FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Save Our Planet Forum diskusi tentang penyelamatan lingkungan hidup, tips, dan ide untuk GO Green |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Rencana pemindahan 5 pasang komodo (Varanus komodoensis ) dari Flores ke Bali di pertengahan tahun 2009 ini, ternyata menuai protes keras dari masyarakat setempat. Berbagai demonstrasi merebak di Nusa Tenggara Timur, yang intinya memprotes SK Menhut MS Kaban (menteri kabinet sebelum ini) yang berencana memin-dahkan 10 pasang komodo ke Bali. Menteri Kehutanan menerbitkan SK.384/Menhut-II/2009 tanggal 13 Mei 2009, yang mengijinkan penangkapan 10 ekor komodo dari Flores ke Taman Safari Bali dengan tujuan untuk pemurnian genetik. SK ini konon atas rekomendasi LIPI, yang menyimpulkan kondisi binatang ini terancam di lingkungannya dan kemungkinan punah besar. Proses yang sama pernah dilakukan pada burung Jalak Bali dan Kura-kura Leher Ular yang pernah ditangkarkan di Taman Safari dan sukses. Populasi komodo di alam bebas, saat ini diperkirakan hanya sekitar 2.500 ekor saja. Sepintas rencana ini terlihat baik, demi menghindarkan kepunahan spesies ini. Namun rencana ini ditafsirkan berbeda oleh publik. Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) melihat rencana pemindahan 5 pasang komodo ini adalah kedok untuk kepentingan pariwisata. Maklum, Bali adalah daerah tujuan wisata internasional nomer satu di Indonesia. Sementara komodo adalah salah satu binatang yang menarik perhatian wisatawan dunia dan berada di propinsi NTT. Bila binatang ini dapat ditonton di Bali, maka wisatawan tidak perlu terbang menuju propinsi NTT. Berbagai elemen masyarakat NTT pun angkat bicara maupun turun ke jalan. Mulai dari para pemuda sampai anggota DPRD maupun Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Sementara itu Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, juga menolak pemindahan 5 pasang komodo ini, dengan alasan tenggang rasa dengan masyarakat propinsi lain. Dengan kata lain Gubernur Bali juga melihat rencana ini mempunyai motif pariwisata, sehingga perlu tenggang rasa dan tidak perlu semua di Bali. ![]() Akhirnya rencana ini pun kandas atau paling tidak tertunda, karena sampai saat ini SK Menteri Kehutananan tersebut belum dicabut. Bisa jadi di masa datang, akan ada pemindahan komodo bila kondisi masyarakat sudah �dingin�. Lalu apa yang dimaksud dengan pemurnian genetika? Dan sejauh mana hal ini sudah diperlukan untuk komodo? Dalam ilmu biologi, molekuler genetika konservasi adalah aplikasi ilmu genetika yang bertujuan mempertahankan spesies langka dalam mengatasai perubahan lingkungan. Makin heterogen genetik, maka kemungkinan besar spesies tersebut bertahan hidup dan populasi-nya bertambah. Penelitian pada komodo sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2004, oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI dengan Universitas Florence (Italia). Telah diambil sampel darah komodo sebanyak 154 ekor dari berbagai wilayah, yaitu pulau Flores Utara, Flores Barat, Gili Montang, Nusa Kode, Rinca dan pulau Komodo sendiri. Hasil penelitian ini menemukan komodo yang ada di NTT mempunyai 8 haplotipe (semacam pembagian tipe berdasarkan DNA) berdasarkan sekuen control region DNA mitokondria dari sampel yang ada.Setiap haplotipe diberi nomer 1 sampai 8. Namun penyebaran 8 haplotipe ini tidak merata. Pulau komodo mempunyai 3 haplotipe (06, 07, dan 08), pulau Rinca mempunyai 4 haplotipe (03, 04, 05, dan 08), pulau Gili Montang mempunyai 1 haplotipe (04), pulau Nusa Kode mempunyai 1 haplotipe (05), Flores Utara mempunyai 2 haplotipe (01 dan 02), dan Flores Barat mempunyai 3 haplotipe (01, 03, dan 04). Dari penyebaran populasi komodo, haplotipe 06,07,08 adalah yang terbanyak karena berada di Taman Nasional Komodo / Pulau Komodo. Sementara komodo yang ber-haplotipe 01 dan 02 berada dalam kondisi kritis, karena hanya ada di Flores Barat dan Utara, di mana daerah ini bukan termasuk kawasan yang dilindungi, sehingga populasi komodonya pun sedikit. Juga komodo-komodo yang ada di pulau Gili Montang dan Nusa Kode, dalam satu habitat hanya memiliki 1 haplotipe. Tentu ini rawan kepunahan, karena homogen jenisnya. Berbeda bila dalam satu kawasan, sebuah spesies mempunyai beberapa variasi haplotipe, sehingga persilangan di antara memungkinkan dan memberi kemungkinan besar bertahan hidup bila terjadi perubahan-perubahan alam. Penambahan variasi genetika sebuah spesies , seperti komodo ini, bisa dilakukan lewat penangkaran di habitat aslinya (in-situ) atau di luar habitatnya (ex-situ). Penangkaran ex-situ biasanya dilakukan di kebun binatang atau di wilayah lain, yang dikondisikan alamnya semirip mungkin dengan habitat aslinya. Kisah sukses penangkaran ex-situ ini sering kita lihat pada kasus panda China di kebun-kebun binatang di dunia. Panda China mengalami kemerosotan jumlahnya di habitat aslinya, akibat pembangunan, penebangan hutan bambu. Sementara penangkaran di kebun binatang yang terawat dan kondisi alam yang dibuat semirip mungkin dengan aslinya, membuat Panda mampu berkembang biak. Mungkin hal inilah yang mendorong dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan, untuk menangkarkan secara ex-situ, komodo-komodo dari beberapa wilayah (Flores Barat, Flores Utara) yang mempunyai haplotipe kritis (sedikit populasinya). Dan ini bukan diambil dari pulau Komodo yang populasinya cenderung stabil. Namun rencana penangkaran komodo secara ex-situ (di Bali) ini justru mendapat banyak tentangan. Baik ituditafsirkan ini sebagai kepentingan bisnis pariwisata semata, seperti yang dideskripsikan di awal tulisan ini. Tetapi juga ditentang oleh para ilmuwan , termasuk dari LIPI yang melakukan penelitian komodo ini. M. Syamsul Arifin Zein, Anggota Tim Peneliti Kajian DNA Molekuler Komodo, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI justru menuliskan di situs resmi LIPI : Tindakan penangkapan komodo di alam dan dipindahkan ke penangkaran ex-situ merupakan tindakan spekulatif dan tidak berdasar kajian ilmiah yang mendalam. Penyelamatan yang perlu dilakukan seharusnya meningkatkan program konservasi di alam untuk menjaga sumberdaya genetika komodo di pulau Flores. Komodo telah berhasil mempertahankan kehidupannya di habitat aslinya dan kewajiban kita sekarang adalah menjaga untuk tidak mengusik kehidupan komodo, menjaga habitatnya, menindak secara tegas siapapun yang mengganggu kehidupannya yang lestari, dan menyediakan data yang cukup untuk mengembangkan habitat komodo agar komodo yang tersisa di habitat asli di pulau Flores dapat dipertahankan. Rekomendasi-rekomendasi yang menguat justru penangkaran komodo ini dilakukan secara in-situ, yaitu dengan melakukan konservasi di habitat komodo, terutama di luar pulau Komodo. Karena ancaman terbesar bagi spesies ini adalah ulah manusia. Salah satu kasus yang mencuat adalah eksplorasi tambang emas di Batu Gosok, Manggarai Barat, yang dikhawatirkan mengusik keberadaan komodo yang ada di dekatnya. Nampaknya rekomendasi dari para ilmuwan maupun masyarakat tentang penangkaran komodo in-situ alias konservasi habitat asli komodo, perlu didengar oleh Menteri Kehutanan yang baru, dengan cara mencabut SK Menteri Kehutanan no 384/Menhut-II/2009. Semoga! (Bayu Wardhana) Sumber: http://www.biruvoice.com/berita/flor...nsmigrasi.html
__________________
Semoga Ceriwis Makin Rame Ya
![]() |
![]() |
|
|