"Tanah Adat" Warga Aborigin Masih Jadi Isu Pelik di Australia
Dale Tilbrook (kiri), warga keturunan Aborigin di pinggir Kota Perth mempresentasikan produk lokal
Pemerintah Australia hingga kini masih belum tuntas mengobati "luka lama" yang dirasakan penduduk asli Aborigin. Salah satu masalah pelik yang belum bisa terselesaikan secara tuntas adalah menyangkut tanah adat.
"Di satu sisi, perlakuan pemerintah Australia terhadap penduduk asli Aborigin tidak lagi sediskriminatif dulu. Namun, masih ada luka lama yang hingga kini belum terselesaikan, yaitu menyangkut tanah adat yang diwariskan leluhur kami," ujar Dale Tilbrook, seorang warga keturunan Aborigin dalam perbincangan dengan
VIVAnews di pinggir Kota Perth, Australia.
Tilbrook merujuk kepada "Hak Penduduk Asli" (Native Title). Ini sesuai dengan istilah yang digunakan oleh Mahkamah Agung Australia untuk menyebut hak-hak dan kepentingan masyarakat Aborigin dan penghuni Pulau Selat Torres menyangkut tanah dan air sesuai dengan tradisi, hukum adat dan kebiasaan mereka.
Hak itu, seperti dijelaskan dalam
Aboriginal Art Online, sudah diatur dalam hukum publik sejak 1992. Saat itu Mahkamah Agung meluluskan gugatan yang dibawa seorang warga Aborigin bahwa suku Meriam di Selat Torres punya hak penduduk asli atas tanah adat mereka. Sebelumnya, hak penduduk asli tidak diakui secara resmi.
Gebrakan hukum itu sekaligus mementahkan klaim sebelumnya bahwa benua Australia tidak dimiliki siapapun saat datangnya orang-orang Eropa. Doktrin itu disebut sebagai
terra nulius.
Dengan demikian, warga Aborigin penyandang Native Title berhak mendapat kompensasi bila pemerintah ingin menguasai tanah atau air mereka untuk kepentingan pembangunan di masa depan. Namun, bagi Tilbrook, masalahnya tidak sesederhana itu.
"Muncul pola pikir bahwa hak penduduk asli bisa ditangani hanya dengan cukup membayar kompensasi untuk menguasai tanah adat kami. Namun, kami tidak butuh kompensasi," kata Tilbrook, yang mengelola galeri tradisional Aborigin di Henley Brook, pinggir Kota Perth.
"Jangan paksa kami melepas tanah adat untuk ditukar dengan kompensasi. Itulah yang hingga kini menjadi perdebatan antara masyarakat Aborigin dengan pemerintah," lanjut Tilbrook.
Dia mengakui adanya pandangan bahwa sikap keras warga Aborigin soal tanah adat mereka dipandang menghambat pembangunan. "Itu alasan yang selalu diutarakan pemerintah bila ingin menggarap tanah adat untuk kepentingan proyek," kata Tilbrook.
Dia mengingatkan bahwa sebelum pemerintah mengakui Hak Penduduk Asli itu, kalangan masyarakat Aborigin sejak lama sudah terusir dari wilayah leluhur mereka oleh pihak kolonial. "Akibatnya, kami seperti tercerabut dari akar karena harus pindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Saya ini tidak terulang lagi," kata Tilbrook.