
28th March 2011
|
 |
Ceriwis Geek
|
|
Join Date: Nov 2010
Location: PIC#01
Posts: 19,459
Rep Power: 0
|
|
Kisah Pekerja Reaktor Fukushima Menembus Tsunami
Pekerja di ruang kontrol reaktor nomor 2 pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi. REUTERS / Tokyo Electric Power Co / Kyodo
Quote:
TEMPO Interaktif, Tokyo - Hiroyuki Nishi lolos dari kematian di hari gempa bumi raksasa melanda Jepang dua minggu lalu ketika cantelan crane seberat 200 ton runtuh hanya dua meter dari dirinya saat gempa.
Sekarang, tempat di mana dia mencium kematian - reaktor nomor 3 di pembangkit listrik nuklir Fukushima Daiichi yang lumpuh - adalah alasan ia tidak bisa pulang. Reaktor nomor 3 itu telah mengalami kebocoran radioaktivitas tinggi dan operatornya, Tokyo Electric Power Co (TEPCO), tidak bisa mengatakan alasannya.
Pemerintah Jepang telah mengenakan evakuasi radius 20 km di sekitar reaktor karena bahaya radiasi, dan kampung halaman Nishi, Minamisoma, tepat berada di puncaknya ke utara.
Nishi, 31, bekerja untuk kontraktor yang melakukan pekerjaan konstruksi di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir dan di dalam enam reaktor.
Pada tanggal 11 Maret, ia berada di dalam gedung reaktor mengarahkan tugas crane, yang memindahkan material ke luar. Pukul 14.46 gempa melanda dengan kekuatan titanic, pada skala 9,0 yang paling besar yang pernah direkam Jepang. Gempa yang berlangsung lebih dari dua menit juga menyebabkan tsunami yang besar. Lebih dari 27 ribu orang tewas atau hilang.
"Saya merasa segalanya bergetar, dan kemudian segalanya menjadi gila," kenang Nishi dalam sebuah wawancara. "Saya berteriak, 'Berhenti! Berhenti!'"
Kemudian lampu padam, meninggalkan sekitar 200 pekerja di dalam reaktor dalam kegelapan karena struktur tidak memiliki jendela. Lampu darurat kecil merah mulai berkedip. "Kemudian beberapa jenis asap putih atau uap muncul dan semua orang mulai tersedak," kata Nishi.
"Kami semua menutup mulut kami dan berlari ke pintu." Namun pintu utama di luar terkunci, menutup secara otomatis selama gempa untuk melindungi kebocoran apa pun.
Para pekerja terjebak. "Orang-orang berteriak, 'Keluar, keluar!'" kata Nishi. "Semua orang berteriak."
Hiruk-pikuk bertahan selama sekitar 10 menit dengan para pekerja berteriak dan memohon untuk diizinkan keluar, tapi pengawas TEPCO meminta untuk tenang, seraya mengatakan bahwa setiap pekerja harus menjalani ujian paparan radiasi.
TEPCO pun mulai menguji pekerja tetapi muncul kemarahan. Nishi ingat teriakan marah dari kalangan pekerja termasuk teriakan dari beberapa pekerja asal Kanada.
"Kami berteriak bahwa struktur reaktor itu akan runtuh atau bahwa tsunami akan datang," kenang Nishi. Paparan radiasi adalah hal terakhir di pikiran mereka. Akhirnya, para pekerja TEPCO menguji sekitar 20 orang sebelum menyerah dan membuka pintu.
Para pekerja dibebaskan berlari ke mobil atau ke lokasi yang lebih tinggi. Nishi menuju ke mobilnya bersama rekan kerjanya yang juga tinggal di Minamisoma, sekitar setengah jam perjalanan jauhnya. Mereka berhasil keluar dari reaktor tepat pada waktunya untuk menghindari tsunami tetapi tidak siap untuk perjalanan pulang.
Rasanya seperti perjalanan melalui lanskap apokaliptik. Lalu lintas macet, dan gempa susulan yang kuat membuat mobil terguncang berulang kali. Ponsel Nishi dan temannya terus-menerus menerima peringatan "gempa-datang", dan radio mobil dipenuhi laporan kepanikan akibat kerusakan tak terbayangkan dari tsunami dan peringatan dari gelombang pasang surut lanjutan.
Mereka melewati bangunan rusak, mobil yang tampak seolah-olah berjatuhan dari jembatan, dan kuda dan sapi mati di pinggir jalan. Beberapa rumah tumbang di depan mata mereka menyusul gempa lanjutan.
Nishi tak bisa menghubungi istrinya Azusa, 27, melalui telepon. Dia panik mengingat anaknya yang berusia sembilan bulan, Tsubasa, di rumah, serta Hayato, 6 tahun, yang berada di TK pada saat gempa melanda.
"Saya berteriak di telepon: Tolong, tolong terhubung!" katanya. Nishi dan rekannya terjerumus ke dalam percakapan hari kiamat fatalistik.
"Kami berbicara tentang tiga kemungkinan," katanya. "Bahwa seluruh keluarga kami telah meninggal. Bahwa beberapa telah meninggal dan beberapa tersisa. Apakah rumah kami masih ada di sana.."
Pikiran bahwa semua anggota keluarga bisa selamat tidak masuk ke dalam pikiran mereka. "Melihat apa yang terjadi, kami hanya tahu itu tidak mungkin," kata Nishi.
Ketika mereka akhirnya sampai ke Minamisoma, menjadi jelas bahwa rumah rekan Nishi tak lagi berdiri. Istrinya, putra berusia 7 bulan, dan orang tuanya kemungkinan telah pergi jauh.
Nishi menurunkan temannya dan pergi ke rumahnya sendiri. Rumahnya sebagian runtuh dan berantakan akibat gempa, tapi tsunami telah berhenti 100 meter menjelang rumahnya, yang empat kilometer di pedalaman. Sepertinya tidak ada orang di rumah.
Pengeras suara di kota mengatakan kepada orang-orang untuk menuju ke pusat-pusat evakuasi, yang terdekat di Kashima Middle School, dulu adalah SMP-nya. Nishi berjalan ke sana, dan pada sekitar 7.30 malam itu ia tiba di sekolah - dan menemukan keluarganya di sana, utuh, termasuk ibunya.
"Saya melihat istri saya, dan saya sangat, sangat bahagia," katanya, terdengar tercekat. "Saya melepaskan seluruh emosi saya, saya mencium anak-anakku di seluruh wajah, saya menyentuh wajah mereka di mana-mana, saya terus memberitahu mereka.'Saya sangat senang kau masih hidup'. Ada banyak air mata."
Hari berikutnya Nishi pergi ke rumahnya dan mendapati dirinya bisa membuka pintu. Dia buru-buru mengumpulkan beberapa barang: baju hangat, mie instan, air kemasan.
Orang tua rekannya ternyata hilang dan diduga tewas, tetapi istri dan anaknya selamat. Nishi dan keluarganya harus pindah ke sebuah apartemen di Prefektur Yamagata. Dia mendapat tunjangan pemerintah selama tiga bulan, tapi hanya untuk perumahan.
Ia merindukan kembali ke rumahnya, dan mengambil foto-foto keluarga dan papan selancar kesayangan dan baju basah. Dia juga memiliki perasaan campur aduk tentang pekerjaannya di reaktor nuklir.
"Saya sudah bekerja dan mendapat bayaran, jadi saya tidak berpikir buruk tentang itu," katanya. "Tapi, mereka berulang-ulang mengatakan bahwa itu aman. Saya hanya ingin bertanya mengapa."
REUTERS | ERWIN Z
|
|