FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Nasional Berita dalam negeri, informasi terupdate bisa kamu temukan disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
JOGJA -- Pemerintah terus mendapatkan tekanan agar segera merealisasikan penetapan Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Kali ini anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) siap pasang badan menggugat UU Keistimewaan Jogja jika kelak mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur tidak melalui penetapan.
"Kami siap mengajukan uji materiil ke MK (Mahkamah Konstitusi)," kata anggota DPD Denty Eka Widi Pratiwi saat menyerap aspirasi masyarakat terkait RUUK Jogja di lantai 2 gedung DPRD DIJ kemarin (18/12). Menurut anggota DPD asal Jateng itu, gugatan tersebut diajukan karena pemilihan gubernur dianggap bertentangan dengan konstitusi. Terutama pasal 18 huruf b UUD 1945 yang mengakui eksistensi daerah yang bersifat istimewa. Senator asal Temanggung itu menambahkan, secara kelembagaan DPD telah menyetujui suksesi jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ dilakukan dengan cara penetapan, bukan pemilihan. Sikap itu tecermin dari RUUK Jogja versi DPD yang telah diserahkan ke DPR. Selain itu, DPD sudah menerima sikap politik DPRD DIJ yang berisi hal yang sama. Denty merasa ikut sakit hati saat mengetahui aspirasi yang dihasilkan dalam sidang rakyat tak didengar pemerintah pusat. Karena itu, bila aspirasi penetapan tetap diabaikan, DPD akan siap mengambil langkah hukum. Di hadapan ratusan warga yang berasal dari berbagai elemen, secara bergantian anggota DPD dari berbagai provinsi itu memberikan dukungan penuh terhadap aspirasi penetapan. Sikap itu disuarakan Bambang Susilo (Kaltim), Bachrum Manyak (NAD), dan Paulus Yohannes Sumino (Papua). "Kami sepakat dengan penetapan. Rakyat Papua mendukung penuh," kata Paulus. Baginya, DIJ merupakan putra sulung NKRI dan Papua adalah anak bungsu. "Kalau anak sulung diganggu, anak bungsu tentu akan bersikap," tegas Paulus. Kunjungan kerja DPD ke Jogja tersebut batal dihadiri dua pimpinan DPD, yakni GKR Hemas dan Laode Ida. Rombongan yang beranggota tujuh orang itu dipimpin Ketua Komite I Dani Anwar yang berasal dari DKI. Dalam keterangannya, Dani menyatakan bahwa dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki, DPD akan berbuat maksimal untuk mengegolkan RUUK Jogja sesuai dengan aspirasi masyarakat Jogja. Dani mengatakan, lembaga DPD seolah masih dikerangkeng oleh konstitusi. DPD tidak diberi kebebasan membahas RUUK dengan DPR. Lembaga senator itu hanya mendapatkan kesempatan pembahasan dalam tahap pertama dengan DPR. "Karena itu, kita akan berjuang habis-habisan untuk penetapan," ucapnya. Lebih dari tiga jam delegasi dari DPD tersebut mendengarkan berbagai dukungan dan curhat masyarakat yang menginginkan penetapan segera diwujudkan. Sementara itu, mantan Rektor UGM Sofian Effendi menilai, keberadaan RUUK Jogja diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan. Munculnya pergolakan di Aceh pada 1950-an terjadi karena wilayah Aceh yang bersifat istimewa tiba-tiba masuk karesidenan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Setelah ada gejolak, pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah istimewa terpisah dari Sumut. "Hak keistimewaan DIJ tidak hanya diberikan kepada pemimpinnya, tapi juga untuk daerah dan rakyatnya," ungkap Sofian. Sayangnya, pemerintah berupaya mereduksi keistimewaan hanya penetapan atau pemilihan kepala daerah. Berbicara soal demokrasi, Sofian juga mengingatkan sebetulnya terletak pada sistem pemerintahan yang disenangi rakyatnya sehingga rakyat patuh kepada pemerintah. Namun, dalam praktiknya ada kekeliruan di Indonesia. Demokrasi Indonesia tidak berakar pada budaya bangsa sendiri, tapi langsung mengadopsi budaya asing. "Mengapa harus memakai demokrasi cara Londo (Barat)," kritik Sofian. Adik HB X, GBPH Joyokusumo, mengatakan bahwa pengorbanan yang ditunjukkan HB IX tidak hanya atas nama pribadinya, tetapi juga atas nama institusi keraton yang saat itu merupakan negara yang memiliki pemerintah dan rakyat sendiri. Pengorbanan HB IX itu ditunjukkan saat membantu pemerintahan RI ketika Jogja menjadi ibu kota. "Rumah dinas wakil presiden saat itu menempati bangunan milik keraton. Sekarang digunakan kantor makorem (markas komando resor militer) di Jalan Reksobayan," kenangnya. Praktisi hukum Achiel Suyanto SH MBA menegaskan, gagasan gubernur utama yang ditawarkan pemerintah dalam RUUK Jogja tidak punya pijakan yuridis. Istilah gubernur utama tak ada dalam konstitusi. "Kalau pemerintah nekat, bisa kena impeachment," ingatnya. (kus/jpnn/c4/agm) SUMBER |
#2
|
||||
|
||||
![]()
Pesan TS
![]() Spoiler for pesan:
|
![]() |
|
|