Jakarta - Survei yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menuai kritik tajam karena dianggap menguntungkan Golkar. Menurut pengamat politik Boni Hargens, hal yang wajar lembaga survei besutan Deny JA ini menempatkan Golkar di urutan pertama dan mengecilkan lawannya.
"Denny JA bekerja untuk Golkar, sebagai konsultan, maka wajar kalau survei LSI mengunggulkan Golkar dan tendensius menghajar partai yang dianggap saingan Golkar, terutama NasDem," kata Boni dalam siaran pers, Senin (21/10/2013).
Di survei LSI yang dirilis Minggu kemarin ini, NasDem yang biasanya ada di posisi 7 atau 5 besar hanya dapat nomor 10. Menurut Boni, NasDem dianggap sebagai lawan politik bagi Golkar.
"Sebagai bekas faksi internal Golkar, NasDem menjadi ancaman serius bagi Golkar. Bahkan Surya Paloh menjadi lawan berat bagi ARB. Dengan memahami konteks ini, jelas bahwa survei LSI tidak menggambarkan realitas yang obyektif," katanya.
Bahkan, menurut Boni, survei ini menggambarkan kepanikan Golkar. Mengingat sebagian kader partai beringin ini sedang berhadapan dengan kasus korupsi di KPK.
"Citra Golkar tentunya kian merosot dengan terkuaknya banyak kasus korupsi yang melibatkan kadernya, apalagi ARB sudah dipastikan menjadi calon presiden," katanya.
Menurut Boni, harusnya Denny JA menjelaskan kepada publik soal posisi politik LSI. "Sebagai lembaga yang dibayar untuk Golkar dan Aburizal Bakrie, itu penting biar masyarakat politik mengerti maksud dan motivasi dari survei tersebut," kritik Boni yang juga memiliki lembaga survei bernama Lembaga Pemilih Independen (LPI) ini.
Boni memaparkan keanehan survei LSI dari kecilnya suara partai NasDem yang hanya meraih 2%. Selain itu juga menghapus nama Jokowi dan Prabowo menjadi capres potensial.
"Saya yang tengah studi di Berlin, Jerman merasa prihatin dengan kondisi tersebut, karena itu bisa merusak demokrasi politik di tanah air," tandasnya.