
14th April 2011
|
 |
Ceriwiser
|
|
Join Date: Apr 2011
Location: perkebunan cabe
Posts: 410
Rep Power: 0
|
|
Hujan dan Kearifan Menyikapi Alam
Musim penghujan telah tiba, yang dapat dimaknai dari dua sisi sekaligus yaitu berkat dan laknat. Hujan sebagai berkat dinikmati oeh para petani yang sedang menanam padi atau pelanggan air minum yang pada musim kemarau tersendat pasokan airnya. Sedangkan laknat apabila hujan menjadi tak terkendali mengakibatkan banjir atau tanah longsor. Apakah hujan sebagai fenomena alam memang mempunyai dua watak tersebut secara taken for granted ataukah watak yang negatif muncul karena perbuatan manusia yang lalai menjaga lngkungan hidup?
Quote:
Hujan dianggap sebagai laknat karena kemampuannya untuk mendestruksi alam dan kehidupan manusia. Kemampuan destruksi intensitasnya semakin meningkat yang pada musim penghujan akhir tahun ini. Banjir dan tanah longsor telah menjadi dampak ikutan yang seolah-olah tak terelakkan. Kondisi tersebut terjadi karena berkurangnya kemampuan nalar manusia dalam mengelola lingkungan hidup yang hanya berorientasi pada pemanfaatan ekonomis semata. Pengelolaan tanpa memedulikan keseimbangan ekosistem berpengaruh pada terciptanya kemampuan destruksi.
Mengacu pada ketentuan normatif bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Watak hujan seperti dikemukakan diatas tergantung dari cara pandang mengelola lingkungan hidup. Cara pandang manusia terhadap lingkungan hidup menentukan konsekuensi yang akan diterima manusia.
Hujan yang berubah menjadi banjir atau tanah longsor saat ini merupakan menu keseharian konsumsi berita media. Intensitasnya yang meningkat dan berulang pada setiap musimnya seharusnya memunculkan �kecurigaan� manusia, ada apa dengan lingkungan hidup. Hujan sebagai bagian dari komponen penunjang lingkungan hidup dan ekosistem menampilkan keangkaramurkaaan terhadap manusia. Melihat fenomena tersebut nalar manusia harus instropeksi dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup.
Salah satu wahana instropeksi dengan mendasarkan pada pengertian pengelolaan lingkungan hidup. Dimana terjadinya hujan dengan watak destruksi karena ketidakpaduan dalam mengelola lingkungan hidup untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup. Ketidakpaduan terjadi dalam memanfaatkan lingkungan hidup dan upaya untuk melestarikannya. Manusia hanya mengeksploitasi tanpa keinginan melakukan konservasi yang merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Ketidakpaduan merupakan ketidakseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi lingkungan hidup. Manusia cenderung melakukan pemanfaatan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan tersebut menjadi upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup manusia. Namun perilaku manusia tersebut mengesampingkan keberlangsungan lingkungan hidup yang mendukung keberadaan manusia. Pengesampingan tersebut terjadi karena pertama, kelalaian manusia bahwa pemanfaatan lingkungan hidup tanpa upaya untuk mengkonservasi akan melahirkan bencana.
Kedua, daya nalar manusia telah menjadi tumpul diakibatkan cara pandang yang melihat bahwa lingkungan merupakan sesuatu yang terberi dan manusia diberikan kekuasaan untuk memanfaatkan. Penumpulan daya nalar diperparah dengan minimnya pengetahuan terhadap dampak pemanfaatan lingkungan hidup yang tidak memperhatikan upaya pelestarian. Pragmatisme hidup mengajarkan mereka untuk selalu memanfaatkan lingkungan hidup demi kepentingan ekonomis manusia.
Banjir dan tanah longsor merupakan hasil nyata yang negatif dari hujan. Keduanya terjadi karena daya resap tanah terhadap air berkurang karena sedikitnya media pengikat air yang efektf untuk menyerap air hujan. Media pengikat adalah akar pohon, yang tergantung dari keberadaan pohon pada lokasi tanah tertentu. Pohon menjadi komponen utama untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pohon atau tanaman yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia harus diupayakan untuk diperbarui demi kelestarian lingkungan.
Pohon menjadi tiang pancang kearifan manusia dalam memandang alam atau lingkungan hidup. Semakin kecil jumlah pohon berkorelasi dengan semakin sedikitnya kearifan manusia dalam mengelola alam. Secara absolut, ketiadaan pohon berarti ketiadaan kearifan manusia demikian pula sebaliknya. Pohon yang tertanam dalam tanah simbol kearifan manusia yang terdapat dalam nalar. Penebangan pohon (atau hutan) secara membabi buta menimbulkan dampak terjadinya banjir maupun tanah longsor. Atau ketiadaan pohon di dataran tinggi ketika hujan turun air mengikis tanah tanpa ada yang mampu menahan dan menyerap air.
Kearifan manusia dibutuhkan dalam mengantisipasi fenomena alam yang selalu terjadi tiap tahun. Antisipasi dibutuhkan untuk menghindari keterpurukan keadaan manusia, karena sumber daya yang dimiliki manusia terkuras untuk memulihkan kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh keangkaramurkaan alam. Keinginan mempertahankan kelangsungan hidup tergerus konsentrasi upaya pemulihan keadaan manusia. Dalam kondisi demikian, meningkatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan lingkungan hidup menjadi kontraproduktif baik dari sisi manusia atau alam.
Warga masyarakat harus diedukasi untuk memberikan pemahaman terhadap sebab-akibat pengelolaan lingkungan hidup. Local wisdom perlu di reaktualisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup, guna menciptakan daya cegah dari sisi negatif hujan dan daya cipta lingkungan yang memberdayakan kehidupan masyarakat. Pada kondisi kekinian, kearifan manusia dibutuhkan untuk melihat kontinuitas gejala banjir dan tanah longsor. Bahwa ada yang salah dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan masyarakat dan negara. Kesalahan dalam memandang lingkungan hidup sebagai asset yang dapat dimanfaatkan tanpa memperhatikan bahwa didalamnya terkandung investasi. Lingkungan hidup adalah titipan anak cucu kita bukan malah sebagai warisan bagi anak cucu kita.
|
|