catatan harus diberikan kepada penulis skenario
The East juga harus lebih berani berkreasi dan improvisasi guna membuat situasi yang lucu secara natural, tanpa kehilangan rohnya sebagai cerita tentang atau berlatar jurnalisme televisi. Jadi, tak semata-mata mengandalkan karakter komikal para tokohnya.
Meski begitu, yang istimewa dari
The East adalah
sitcom ini berusaha membangun kelucuan bukan hanya lewat aksi-reaksi para tokohnya dalam setiap adegan. Tapi juga berkat absennya garis tegas yang membatasi ciri karakter protagonis dengan antagonis.
The East mirip
Tetangga Masa Gitu—yang juga tayang di
NET, di mana karakter para tokohnya berhasil lepas dari dosa asal yang dibawa berbagai sinetron populer Indonesia, sebutlah dalam 15 tahun terakhir ini. Sebab, dalam banyak sinetron, kerap terlihat konflik tokoh protagonis dan antagonis tanpa ada karakter abu-abu. Seolah-olah 'yang baik' hanya dilahirkan oleh orang-orang yang berbudi baik, sedangkan 'yang buruk' adalah akibat orang-orang yang tak berbudi.
The East, setidaknya dari episode satu dan dua yang tayang pada hari Sabtu dan Minggu pekan lalu, tidak tergoda untuk mengulangi dosa asal itu.
Sitcom ini mampu memperlihatkan bahwa karakter manusia tak tertebak dan punya sisi hitam, putih, maupun abu-abu. Para tokoh
The East memang memiliki karakter bawaan. Akan tetapi pada akhirnya, situasi yang mengungkung dan menabrak mereka lah yang kemudian menyebabkan mereka bereaksi dan akhirnya berlaku baik maupun jahat. Inilah salah satu kelebihan
The East.

Soalnya, ada
sitcom lokal lain di beberapa stasiun TV yang, sayangnya, tampak menyerempet dosa asal perihal hitam-putih karakter ini. Sebut saja
Bajaj Bajuri, OB, atau
Suami-suami Takut Istri, di mana memuat beberapa tokoh yang karakternya punya kecenderungan untuk menjadi antagonis, sterotipikal bahkan melecehkan—lihat saja karakter Oneng di
Bajaj Bajuri atau Saschya di
OB. Nah, jika
The East tetap setia dengan karakterisasi para tokohnya dan bersandar pada jalinan cerita yang kreatif sehingga berdampak pada karakter Mutia cs, niscaya
The East akan unggul.
Nilai lebih lainnya
The East terletak sinematografinya yang berani keluar dari zona nyaman. Alih-alih merekam akting para pemainnya dalam posisi statis, kamera tim produksi
The East aktif bergerak. Kadang kamera seakan mengintip objeknya dengan memainkan
depth of field. Sesekali pula kamera berada dalam posisi yang rendah. Nilai lebih juga ada pada
production value-nya. Sebab,
The East benar-benar memanfaatkan latar dan berbagai properti asli ruang redaksi dan produksi stasiun televisi yang akhirnya bisa melahirkan reka-percaya dalam persepsi penonton.
Production value ini juga pada akhirnya memicu penulis skenario untuk membuat cerita tentang dunia jurnalisme televisi yang realistis dan tidak hiperbolis, meski tetap dalam koridor komedi.
Dengan produksi seperti ini,
The East juga mereguk dua keuntungan penting. Pertama, meminimalisir bujet produksi karena tak perlu membuat latar dan menyiapkan properti. Kedua, promosi maupun
branding NET sebagai stasiun TV dan program
Entertainment News itu sendiri, walau dengan begini anggapan narsis juga mudah disematkan kepada stasiun televisi ini. Namun, risiko anggapan narsisme ini tentu sudah dipikirkan oleh kreator dan tim produksi
The East, dan risiko ini bukan masalah besar selama
sitcom tetap bisa menyajikan cerita yang menarik. Sebab bagaimanapun, cerita memegang peranan krusial, dan
The East dengan dunia jurnalisme televisi yang diangkatnya menyediakan banyak kekayaan potensi cerita dan kelucuan.