FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]()
Ketika kami makan di sebuah rumah makan di daerah Grogol, Jakarta Barat, di sebelah kami ada sekelompok mahasiswa yang sedang makan sambil mengobrol. Karena jarak mereka dengan kami tidak begitu jauh, kami dapat menangkap isi pembicaraan mereka. Rupanya, mereka sedang membicarakan Budi, salah seorang teman kuliah dan teman indekost mereka, yang saat itu sedang tidak ikut dengan mereka. Sehingga dengan bebas mereka bisa membicarakan kebaikan maupun kejelekannya.
Sambil makan kami mendengarkan pembicaraan mereka, dan semakin lama kami semakin tertarik untuk menguping pembicraan itu. Inti pembicaraan mereka adalah, rupanya mereka salut kepada Budi yang berasal dari kota Semarang, Jawa Tengah. Menurut penilaian mereka, Budi memiliki sifat dan karakter yang positif: tidak sombong, bersahaja, low profile dan tekun belajar. Bahkan salah seseorang dari mereka menambahkan bahwa Budi begitu irit, makan dan berpakaian sederhana, sulit untuk meminjamkan uangnya, dan ia sangat ketat dalam pengeluarannya. Menurut mereka, para mahasiswa yang berasal dari Jawa Tengah pada umumnya belajar dengan tekun untuk menyelesaikan studinya. Selain itu, salah seorang dari mereka menambahkan bahwa para mahasiswa dari daerah tersebut menerapkan hukum ekonomi, yaitu berusaha mendapatkan ilmu sebanyak- banyaknya dengan pengeluaran seirit mungkin. komentar ini disambut teman- temannya dengan gelak- tawa. Saya kurang setuju kalau keberhasilan Budi dikarenakan ia berasal dari Jawa Tengah, dijadikan patokan. Budi berhasil karena ketekunannya. Itulah yang harus digarisbawahi. Dari mana pun asal seseorang, kalau ia tekun, maka peluang untuk berhasil sangat besar. Tentang sederet sifat Budi yang lainnya ( low profile, sederhana, irit, dst ), hal itu menggambarkan budaya daerah asalnya, yang melekat pada dirinya. Kembali pada pembicaraan mahasiswa tentang ketekunan Budi, secara sepintas dapat diambil kesimpulan bahwa ketekunan seseorang akan membawa keberhasilan. Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana ciri- ciri orang yang dikategorikan tekun itu? Secara garis besar tentunya ada batasan- batasannya. Seperti halnya Budi dikatakan sebagai orang yang tekun, tentu karena dia memiliki ciri dan faktor yang menunjang. Orang yang tekun tentu memiliki suatu objek yang menjadi sasarannya, sehingga ia harus menekuninya. Ketekunan seseorang memiliki beberapa sifat pendukung, seperti: rajin, gigih, ulet, optimis, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah. Sepantasnyalah seorang yang telah memiliki sederet sifat itu, disebut orang yang tekun. Dan, tidak cukup sampai di situ, sederet sifat yang telah dimilikinya itu harus dilakukan secara terus- menerus hingga mencapai target dan tujuan yang hendak dicapai. Ketekunan itu bukan sifat yang timbul tenggelam, dong- dongan ( bhs. Jawa ), semau gue, musim- musiman, angot- angotan, dan seterusnya. Sifat orang tekun selalu konsisten, tidak mudah berubah pandangan, tidak tergantung pada lingkungan dan suasana, tidak mudah terbawa bujukan dan rayuan orang lain. Kisah Para Rasul 2: 41- 47 dengan periskop: "Cara hidup jemaat yang pertama", mengungkapkan kunci keberhasilan jemaat dalam mengembangkan pelayanan dalam jemaat. Perkembangan yang hendak dicapai dititikberatkan pada kualitas jemaatnya, yang pada akhirnya dengan kualitas itu dapat ditambahkan secara kuantitas yang lebih melimpah. Kunci keberhasilan jemaat pertama itu adalah ketekunan dalam pengajaran dan persekutuan ( ay. 42 ). Ketekunan dalam pengajaran dan persekutuan yang dilakukan oleh jemaat yang pertama itu, tidak jauh berbeda dengan ketekunan Budi. Jemaat itu tentunya memiliki sifat: rajin, ulet, gigih, optimis, dan tidak mudah menyerah. Hanya saja oreintasi dan arah tujuannya lain. Tujuan yang diemban jemaat itu menuju satu muara, yaitu pengembangan iman melalui pengajaran dan persekutuan kepada Tuhan. Dengan bertekun, itulah sifat dan kunci yang sangat efektif yang harus ditempuh untuk membina kualitas jemaat tersebut. Ketekunan yang dilakukan jemaat pertama itu bukan sifat yang angot- angotan atau timbul tenggelam, tetapi sifat yang secara terus- menerus dan berkesinambungan. Kerajinan yang dimiliki harus dilakukan terus- menerus. Demikian pula dengan keuletan, kegigihan dan rasa optimisnya, sehingga keberhasilan semakin hari semakin tampak dan dapat dirasakan dalam pertumbuhan iman jemaatnya. Kunci keberhasilan jemaat pertama yang dengan semangat bertekun dalam pengajaran dan persekutuan, tentunya sudah diterapkan oleh jemaat masa kini sebagai upaya dan strategi dalam pengembangan jemaat di lingkungannya. Hampir setiap umat Kristen pernah mendengar khotbah yang diambil dari periskop ini, mungkin lebih dari sekali atau secara diam- diam kita telah membaca dan menghayati ayat- ayat itu dengan baik. Namun, kita juga menyadari bahwa tidak semua gereja menerapkan strategi pengembangan jemaat seperti yang dilakukan jemaat mula- mula itu. Kita menemukan adanya gereja yang berusaha sedemikian rupa untuk meningkatkan jumlah anggota jemaat sebanyak mungkin, tanpa disertai dengan pembinaan kualitas imannya. Dengan strategi yang demikian, tidaklah mengherankan kalau orang Kristen yang terhimpun di dalamnya adalah orang Kristen yang imannya kosong, atau yang lebih sering disebut "Kristen KTP". Sikap hidup orang yang demikian tidak akan berbeda dengan orang yang tidak mengenal Tuhan. Ada juga yang hanya menekankan pembangunan tempat ibadah dengan semegah dan semewah mungkin, tanpa mempedulikan kualitas iman jemaatnya. Dengan strategi- strategi semacam ini timbul pertanyaan: Siapa dan bagaimana orang yang terhimpun di dalamnya? Tak ayal lagi, orang menyebut gereja bagaikan sebuah musium. Hal itu disebabkan jumlah pengunjung tidak sepadan dengan kapasitas ruangannya atau pengunjung yang hadir setiap minggu berganti- ganti wajah seperti layaknya orang mengunjungi sebuah musium yakni hanya sekedar melihat- lihat. Sebutan " jemaat musiman " bahkan sudah akrab di telinga kita. Menjelang Natal atau Paskah gereja begitu sesak. Berbeda dari bulan- bulan yang lain, bangku- bangku gereja kosong. Atau, pada tanggal muda gereja juga dipenuhi orang- orang yang datang untuk membawa persembahan bulananya, dan setelah itu mereka sibuk dengan kepentingan pribadinya. Kehadiran pada setiap awal bulan itu membuat mereka tenang karena dengan begitu majelis atau pendeta tidak akan datang mengunjungi mereka. Bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin jemaat, bila hal- hal yang demikian terjadi? Akankah dibiarkan begitu saja, selama dana dan persembahan untuk gereja masih dipenuhi? Atau, sudahkah dirasa cukup hanya dengan kehadiran sekali sebulan? Satu hal yang patut dipertanyakan adalah, bagaimana pemeliharaan dan pertumbuhan rohani jemaatnya? Tanpa disadari, kadang- kadang kondisi gereja dan jemaat telah bergeser dari kepentingan yang semula, yaitu kebutuhan iman dan rohani pada kepentingan materi. Terasa menyedihkan kalau hal- hal yang demikian telah membudaya di dalam gereja- gereja kita, khususnya jemaat di kota- kota besar yang sebagian besar anggota jemaatnya diwarnai dengan kesibukan yang tak dapat ditinggalkan. Dengan bersikap demikian akan menjadi semakin pantas kalau orang lain menyebut gereja telah berubah makna dan orang yang berkunjung seperti layaknya mengunjungi musium, restoran atau gedung bioskop. Pembicaraan tentang ketekunan seorang mahasiswa dan perkembangan jemaat pertama dapat memberikan kesegaran yang baru. Hanya dengan bertekunlah seseorang dapat berhasil. Dengan bertekun dalam pengajaran dan persekutuan, jemaat pertama dapat berkembang dan diberkati Tuhan yaitu dengan semakin banyaknya orang yang menjadi percaya dan dibaptis. |
![]() |
Thread Tools | |
|
|