Nelayan dan Perubahan Iklim

dsmilingface

6 APRIL, hari nelayan nasional tiap tahunnya di peringati sebagi hari di mana kaum nelayan Indonesia memaknai dirinya sebagai salah satu kelompok masyarakat Indonesia dengan segala persoalan yang melingkupi mereka.

Lewat momentum hari nelayan ini, sepatutnya pemerintah dan dengan segala pemangku kepentingan merefleksikan kondisi sosial ekonomi nelayan yang semakin hari,semakin terpuruk dalam jeratan kemiskinan. Patut dicermati, pidato Fadel Muhammad sebelum dilantik menjadi Menteri Perikanan dan Kelautan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai lebih dari 30 juta jiwa, 60 persen di antaranya terkonsentrasi di wilayah pesisir.

Kondisi ini menyiratkan persoalan kemiskinan di masyarakat pesisir menjadi agenda utama yang patut diselesaikan. Namun belakangan ketika agenda pengentasan kemiskinan menjadi agenda utama, banyak persoalan nelayan yang semakin menjerumuskan mereka ke dalam jurang kemiskinan yang sepatutnya harus cepat diantisipasi, yakni perubahan iklim.

Perubahan iklim merupakan fenomena yang tidak hanya berdimensi lingkungan namun juga ekonomi. Di sektor perikanan, kerugian dari perubahan ini berupa menurunnya hasil tangkapan ikan dan kerusakan ekosistem laut. Dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan tengkap berupa berubahnya pola melaut dan tingginya intensitas badai dan ketidakpastian cuaca. Selama Januari-September 2010, sebanyak 66 nelayan tradisional hilang di laut karena cuaca ekstrem. Selama periode awal hingga pertengahan januari 2011, sudah 20 nelayan yang hilang di laut (Kiara, 2010).

Dan hasil penelitian Ove Hoegh-Gueldberg yang dipublikasikan di Jurnal Science edisi Desember 2007, meramalkan pemanasan global pada 2050 akan mendesgradasikan 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut. Oleh karena itu, sangatlah tidak mengherankan jika hal ini terus terjadi, maka akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan terutama masyarakat nelayan yang secara langsung besentuhan dengan mata pencaharianya, yaitu terjadinya kelangkaan hasil tangkapan ikan akibat terjadinya kerusakan terumbu karang.

Dampak perubahan iklim tersebut lebih lanjut akan memberikan bahaya yang mengancam keberlanjutan kehidupan manusia. Lebih dari 60 persen populasi masyarakat Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai, maka bukan saja pemukiman yang akan hilang namun juga mata pencaharian dan sangat mungkin rusaknya struktur dan tatanan sosial yang telah terbentuk selama berabad-abad di komunitas pesisir akibat perubahan iklim.

Oleh karena itu Visi Fadel Muhammad untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat pesisir melalui Kementrian Perikanan dan Kelautan akan menjadi sebuah retorika yang miskin substansi apabila beliau tidak bisa secara sigap dan bijak merumuskan kebijakan yang dapat mengatasi persoalan tersebut.

Namun jika kita berbicara mengenai isu perubahan iklim maka kita akan berbicara mengenai isu internasional, persolan ini bukan saja menjadi persolan nasional namun telah menjadi persoalan seluruh dunia. perubahan iklim tidak akan bisa dilepaskan dari pesatnya pembangunan dan majunya perdaban umat manusia terutama dalam bidang industrialisasi yang berbahan bakar fosil.

Dari berbagai penelitian mengenai perubahan iklim negara-negara maju yang memproduksi barang-barang elektronik, kendaraan bermotor seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China dan India, memberikan dampak yang besar terhadap terjadinya pemanasan global .

Di sinilah sebetulnya pangkal masalah dan tarikan kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pada satu sisi negara-negara maju akan terus mengenjot industrialisasinya demi menjaga pertumbuhan ekonomi mereka,namun pada sisi yang lain negara berkembang seperti Indonesia akan merasakan dampak dari perubahan iklim yang sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas negara maju.

Akhirnya pertemuan-pertemuan internasional yang membahas mengenai dampak perubahan iklim dan mekanisme penangulanganya terkesan buntu dan tidak menghasilkan solusi yang kongkrit. Negara-negara maju masih terjebak dalam pola perdagangan karbon yang kemudian menekan Negara berkembang seperti Indonesia untuk ikut menyepakati mekanisme tersebut.

Ke depan diplomasi iklim Indonesia mau tidak mau harus berani melawan arus dan tekanan negara maju. Kondisi geografis Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah nelayan dan petani akan menjadi korban dari kegagalan diplomasi kita tatkala segenap pemangku kepentingan di republik masih menyepakati mekanisme perdagangan karbon.

Namun di sisi lain untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, dalam artikel yang di publikasikan oleh gunderson dan holing 2002, mereka meyebutkan pentinganya pengutan resiliensi (ketahanan) masyarakat pesisir yang tercermin dalam pola adaptasi mereka terhadap gejala dan perubahan alam yang terjadi.

Penguatan resiliensi dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit akibat gejala-gejala perubahan yang di sebabkan oleh perubahan iklim. Dan salah satu indikator penguatan resilensi masyarakat adalah pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan terutama tentang perubahan iklim kian mendesak di galakkan ke pelosok-pelosok desa pesisir oleh pemerintah maupun LSM yang bergerak di bidang tersebut

Inilah tantangan yang sama-sama kita hadapi untuk memujudkan negeri bahari yang kaya akan potensi laut dan mampu juga mensejahterakan nelayannya. Lewat hari nelayan nasional ini,semoga pintu hati kita masih terketuk melihat kondisi nelayan Indonesia dan bersama-sama bergerak membantu mereka keluar dari jurang kemiskinan.

Code:

sumber

Terkait:

Menu