FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Penguasa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menolak tegas penerapan syariat Islam di wilayahnya. terkait konsep Yogyakarta Serambi Medinah yang direkomendasikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY beberapa waktu lalu.
Menurut Sultan, jika konsep Serambi Medinah diarahkan pada kegiatan syariat Islam, hal tersebut justru sebagai suatu kemunduran masyarakat, apalagi dengan kondisi kepluralitasan yang dimiliki Yogyakarta. “Kalau mengarah struktur mensyariatkan Islam, itu kan bertentangan dengan dinamisasi masyarakat Yogyakarta yang menghargai keragaman tersebut. Kalau seperti itu kita mundur dari pluralitas yang sudah ada,” ujar Sultan “Serambi Medinah itu menurut saya bukan dalam konteks agama, namun budaya. Bukan pada pengertian Medinah, Arab dan Islam,” tukas Sultan. Sultan menambahkan, usulan Serambi Medinah merupakan inisiatif dari masyarakat, dan bukan pemerintah daerah. “Saya selaku Sultan ya mempersilakan saja, kalau ada usulan tentang Serambi Medinah tersebut. Dan itu bukan inisatif pemerintah,” tegas Sultan. Sumber:Arrahmah.com Pendapat TS: وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَّلاَ يَهْتَدُوْنَ “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yg telah diturunkan Allah” mereka menjawab: ” tetapi kami hanya mengikuti apa yg telah kami dapati dari nenek moyang kami walaupun nenek moyang mereka itu tdk mengetahui sesuatupun dan tdk mendapat petunjuk?” Dalam banyak masyarakat di mana orang menjadi Budha Yahudi, animis atau kejawen bagi masyarakat Jawa, melakukan ritual agamanya semata-mata hanya krn tradisi. bukan utk mencari ridha Allah, karenanya, segala usaha utk mengabadikannya sebagai warisan, tidak bernilai sama sekali di sisi Allah Subhaanahu wa Taala. Terakhir, saya amat sangat menyayangkan cara pandang Sri sultan kepada ‘ulama. Dari ucapannya diatas, bisa disimpulkan, bahwa dalam pandangan sultan, kedudukan ‘ulama tidak ada bedanya dengan masyarakat biasa, yang pendapat maupun fatwa-fatwanya, tak terlalu penting untuk didengar. Itu artinya, raja Jogja ini belum mengerti kedudukan ulama disisi Allah SWT. Beliau belum mengerti, bahwa disisi Allah, ulama adalah “Al-Akhyar” (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Rasulullah saw. Menggambarkan kedudukan mulia para ulama dalam hadits-hadits beliau. “Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi itu laksana bintang di langit, yang dapat menerangi kegelapan daratan dan lautan. Apabila bintang-bintang itu pudar, niscaya petunjukpun menjadi redup”. (HR. Ahmad) Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi. Last edited by blackvario; 8th July 2010 at 01:14 PM. |
#2
|
||||
|
||||
![]()
keraton jogja itu kraton islam, sejak sultan agung. tapi tidak mesti menghapus budaaya dengan menerapkan syariat islam
|
![]() |
|
|