Ritual Pesugihan Di Pesisir Dlada

**blueparadise**

Siapa saja yang datang di Pesisir Dlada, dijamin bisa menikmati pemandangan alam yang indah. Bukit dengan kawasan hutan yang masih perawan terpampang di sana. Kita juga bisa beristirahat di pantai sambil duduk di pasir di bawah pohon besar yang daunnya menari-nari tertiup angin laut. Asri dan tenteram rasanya.

Hampir setiap saat kita juga bisa melihat tupai-tupai saling berkejaran di atas pohon kelapa. Tak kalak eksottik adalah kemunculan kepiting-kepiting yang berlarian di hamparan pasir putih, bersama sapi-sapi yang berkeliaran bebas di tepi pantai.
Obyek wisata alam ini memang menyuguhkan panorama indah pesisir laut selatan, dengan ciri khas ombaknya yang besar, yang setiap saat menghantam batu karang di tepi laut. Panorama ini didukung dengan tanaman hutan yang masih asli, seperti pandan purba, ketapang, gebang dan keben. Tapi yang lebih dominan di sini adalah barisan pohon kelapa, sebab di dekat Pesisir Dlada memang terdapat kebun kelapa yang luasnya diperkirakan hampir 130 ha. Setiap hari tidak kurang dari dua ribu buah kelapa yang dipetik.

Di pesisir pantai ini juga masih kerap terlihat hewan-hewan liar, yang sering muncul dengan bergerombol, seperti kijang, kancil, ayam alas, walang kopo, nyambig, tupai, bahkan kadang juga tampak beberapa ekor banteng.

Demikianlah sekilas gambaran suasana yang bisa wisatawan saksikan dan rasakan sendiri kalau berekreasi ke Pesisir Dlada, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Namun di balik keindahan alamannya nan asri, menurut ceritanya masyarakat setempat, kawasan pantai ini merupakan salah satu tempat yang bisa dijadikan ajang untuk mengadakan pertemuan dengan Ratu Laut Selatan, dan melakukan kontak gaib dengannya.

Disamping sebagai obyek rekreasi alam bagi mereka yang senang menikati keindahan panorama, Pesisir Dlada juga merupakan tempat yang dipercaya menyimpan kekuatan mistis tertentu. Barangkali, kepercayaan ini muncul disebab karena tempat ini terletak di pesisir laut selatan yang memang terkenal penuh misteri. Karena kuatnya kepercayaan tersebut, maka tidak semua orang yang datang ke pantai ini untuk tujuan menikmati keindahan alam guna sekedar melepaskan kepenatan pikiran. Namun, banyak juga orang yang datang ke ssini dengan suatu tujuan khusus, seperti semedi guna mempertajam kepekaan batin, ngalap berkah, hingga untuk tujuan mencari pesugihan.

Berita kemisteriusan Pesisir Dladah ini kuat setelah ditemukan altar batu dan sebuah arca. Penduduk setempat mengatakan arca itu sebagai perwujudan Dewi Nawangwulan, bidadari yang dipertisteri oleh Jaka Tarub. Sedangkan altar batu tersebut disebutkan sebgai Punden Seloyan yang terkenal angkernya. Konon, altar ini berpenghuni sosok gaib yang disebut sebagai Jigang Jaya.

Pendduuk Desa Dlada sangat mempercayai adanya kekuatan magis yang bersemayam dalam apa yang disebut sebagai Punden Seloyan ini. Bahkan, setiap tahun bertepatan hari Jum�at Legi setelah tanggal 1 Sura menurut penanggalan Jawa, penduduk setempat selalu mengadakan upacara sesaji. Hal ini sudah menjadi adat kebiasaan turun-temurun dari zaman dahulu. Adapun maksud dan tujuannya adalah memperingati para leluhur yang mendapatkan kemurahan Tuhan berupa tanah yang subur sejak dahulu kala, istilah Jawa �cikal bakal�. Apabila tidak melaksanakan upacara sesaji di tempat tersebut, konon warga desa akan kena kutuk sang Jigang Raya.

Menurut cerita turun-temurun masyarakat Dladah, di zaman dahulu kala, pada suatu hari datanglah serombongan penunggung kuda yang tak diketahui hendak kemana tujuannya, dan dari mana mereka berasal. Rombongan berkuda ini terdiri dari beberapa orang pria. Di dalam rombongan penunggang kuda ini Jigang Jaya bertindak sebagai pemimpinnya. Sang Jigang Raya berkuda sambil menggendong bayi. Melihat gelagatnya, rombongan berkuda ini adalah prajurit yang baru saja meninggalkan medan pertempuran.

Para prajurit ini nampak lesu dan sekali. Ada yang sempoyongan, bahkan beberapa di antaranya ada yang tak berdaya akibat luka-luka di tubuhnya. Dalam situasi yang kritis ini, mereka sempat melepaskan lelah di Pesisir Dlada.
Sementara para prajurit beristirahat melepas lelah, sang bayi yang berada dalam gendongan Jigang Jaya menangis karena kehausan, mungkin pula dia kelaparan. Tangis sang bayi begitu menyayat hati, melengking
membelah senyap. Melihat kenyataan ini, apa gerangan yang kemudian diperbuat oleh Jigang Jaya?

Dia semedi di atas batu sambil memohon kemurahan Tuhan. Maka tak lama kemudian, munculah seorang puteri bak bidadari yang turun dari langit. Betapa terkejutnya Jigang Jaya setelah dihampirinya, karena bidadari tersebut dalam keadaan telanjang bulat. Buah dadanya tampak besar sekali, seperti buah dada ibu yang sedang menyusui anaknya.

�Kamu jangan takut Jigang Jaya, kedatangan saya justru mau menolong bayi itu,� kata perempuan yang kemudia mengaku namanya sebagai Nawang Wulan itu. �Serahkan bayi itu kepadaku!� Pintanya.

�Untuk apa?� Tanya Jigang Jaya.

�Bayi itu menangis karena haus, Jigang Jaya! Serahkan bayi itu biar kususui!� Pinta Nawang Wulan lagi.

Jigang Raya memberikan bayinya kepada Nawang Wulan. Anehnya, setelah minum ASI, berkat kemurahan Tuhan semata, maka selamatlah jiwa sang bayi.

Konon, dengan sebab cerita ini, sampai sekarang tempat tersebut masih dikeramatkan oleh warga setempat. Apalagi kalau malam Jum�at Legi, banyak gadis-gadis yang datang. Mereka melakukan ritual telanjang dengan duduk bersila. Alasannya memang amat unik: supaya buah dada mereka cepat bertambah besar. Kalau sudah kelihatan besar supaya cepat dilamar oleh sang pria idaman.

Biasanya, kalau ada ritual begini, banyak jejaka yang penasaran ingin tahu buah dada gadis-gadis yang sedang melakukan ritual telanjang tersebut. Ritual biasanya diadakan tepat pada Jum�at Legi, setelah tanggal 1 Syuro, yakni menurut perhitungan waktu ini merupakan waktu sebelum rombongan berkuda pimpinan Jigang Jaya meninggalkan tempat tersebut.

Konon, dulu sang Jigang Jaya terlebih dulu berpesan kepada warga setempat supaya menjaga kelestarian hutan di Pesisir Dlada, dan apabila pesan ini tidak dipenuhi maka mereka akan mendapat kutukan dari Tuhan.

Disamping itu, Jigang Jaya juga berhendak agar setiap tahun, mereka sudi mengirimkan sesajian kepala kambing kendit. Sesajian tersebut tidak boleh dicicipi lebih dulu, jika melanggar akan mendapat kutukan juga.

Memang benar, rupa-rupanya perintah dan larangan Jigang Jaya tak seorang pun berani melanggarnya. Bahkan hal tersebut berlaku sampai sekarang ini. Maka karena itulah tak heran, dari dulu hingga sekarang, upacaya sesaji tetap saja diadakan oleh warga Desa Dlada.

Tahun 2007 ini, upacara sakral tersebut diadakan pada hari Jum�at Legi, bertepatan dengan tanggal 23 Februari silam, atau tanggal 5 bulan Sapar tahun Ehe 1940, menurut hitungan kalender Jawa. Upacara ini disponsori oleh perusahaan perkebunan kepala di sana, didukung oleh sesepung desa, serta karyawan perkebunan, dan warga Dlada yang tinggal di kebun dan perhutani.

Uborampe sesaji buat upacara tersebut selain berupa kepala kambing kendit juga sekul suci ulam sari, bubur sepuh jenang sengkala, jenang panca warna, jeang sewu (dawet), gula gimbal gula gringsing, pisang setangkep, sega golong, buceng kuat, buceng emas, lan buceng robyong.

Upacara dimulai dengan membakar dupa dulu di Punden Seloyan. Yang melaksanakan sesepuh desa, Miskan namanya. Uborampenya sama dengan uborampenya orang yang akan mencari pesugihan di punden Seloyan, yaitu bunga talon, umpling, minyak wangi, dan kemenyan.

Hanya bedanya orang yang akan mencari pesugihan harus melaksanakan ritual telajang. Biasanya yang melakukan ritual tersebut pasutri yang belum mempunyai anak. Anehnya, yang berhasil mencari pesugihan bukan warga Desa Dlada, tapi justru orang yang datang dari jauh. Misalnya saja orang dari Jakarta, Semarang, Banyuwangi, dan lain-lain.

Menurut keterangan Miskan, karena setiap hari makan dari hasil kebun kepala yang ada di pesisir, maka kalau warga Dlada mencari pesugihan tidak ada yang berhasil.

Biasanya, kalau sudah berhasil apa yang diinginkan, hari Jum�at Legi si pelaku pesugihan terus menyembelih kambing kendit di Punden Seloyan. Setelah itu, semua uborampe terus dikendurikan di loji (kantor perkebunan).

Selesai diijab kabulkan oleh sesepuh desa, terus dilanjutkan upacara Srada (pepetri atau sesaji) di Punden Seloyan. Uborampenya yang dibawa ke sana sekul suci ulam sari (lada sega gurih) dan kepala kambing.

Karena yang datang banyak ibu-ibu dan anak-anak, yang membawa uborampe ke Punden Seloyan ya hanya orang laki-laki. Jumlahnya lima orang. Upacara pepetri dan sesaji ini dilaksanakan sebagai ungkapan terima kasih dan syukur, serta memohon kepada Tuhan supaya dijauhkan dari semua mara bahaya. Begitulah menurut kepercayaan yang berlaku di tengah kehidupan warga Pesisir Dlada.

sumber : majalah misteri

Terkait: