BANDUNG, - Pengeluaran para pelaku usaha di Indonesia untuk biaya transportasi masih tinggi, yakni berkisar 20-30 persen dari biaya produksi. Padahal, di negara lain seperti Malaysia dan Thailand hanya sekitar 10-15 persen. Selain lemahnya infrastruktur, masih banyak biaya siluman seperti pungutan liar di sepanjang jalur logistik.
Kepala Logistics & Supply Chain Center (LOGIC) Universitas Widyatama Bandung, Setijadi, Jumat (19/11/2010), mengatakan, perusahaan-perusahaan di negara maju seperti Jepang dan Amerika bahkan hanya mengeluarkan biaya kurang dari 10 persen untuk pengangkutan dan distribusi produksinya. Dampak kondisi ini, produk Indonesia kalah bersaing dengan produk lain terlebih karena harga produk Indonesia jauh lebih mahal dibanding negara lain walaupun barangnya hampir sama.
Kenaikan harga produk jadi konsekuensi hambatan rantai logistik karena perusahaan juga harus menanggung kerugian karena proses produksi tidak efisien. Seperti jalan rusak, akibatnya menghambat pengiriman barang dan memperlama waktu tempuh.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, Deddy Widjaja, kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan naiknya pengeluaran biaya bahan bakar. Belum lagi, pengiriman barang terhambat karena barang datang terlambat. Ia berpendapat, salah satu penyebab stok barang seringkali hilang di pasaran, bukan karena produsen tidak ada barang, melainkan barangnya terhambat di jalan.
Biaya Siluman
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar, Agung S Sutisna menyatakan, persoalan rumit lain terkait transportasi logistik yakni munculnya biaya siluman atau biaya ekstra dalam transportasi. Ini bisa dilihat dari indikasi praktik suap di jembatan-jembatan timbang yang berdampak pada pelanggaran pembatasan beban atau muatan kendaraan. "Praktik pungutan liar di sepanjang jalan juga masih terjadi," ujarnya.
Mengenai hal ini, Setijadi memaparkan, persoalan jembatan timbang sebanarnya cukup dilematis. Di satu sisi, jembatan timbang dibutuhkan untuk mengatur tonase kendaraan untuk menghindari kerusakan jalan dan kecelakaan. Namun adanya jembatan timbang juga menimbulkan potensi pelanggaran oleh oknum petugas.
"Kalau ada uang lebih, kendaraan barang dengan muatan melebihi kapasitas, dimungkinan bisa tetap jalan. Padahal risiko bagi perusahaan, kendaraan cepat rusak akibat membawa muatan berlebih," jelasnya.
Akibat karut-marut kondisi pengangkutan dalam negeri ini, Logistics Performance Index Indonesia turun drastis. Pada tahun 2008, menurut Setijadi, posisi Indonesia masih berada di urutan 43 dari 150 negara di dunia. Namun pada 2009, posisi Indonesia hanya menempati urutan ke-75. Penilaian ini didasari dari waktu dan biaya transportasi yang dikeluarkan para pelaku usaha industri dalam pengadaan barang.