FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Ini pengalamanku yang tidak menyenangkan saat perayaan Kamis Putih lalu (21 April) di Paroki Blok Q, Jakarta Selatan. Keteledoran petugas misa membuat sebagian umat mesti terusir ketika berdoa. Awalnya aku datang ke gereja ini 5 menit sebelum misa dimulai. Ternyata di dalam gereja sudah penuh sesak dengan umat yang hendak mengikuti misa. Otomatis aku keluar bangunan gereja dan mengikuti sebagian OMK yang kemudian turun ke basement. Sekedar informasi, gereja Blok Q ini memiliki ruangan basement yang biasanya dibuka untuk umat, bila tempat duduk di dalam gereja sudah penuh. Begitu juga saat Kamis Putih lalu, kami – sekitar 15 orang – turun ke basement. Dan ternyata ruang basement itu kosong tidak ada orang, tetapi kursi-kursi sudah tertata rapi, AC menyala tanpa ada yang memakai, dan yang pasti layar monitor juga hidup. Maka sebagian umat itu (termasuk aku) mencari tempat duduk masing-masing. Kami mulai berdoa pribadi dan tak lama kemudian misapun dimulai. Romo Sudri SJ yang memimpin misa memulai dengan doa pembukaan. Ketika sampai doa pertobatan, tiba-tiba kami yang ada di ruangan basement, didatangi seorang petugas misa. Petugas itu dengan tanpa bersalah menyuruh kami pindah ke atas, agar mengikuti misa di parkiran (yang sudah ditata dengan kursi-kursi berderet). Alhasil kami yang terusir menggerutu, karena mesti berpindah di saat misa sudah berjalan. Beberapa dari kami protes ke petugas tersebut. Dan jawabannya adalah demi rencana panitia, yaitu kursi-kursi di parkiran penuh dulu, baru kemudian kalau masih ada umat, maka akan diperbolehkan menggunakan basement. Mendengar jawaban itu, aku terpancing berargumentasi dengan petugas itu. Menurutku itu benar sebagai sebuah rencana. Tetapi masalahnya para petugas itu tidak berjaga di pintu turun ke basement, sehingga umat tidak tahu rencana seperti itu. Petugas menghindar lagi dengan jawaban, “Kami kekurangan tenaga.” Ini bukan sebuah alasan sebenarnya. Aku pun mengajukan pendapat, kalau petugasnya tidak menjaga pintu masuk basement, maka jangan umat yang sudah terlanjur masuk yang mesti menanggung akibatnya. Kalau pun kemudian membuat tidak efisien diakon dalam memberikan komuni karena lokasi yang terpencar-pencar, ya itu konsekuensi yang mesti ditanggung panitia/petugas. Mungkin karena antara aku dan petugas itu sudah saling emosi, entah kenapa petugas itu tanya siapa namaku. Tentu kujawab,” Bayu.” Lalu dikejar dengan pertanyaan susulan,” Nama baptisnya siapa?” Maka aku makin emosi, “Emang perlu? Bapak tidak perlu tahu.” Buatku pertanyaan itu diskriminatif, seolah latar belakang sudah dibaptis atau tidak, menjadi penting. Toh, cukup tahu nama umat yang kecewa dan menjadi masukan itu sebagai bahan evaluasi itu lebih penting. Akhirnya kutinggal saja petugas itu dan mengikuti misa dengan hati panas. Percuma diteruskan, toh aku sudah menyampaikan kritikanku. Di akhir misa, aku pun menyampaikan peristiwa tersebut kepada Pastor Paroki sebagai bahan masukan. Dan kewajibanku untuk mengingat sudah selesai, selebihnya terserah pada kedewasaan panitia Paskah paroki tersebut. Kalau mereka berbesar hati, maka ini menjadi evaluasi bagi seluruh panitia. Tetapi kalau kecil hatinya, tentu peristiwa ini akan ditutup dan tidak dibahas saat evaluasi. Spoiler for note:
Spoiler for mohon:
terima kasih semuanya, GBU Last edited by vals; 19th May 2011 at 09:28 AM. |
![]() |
|
|