|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
|||
|
|||
![]() MENIKAH TERLALU MUDA Banyak kaum muda yang menikah pada usia yang terlalu muda. Renungkanlah kesaksian berikut ini: "Aku berumur tujuh belas tahun, baru saja menyelesaikan kelas sepuluh beberapa minggu yang lalu. Lalu aku berjumpa dengan dia. Dia berumur dua puluh empat tahun, putera satu-satunya dari orangtua yang bercerai. Dia telah bepergian keseluruh penjuru dunia sejak umur tujuh belas tahun. Dia tampan, cerdas, dan penuh dengan kisah, petualangan, angan-angan, dan impian. Ia membuatku jatuh hati. Kami mengadakan suatu pesta pertemuan yang intim beberapa bulan kemudian pada hari ulang tahunku yang ke delapan belas. Dia seakan-akan menjadi putera yang tidak pernah dimiliki orangtuaku. Aku adalah anak yang pertama bertunangan dari antara teman-teman perempuanku. Aku pergi ke sekolah (smu) dengan memakai cincin pertunangan berlianku bagaikan sebuah piala di jariku. Segalanya dipenuhi dengan janji akan kebebasan melalui cinta. Seseorang bisa saja mempunyai pemikiran yang sama pada usia saat itu, bahkan pernikahan adalah jalan keluar terbaik dari masa remaja. Ujian SMUku berakhir pada tanggal 24 Juni, dan aku menikah pada tanggal 27 Juni. Lalu kami segera pulang ke "sarang cinta" kami. Aku tidak tahu bagaimanan caranya memasak, membersihkan rumah, maupun menyetrika. Aku tidak tahu sama sekali bagaimana caranya berumah tangga. Namun hal itu merisuakan dirinya. Dia membawa cuciannya pada ibuku (atas desakan ibu dan sikap tidak ambil pusingku), dan ibu menyetrika semuanya untuk dia, dengan penuh kasih,s ebagaimanan yang telah ibu lakukan untuk ayah selama lebih dari tiga puluh tahun. Aku meneruskan sekolah ke Perguruan Tinggi, mengambil jurusan filsafata dan kajian feminisme (hak-hak wanita). Ia bekerja sebagai tenaga penjualan, penulis puisi,d an pemain saxophone. Tiga thaun kemudian, kami mempunyai seorang bayi perempuan. Tidak ada lagi masa main-main. Aku diproyeksikan ke dalam dunia nyata. Aku adalah seorang ibu, dan aku harus bertanggung jawab. Bagi suamiku, pertanggungjawabannya adalah bekerja keras siang-malam. Aku tidak memiliki seseorang yang dapat diajak berbincang-bincang. Aku melepas kuit remajaku, dan kulit baruku sebagai seorang manita muda dewasa ternyata telah mengalami berbagai luka parut. Tetapi aku masih kekuarangan pengalaman hidup. Dia mulai pergi berwisata memancing ikan di akhir pekan, dan ibuku memperingatkannku agar mengawasi keberadaannya. Satu tahun kemudian ami bercerai. Kami bagai menjadi orang asing dengan wajah-wajah yang saling kami kenali. Kami tidak lagi mempunyai kesaam selain seorang anak kecil teramamt lucu yang baru belajar jalan. Apakah dulu kami pernah saling berbagi impian? Dahulu aku menginginkan suatu kehidupan penuh petualangan. Sedangkan ia menginginkan suatu rumah dan keluarga. Sedangkan pada saat kami bercerai, ia hidup dalam petualangan-petualangnanya. Kini aku adalah seorang ibu tunggal--hidup tennag tetapi tidak benar-benar tenang. Sebagai pasangan remaja,a dalah suatu tantangan untuk melewati masa remaja mereka bersama-sama dan utnuk masuk ke dunia orang dewasa sebagai dua insan yang saling terkait, masing-masing bertanggung jawab terhadap bagiannya dalam hubungan mereka berdua. Maka pertanyaan yang sesungguhnya adalah: Apakah Anda akan tumbuh berkembang bersama, atau apakah Anda akan tumbuh sendiri-sendiri?" Lebih dari 60 persen pernikahan sdi usia remaja gagal dalam lima tahun. Eleanor H. Ayers menulis dalam bukunya, Teen Marriage, "Seorang anak perempuan yang menikah pada usia tujuh belas tahun dua kali lebih besar peluangnya untuk bercerai daripada anak perempuan umur delapan belas atau sembilan belas tahun. Jika seseorang perempuan menunggu sampai dia berumur dua puluh lima tahun, peluang pernikahannya akan bertahan adalah emoat kali lebuh baik. Berekata tidak pada pasangan Anda saat remaja bukan berarti berkata tidak untuk selamanya. Mengapa memulainya dengan berbagai rintangan yang menghadang Anda?" Lebih tua umur seseorang wanita pada saat pernikahannya, lebih lama pernikahan itu sepertinya kana berlangsung. Kesimpulan itu didasarkan pada survei pada tahun 1995 oleh Center for Disease Control and Prevetion terhadap 10.847 orang wanita dengan usia antara lima belas tahun hingga empat pulu tahun . Di antara data statistik dari kemungkinan , yang dilakukan hanya pada kelompok umur, hasilnya adalah sebagai berikut: - Sekitar 43 persen dari pernikahan-pernikahan pertama berakhir dengan perceraiaan maupun perpisahan dalam jangka waktu lima belas tahun, dimanan satu drai tiga pernikahan pertama bubar dalam jangka waktu sepuluh tahun dan satu dari lima berakhir dalam jangka waktu lima tahun. - Sekitar 59 persen dari pernikahan-pernikahan wanita berumur di bawah delapan belas tahun berakhir dengan perpisahan atau perceraian dalam jangka waktu lima belas tahun, dibandingkan dengan 36 persen dari mereka menikah pada usia dua puluh tahun atau lebih. Isu tentang menikah di usia remaja ini merupakan hal yang perlu untuk dipahami. Tentu saja , pada topik yang secara emosional terbagi-bagi ini, akan selalu ada perkecualian-perkecualian terhadap pepraturan. Keuntungan dari pernikahan usia muda antara lain pertama, penyesuaian diri dengan pasangan akan lebih mudah daripada ketika kebiasaan dan cara berpikir telah terbentuk kokoh. Kedua, anak-anak akan bertumbuh lebih baik jika orangtua mereka cukup muda. Ini berkaitan dengan semakin besarnya kemungkinan bagi para wanita untuk melahirkan maupun dalam penyesuaian psikologis antara anak dengan orangtua. Ketiga, bertambahnya usia mengurangi kesempatan wanita untuk menikah. Elizabeth Powers, asisten profesor di Institute of Goverment and Public Affairs, menyatakan bahwa anak muda seringklai yakin bahwa hidup akan menjadi lebih baik jika menikah. Dia berkata bahwa jika lebih banyak remaja yang melanjutkan hubungan cinta ke jenjang pernikahan dan terus hidup bersama, maka hal itu bisa meningkatkan keamanan perekonomian. "Pasti anak-anak dari dari keluarga yang menikah sedikit kemungkinannya untuk hidup dalam kekurangan," Powers selanjutnya berkata. "Hasil-hasil dari pernikahan itu adalah baik. Tetapi terdapat kerugian-kerugian yang besar dalam pernikahan yang terlalu muda,. Pertama, pernikahan itu mungkin akan merintangi rencana-rencanan pendidikan atau masa depan si suami. Kedua, pernikahan itu mungkin akan menghalangi kemampuannya dalam memperoleh pendapatan. Dengan adanya suatu keluarga yang bergabtung padanya ketika dia sedang berjuang untuk meningkatkan kemampuan dan aktivitasnya hingga tidak bisa memperoleh kemajuan. Ketiga, kualitas penting dari pasangan yang baik seringkali tidak dihargai hingga usia pertengahan atau akhir dua puluh tahunan. Anak muda cenderung salah memahami antara keadaan kasmaran dan cinta. Yang seringkali terjadi adalah bahwa orang yang mereka jatuh cinta kepadanya saat umur dua puluhan akan menjadi tidak menarik lagi pada saat mereka berumur dua puluh lima tahun ketika penilaian mereka menjadi lebih dewasa. Keempat, orang yang lebih tua cenderung kebih siap untuk bertanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Studi-studi tentang kebahagian perkawinan menunjukkan adanya suatu hubungan yang kuat antara pernikahan terlalu muda dengan ketidakbahagiaan dan diikuti oleh penceraian. Jason menikah saat remaja: "Sebagai bagian dari suatu pernikahan remaja yang gagal, saya secara pribadi tidak akan mendukung pernikahan remaja. Saya mengenal banyak sahabat yang juga mengalami kegagalan pernikahan remaja mereka. Salah satu pertimbangan yang mendasar untuk bercerai adalah uang yang berhubungan dengan pengeluaran dan rekening tagihan, akrena salah satu pasangan mengahsilkan ataupun tidak berpenghasilan. Alasan lain yang diajukan adalah kurangnya komunikasi. Tampaknya dalam masyarakat maa kini, kita seringkali cenderung untuk menyimpan emosi dan perasan kita, sampai kita melepaskanna sedemikian rupa hingga menyebabkan kerusakan hubungan yang tidak dapat diperbaiki lagi. Jadi mengapa para remaja masih juga menuju kapel-kapel pernikahan favorit untuk menikah? Seringkali hal itu terjadi akibat kehamilan. Sebagian besar pernikahan remaja berkaitan dengan kehamilan dan segera berakhir setelah anak mereka lahir. Pasangan remaja yang sedang menunggu kelahiran bayi mereka perlu menyadari bahwa menikah bukanlah satu-satunya pilihan. Remaja yang lain hanya ingin segera menghindar dari orangtua mereka danmemperoleh kebebasan mereka. Realitas biasanya muncul dengan tangung jawab yang selayaknya dimiliki oleh orang dewasa. Para remaja yang serius berpikir untuk menikah perlu memahami beberapa hal berikut ini: - Pertama adalah uang. Bagiamana cara mereka menghasilkan uang nantinya? Apakah mereka dapat berpenghasilan yang cukup untuk kehidupan rumah tangga mereka? - Kedua adalah dimana mereka akan tinggal. Secara langsung ini berhubungan dengan hal yang pertama (uang). Tanpa uang, mereka mungkin harus tinggal dengan orangtua mereka, yang tentunya bukanlah ide yang menarik. - Yang ketiga yaitu anggota keluarga yangbertambah. Apakah mereka dapat bergaul akrab dengan anggota keluarga yang lain? Mereka tidak hanya menikah dengan pasangan mereka, tetapi jua bergabung dalam keseluruhan keluarga. - Hal yang keempat yang biasanya muncul adalah anak-anak. Apakah sang ibu akan terus bekerja atau haruskah dia bekerja? Berapa banyak anak yang mereka inginkan? - Kelima adalah pendidikan. Apakah mereka akan menyelesaikan sekolah, dan siapa yang akan menyelesaikannya? Pengorbanan ap ayang dengan rela akan mereka lakukan demi untuk menyelesaikan sekolah? - Yang keenam adalah nilai-nilai. Apakah sebagan dari nilai-nilai yang masing-masing pribadi yakin dapat berjalan beriringan? Mereka tidak perlu saling menyetujui dalam segala hal. Itu akan membosankan. Bahkan, jika mereka selalu saling menyetujui dalam segala sesuatu, maka harus saling menyetujui dalam nilai-nilai yang mendasar, seperti iman, komitmen, keluarga, dan pekerjaan yang jujur. Orang dewasa yang peduli perlu menasihati para remaja agar menyeleaikan pendidikan mereka terlebih dulu sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan. Menikah danberusaha menyelesaikan Sekolah Menengah, Sekolah Teknik, maupun Perguruan Tinggi adalah perjalanan yang jauh lbeih sulit yang lebih panjang. Dapatkan hal iu diselesaikan? Pasti, tetapi berbagai rintangan akanmenghadang. Dan bahkan, remaja akan menenmukan bahwa tanggung jawab itu tingkatannya lebih tinggi dibanding sekedar memperoleh pendidikan. Hal yang lain yangberkaitan erat dengan pendidikan adalah pekerjaan (setidaknya, pekerjaan suami). Tagihan harus dibayar, makanan harus idbeli, kontarkan rumah harus dilunasi, dan kendaraan tidak akan berjalan kalau hanya dengan cinta. Maka seseorang harus menghasilkan uang yang cukup dan teratur. Bahkan akan lebih baik jika memperoleh pekerjaan di bidang pelatihan. Dengan cara ini anak muda akan menjalani karir mereka dengan peluang untuk maju yang lebih besar. Begitu hal-hal ini teratasi, maka keluarga dari kedua belah pihak akan lebih mendukung rencana pernikahan pasangan muda tersebut. Efesus 5:31 berkata, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." |
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
Thread Tools | |
|