|
Go to Page... |
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() HARI Buku Nasional yang diperingati setiap 17 Mei patut menjadi renungan bersama, betapa dunia perbukuan kita dikepung banyak hal yang tak mudah dibenahi. Bahkan, 32 tahun sejak 17 mei 1980 sampai sekarang, kepungan tersebut menjelma menjadi benang kusut yang sulit diurai. Pengepung yang paling mutakhir berbentuk �kotak ajaib� bernama televisi. Di negara maju yang budaya bacanya sudah tinggi saja, rata-rata anak sekolah menghabiskan sekitar 60-90 jam per pekan untuk menonton televisi. Apalagi di Indonesia yang masih didominasi budaya lisan dan menonton, tentu proporsi waktu untuk menonton televisi jauh lebih besar. Yang jelas, televisi kini lebih digemari dan banyak orang yang enjoy bertafakur berjam-jam di depannya ketimbang membaca buku. Kondisi itu secara langsung menjadi hambatan tersendiri bagi perkembangan dunia perbukuan kita. Kuatnya dominasi budaya menonton mengakibatkan perbukuan kita sulit berkembang. Belum lagi diperparah dengan minimnya anggaran keluarga Indonesia atas pendidikan, salah satunya untuk membeli buku. Bahkan, pada keluarga yang tergolong miskin pun, membeli buku bukan prioritas atas. Mereka lebih mementingkan belanja rokok untuk dibakar dengan sia-sia ketimbang membeli buku. Jadi, selain kuatnya budaya lisan dan menonton, yang membuat dunia perbukuan kita cenderung stagnan adalah lemahnya kesadaran masyarakat untuk membeli buku. Butuh perjuangan ekstrakeras dalam rangka meningkatkan perkembangan alam perbukuan kita. Satu poin penting yang perlu diupayakan bersama adalah memberikan edukasi yang tepat bagi masyarakat untuk mau membaca, mencintai, dan membeli buku. Andai sudah tertanam kesadaran kuat pada tiga hal tersebut, niscaya perbukuan kita berkembang lebih pesat lagi, Amien ![]() Terkait:
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|