FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
|||
|
|||
![]() Sigmanews � Sosok Jakob Sumardjo mungkin sedikit asing bagi orang awam namun tidak bagi para seniman dan budayawan. Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung yang juga salah seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia ini menceritakan kenangan indahnya dengan permainan tradisional Indonesia. Jakob Sumardjo adalah orang yang suka pada permainan tradisional. Dulu ketika angka mulai mengecup usia kanak-kanaknya, beliau gemar bermain ular-ularan, atau saat ini biasa disebut oray-orayan (dalam bahasa sunda). Selain itu, ia juga bermain gobak sodor, gatrik dan kartu wayang. Klaten yang menjadi kampung halaman beliau adalah daerah yang memiliki banyak kenangan perihal masa-masa bermainnya. Betapa tidak, acapkali matahari mulai bertengger seperti bohlam perpustakaan, beliau dan teman-teman sebayanya memutuskan untuk memulai permainan. Tidak hanya itu, ketika bulan mulai menguning di aspal, mereka pun melanjutkan permainan tersebut. Setiap hari mereka bermain bersama. Jumlahnya kurang lebih ada sepuluh orang. Tapi tak tentu, karena jika hari itu tema permainan adalah sepak bola, maka yang bermain hanya anak laki-laki saja. Di usia kanak-kanaknya dulu, permainan tradisional menjadi penghibur tersendiri baginya dan juga teman-teman sebayanya, karena di zaman itulah bangsa Indonesia sedang mengalami ketegangan hebat. Negara Indonesia sedang menjadi ajang penjajahan, sehingga perang pun masih tampak di mana-mana. Saat itu Klaten merupakan daerah yang jaraknya lumayan dekat dengan tempat mortir-mortir berhamburan. Jakob bercerita bahwa dulu tak jarang ia dapati mortir yang menyasar ke tempat mereka bermain, sehingga mereka pun berlarian bersama untuk menghindari mortir tersebut. Kadang mereka bersembunyi di balik pagar sambil melihat mortir-mortir yang meledak hebat. Pemandangan tersebut sudah tak asing di memoar anak-anak sebayanya ketika itu. �Menyeramkan� � kata itulah yang masih terekam di benaknya. Jakob menyebutkan beberapa nama teman sebayanya yang juga memainkan permainan tradisional bersamanya. Ada yang bernama Toha, dia adalah anak santri. Karno, dia itu selanjutnya menjadi anggota PKI. Ada juga Midat, dan ada satu teman perempuan yang ia lupa namanya. Tetapi jika teman perempuannya itu sedang membawa kerbau untuk dimandikan, Jakob selalu ikut menaiki kerbaunya dan ikut memandikan kerbau tersebut di sungai. Masa kanak-kanak adalah masa penuh permainan. Peristiwa-peristiwa tak terduga yang sering ia alami bersama teman-temannya ketika bermain, menjadi hal yang sangat ia rindukan saat ini. Persahabatan erat yang terjalin karena kebersamaan mereka dalam memainkan permainan tradisional itu hanya berlangsung kurang lebih sampai kelas empat SD, karena sekitar tahun 1944 -1949 saat duduk di kelas lima sampai enam SD, Jakob pindah ke Yogyakarta. Ada satu pengalaman lucu menurutnya. Ia menceritakan bahwa dulu dirinya pernah terjatuh saat Jepang akan menyerbu sekitar pedesaan, kurang lebih masih berusia 5 tahun. Ketika keluarganya di dalam rumah mengemas barang-barang, tak sengaja ia berjalan mundur dan yang terjadi malah jatuh terperosok ke sungai. Orangtuanya mengira Jakob patah tulang atau sebagainya, tapi ternyata ia tidak apa-apa. Dari banyak hal yang diceritakan Jakob, tampaklah bahwa banyak pengalaman-pengalaman menarik yang ia alami ketika bermain. Jakob mengaku bahwa dirinya selalu bergembira ketika bermain. Semua permainan dan perilaku menarik sewaktu kecil selalu ia nikmati. Sampai-sampai perihal menangkap belut, lele, dan mandi di sungai, pernah ia rasakan. Mendalami Filosofi Permainan Tradisional Bersama Muridnya Perihal permainan tradisional, ia mulai paham sejak salah seorang muridnya di jurusan Seni Rupa ITB, Zaini Alif, sering berdiskusi dan bertanya kepadanya mengenai filsafat dari permainan tradisional. Kebetulan ketika itu Jakob mengajar filsafat seni di ITB. Zaini, muridnya, sangat tertarik dan ingin mengembangkan permainan tradisional Sunda yang ternyata bernilai filosofi tinggi. Sebenarnya Zaini telah menyelesaikan tesisnya, tetapi dia menangguhkannya dalam beberapa waktu agar tesis tersebut bisa lebih kompleks. Dari diskusinya bersama Zaini, Jakob akhirnya tahu bahwa permainan tradisional memiliki dua sifat. Pertama, bersifat play. Permainan tradisional yang bersifat play, yakni permainan yang menuntut pemain untuk mengukur kemampuan diri. Misalnya oray-orayan. Permainan tersebut menanamkan kepercayaan diri pada anak-anak. Pada permainan play itu tidak ada istilah kalah dan menang. Semisal membuat kolecer, anak-anak membuat kolecer. Siapa yang bisa berputar dan berbunyi berarti dia telah mampu dan berhasil membuatnya. Pada akhirnya di masa depan kolecer tersebut akan digunakan. Dari situ terlihat bahwa permainan bersifat play ini lebih berujung pada pengukuran kemampuan diri dan sebagai pembelajaran tak langsung untuk masa depan. Permainan play lebih membentuk karakter untuk berkembang, yaitu menantang kemampuan diri untuk bisa maju. Kedua, permainan tradisional yang bersifat game. Permainan yang bersifat game biasanya lebih mengarah pada kalah dan menang yang berujung pada rasa sakit hati. Permainan ini menuntut pemain untuk melakukan sesuatu agar menang. Jika disandingkan dalam permainan tradisional sunda, umumnya lebih bersifat play, sehingga hampir semua permainan sunda dimainkan untuk mengukur kemampuan diri. Semisal permainan oray-orayan, menangkap ikan, membuat kolecer dan lainnya. Sebaliknya, jika dihadapkan dengan permainan tradisional Jawa, umumnya lebih bersifat game, sehingga pada akhirnya harus ada yang kalah dan menang. Salah satunya adalah permainan gambar wayang. Jakob Sumardjo lebih tertarik mendalami sisi kebudayaan dari permainan tradisional tersebut. Ia tidak memiliki sumbangsih mengenai permainannya, ia justru membantu dari segi filsafat kebudayaannya. Ragam permainan tradisional bisa dilihat dari letak geografis masyarakatnya. Orang-orang Sunda yang hidup di daerah ladang, pasti memiliki permainan yang berbeda dengan orang-orang Jawa yang hidup di daerah pesawahan. Di bagian pertama kita bisa melihat sosok Jakob Sumardjo perlahan-lahan namun pasti memahami bahwa permainan tradisional mempunyai arti penting bagi Indonesia terutama anak-anak. Lelaki yang kini memiliki tiga orang anak tersebut mengaku bahwa anak-anaknya saat ini tidak bermain permainan tradisional sepertinya. Mereka justru bermain dengan mainan-mainan modern. Semisal robot. Tapi kadang mereka juga bermain layang-layang di luar rumah bersama anak kampung. Jakob memandang bahwa permainan tradisional saat ini mulai terkikis dengan hadirnya mainan-mainan modern yang lebih canggih dan instan. Maka dari itu, sebaiknya permainan tradisional harus dikenalkan kembali pada anak-anak, karena dalam mengajarkan pendidikan saat ini dibutuhkan pengajaran yang dikemas dalam bentuk play. Permainan modern lebih mengarah pada individu saja, sehingga jika diterapkan dalam mengajarkan pendidikan sangat tidak cocok. Permainan kita ini harus permainan sosial. Jika menyendiri tidak ada manfaatnya terhadap masyarakat. Setidaknya permainan tradisional anak-anak yang bersifat sosial dalam dunia pendidikan itu dimulai sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD. Maka sejak dini, kita harus mengumpulkan permainan yang bersifat play dan menerapkannya di sekolah-sekolah. Terlepas dari kegiatan pramuka, permainan tradisional harus tetap disisipkan di dalamnya. Kita bisa memulainya di daerah kita sendiri yang berlatar Sunda, jangan sampai permainan sunda tersebut justru dijumpai di kota Palembang, Minang, atau kota-kota lainnya. Budayakanlah terlebih dahulu di daerah sunda itu sendiri. Dalam permainan tradisional biasanya terdapat nyanyian-nyanyian khas yang menggunakan bahasa daerah, dengan demikian kita akan banyak melestarikan budaya daerah setempat melalui permainan tradisional yang sudah dikenalkan sejak dini pada anak-anak. Lelaki yang bulan-bulan ini sering mendapat panggilan untuk mengisi ceramah-ceramah dan mengaku baru pulang dari Borobudur pada acara perkumpulan penulis cerita silat itu menitipkan pesan bijak bagi tunas-tunas bangsa yang selanjutnya akan melestarikan budaya bangsa ini. Gunakan waktu anak-anak itu untuk kebahagiaan. Biarkan anak-anak bermain dan merasakan kebahagiaan. Salah satunya dengan bermain permainan tradisional itu tadi. ujarnya mengakhiri perbincangan. |
![]() |
|
|