
5th April 2011
|
 |
Ceriwiser
|
|
Join Date: Nov 2010
Location: Hogwarts|PIC#11
Posts: 618
Rep Power: 50
|
|
Ethanol berbasis jagung, benarkah ramah lingkungan?
Quote:
Biofuel, salah satunya adalah ethanol, menurut sebagian besar orang merupakan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan. Anggapan itu wajar jika dilihat dari sisi emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya adalah sangat rendah. Hanya saja masih perlu dipertanyakan kebenarannya jika dipandang dari sisi yang lain.
Ethanol berbasis jagung sudah sejak lama menjadi perhatian, terutama dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan, seperti polusi akibat pemakaian pupuk, pestisida , herbisida, erosi tanah, emisi gas rumah kaca saat produksi, dan tergantikannya lahan bahan pangan menjadi bahan bakar.
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan di University of Minnesota belum lama ini diterbitkan di jurnal Environmental Science and Technology, juga menambah daftar panjang dampak dan kerugian yang ditimbulkan ethanol berbasis jagung. Dalam hasil riset disebutkan bahwa ethanol yang didapatkan dari jagung ternyata mengkonsumsi air tiga kali lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Berdasar rata-rata produksi tahunan di Amerika Serikat, 1 liter ethanol yang didapat dari jagung membutuhkan 263 hingga 784 liter air untuk menumbuhkan dan mengubahnya menjadi bahan bakar. Meski angka tersebut bisa berbeda-beda untuk setiap negara bagian, tergantung juga kepada sistem irigasi yang dimilikinya.
Sangwon Suh, asisten profesor teknologi biosistem di universitas tersebut mengatakan, Ethanol mengkonsumsi air lebih banyak dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya lahan pertanian yang membutuhkan irigasi yang juga lebih banyak. Artinya, lebih banyak air yang dibutuhkan untuk menghasilkan ethanol selama sekian waktu.
Suh bersama dengan rekannya mencatat berapa banyak irigasi untuk lahan jagung, baik sebagai bahan pangan ataupun bahan bakar, lokasi lahan, tingkat produksi dan pemakaian air oleh fasilitas produksi ethanol dari jagung yang sudah ada sebelumnya. Hasilnya, lebih dari 80% jagung yang digunakan untuk membuat ethanol dipanen sejauh 64 kilomoter dari tempat pengolahannya.
Di beberapa tempat, hanya dibutuhkan beberapa liter untuk mendidihkan, fermentasi dan distilasinya. Wilayah yang banyak terdapat sumber air tidak akan mengalami banyak masalah untuk keperluan irigasinya. Sedangkan di wilayah lain, bisa mencapai angka yang jauh lebih besar.
Hasil studi tersebut menjadikan ethanol berbasis jagung semakin dipertanyakan. Bahkan David Pimentel dari Cornell University yang pernah melakukan penelitian tentang besarnya energi yang dibutuhkan untuk membuat ethanol dibandingkan dengan membakarnya, mengomentarinya dengan kalimat This is one more nail in the coffin for ethanol. Artinya semakin banyak bukti yang memperlihatkan kekurangan ethanol, maka semakin ethanol menjadi tidak menarik.
Kontra pun timbul, pertanyaan juga muncul dari Geoff Cooper, wakil dari Renewable Fuels Association di Washington D.C, yang mempertanyakan bagaimana kebutuhan air bisa meningkat tiga kali lipat bersamaan dengan bertambahnya produksi ethanol menjadi dua kali lipat. Menurutnya, peningkatan produksi yang terjadi di tahun 2005 hingga 2008 pada wilayah-wilayah sentra jagung tidak dibarengi dengan penambahan sistem irigasi dan bahkan tanpa irigasi. Jagung-jagung juga tidak ditanam di area yang kurang air.
Terlepas dari pro-kontra yang ada, Suh tetap optimis bahwa konsumsi air bisa terus dikurangi seiring dengan berlipatgandanya produksi ethanol. Kemajuan bioteknologi dengan rekayasa genetikanya memungkinkan didapatkannya jagung dengan karakteristik tersebut. Tetap saja Geoff Cooper mengingatkan bahwa ethanol masih perlu penelitian lebih lanjut.
|
|