Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > HOBI > Other Discussion > Save Our Planet

Save Our Planet Forum diskusi tentang penyelamatan lingkungan hidup, tips, dan ide untuk GO Green

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 22nd May 2011
sonodhanny's Avatar
sonodhanny sonodhanny is offline
Ceriwis Pro
 
Join Date: Feb 2011
Location: |"AWAY"|
Posts: 2,463
Rep Power: 55
sonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophetsonodhanny is Ceriwis Prophet
Lightbulb PEDULI SAMPAH, PEDULI SELANGKAH (Al. Andang L Binawan, SJ)

(Ringkasan dari Diskusi �Agama-agama dan Lingkungan Hidup di Jakarta� tanggal 28 Mei 2008 bertempat di Wahid Institute, Jakarta)


Agama di ruang publik adalah salah satu bahan diskusi yang tiada habis, apalagi kalau berfokus ke masalah peran agama dalam perubahan sosial. Hanya saja, kadang perubahan sosial yang dibayangkan adalah perubahan struktural yang besar, baik itu bersifat politik maupun budaya. Dengan ini, kadang orang sedikit apatis ketika melihat realitas di Indonesia, khususnya di Jakarta. Lihat saja pertanyaan ini, misalnya: bagaimana agama bisa mendorong perubahan sosial jika dalam kenyataan mengubah perilaku orang supaya tidak �nyampah� saja susah!

Pertanyaan itu memang cukup sah. Indonesia dikenal sebagai bangsa religius. Lebih dari sembilan puluh persen penduduk mengaku diri beragama. Tempat-tempat ibadah, terlebih di hari-hari peribadahan, praktis penuh. Ironisnya, jika ibadah menuntut kebersihan hati, situasi kebersihan lingkungan di Jakarta masih memprihatinkan. Lihat saja laporan perkembangan MDGs 2007 yang masih belum melihat perkembangan berarti dari kondisi sanitasi di Indonesia. Lihat juga data dari Dinas Kebersihan DKI yang mengatakan bahwa 15,3 persen sampah di Jakarta, yang sudah mencapai lebih dari 27.966m3 atau sekitar 6000 ton per hari, dibuang sembarangan, seperti di jalan-jalan, di kali, dan di taman-taman kota.

Memang, para pemimpin agama pernah menyuarakan keprihatinannya pada masalah lingkungan hidup, seperti misalnya dengan menandatangani �Kebun Raya Charter� pada tahun 2002. Kemudian, dalam kesempatan Konperensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu, para pemimpin agama di Indonesia pun membuat pernyataan keprihatinan. Tetapi, setidaknya ada dua catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, pernyataan itu masih terlalu umum, belum menyangkut permasalahan yang kongkret terkait dengan wilayah atau daerah masing-masing. Kedua, pernyataan itu pun belum ditindak-lanjuti secara nyata menjadi rencana aksi dan program-program. Karena itu, belum tampak banyak perubahan yang didorong oleh agama-agama.

Melihat ironi itu, beberapa kelompok yang berbasis agama, seperti Wahid Institute, Maarif Institute, Gerakan Hidup Bersih dan Sehat, Kelompok Karyawan Muda Katolik, GKI Kemang Pratama, juga Conservation International, Yayasan Biru Voice, Yayasan Lantan Bentala, beraliansi membentuk Gerakan Iman Peduli Jakarta (Gempita), dan mengadakan diskusi pada hari Rabu, 28 Mei 2008 di Wahid Institute. Diskusi menghadirkan juga Ibu Endang H. Wahyuni dari Dinas Kebersihan DKI dan ibu Sri Bebassari dari Inswa (Indonesian Solid Waste Association). Beberapa pokok gagasan dirangkum dalam tulisan ini.

Nilai Agama: �Benih� Yang Kurang Tumbuh

Diskusi Gempita yang lalu memang tidak bertujuan mendiskusikan pandangan agama-agama tentang lingkungan hidup. Pandangan-pandangan itu sudah diandaikan. Artinya, masing-masing kelompok saling mengandaikan bahwa kepedulian pada lingkungan hidup memang didasari oleh nilai agama masing-masing; dan bahwa nilai-nilai itu adalah �sumber energi� yang sangat besar. Karena itu, yang lebih penting adalah men-sharing-kan pengalaman mewujudkan nilai itu bagi kebagian bersama. Dengan itu diharapkan potensi-potensi agama bisa digali lebih dalam dan diaktualisasikan secara maksimal dengan rencana aksi demi perubahan sosial yang lebih nyata.

Setidaknya, Bapak Fachruddin Mangunjaya, yang menjadi salah seorang �pemancing� diskusi, dengan mengutip ME. Tucker, menyebutkan bahwa setiap agama mempunyai potensi 5R, yaitu (1) reference, (2) respect, (3) restraint, (4) redistribution dan (5) responsibility. Reference mengacu pada adanya Kitab Suci masing-masing sebagai landasannya. Respect berarti kemampuan untuk menghormati dan peduli pada makhluk hidup. Restraint bermakna kemampuan mengontrol diri, atau juga asketis, dan dalam konteks lingkungan hidup berarti mengekang pemborosan. Redistribution berarti kemampuan berbagi dan beramal, dan akhirnya responsibility terkait dengan kemampuan bertanggung-jawab atas dunia dan sesama.

Selain nilai, juga diandaikan dalam diskusi ini bahwa baik-buruknya perilaku manusia adalah salah satu bidang tanggung-jawab agama yang penting. Dipahami dengan sepenuhnya bahwa perilaku adalah bagian dari kebudayaan. Artinya, kebudayaan bukan hanya kesenian, benda-benda dan bahasa, melainkan juga perilaku manusia. Karena nilai agama terkait erat dengan perilaku, sumbangan agama pada perubahan sosial juga tampak dalam perubahan perilaku masyarakat yang lebih sesuai dengan keadaban publik. Sehubungan dengan perilaku yang terkait dengan sampah, yang penting dicermati oleh agama-agama adalah gejala umum bahwa hampir semua manusia punya kecenderungan �membuang sampah asal tidak di halaman sendiri.� Hal ini biasa disebut sebagai sindroma nimby atau nimby syndrome, kependekan dari Not In My Back Yard. Dari kacamata agama, kecenderungan seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai kepedulian, perhatian dan kejujuran. Karena itu, sindroma itu harus diperangi.

Jika nilai-nilainya sudah diandaikan, mengapa nilai itu tidak, atau kurang, mewujud dalam tindakan atau perilaku, seperti masih maraknya kebiasaan �nyampah� masyarakat kita? Ada dua jawaban besar terhadap pertanyaan ini, yaitu yang bersifat internal dan yang bersifat eksternal. Yang bersifat internal, menurut seorang peserta lain, paradigma hidup beragama kita masih terlalu surga oriented atau malah bisa disebut egois karena lebih mementingkan keselamatan diri. Keterkaitan keselamatan diri di surga dengan keselamatan sesama dan alam di dunia belum dilihat dengan seksama.

Potensi Internal

Faktor internal lain yang mempengaruhi adalah belum dimaksimalkannya potensi-potensi struktural suatu organisasi agama, meski mungkin organisasi itu relatif cair, baik untuk menaburkan suatu nilai atau gagasan, maupun untuk menumbuhkan nilai itu tadi. Tidak jarang agama terlalu mengandaikan bahwa masing-masing umatnya bisa menumbuhkan nilai itu sendiri dan secara personal, atau tanpa bantuan struktur. Dengan kata lain, setiap agama mempunyai struktur, dan pada dasarnya hal ini adalah potensi. Struktur organisasi agama pada umumnya cukup jelas. Struktur akan berfungsi pertama-tama untuk mendistribusikan informasi. Lebih dari itu, struktur pun akan membantu setiap individu mewujudkan nilainya.

Selain nilai dan struktur, agama juga mempunyai trust yang relatif baik. Trust ini sangat terkait dengan potensi nilai tadi. Dengan pengandaian bahwa bahwa para penganut agama, atau setidaknya para pemimpinnya, melaksanakan nilai-nilai yang diajarkannya, muncul suatu trust dari orang lain. Maksudnya, pengandaian itu mendasari pengandaian lain bahwa orang-orang beragama tidak akan mencari keuntungan material atau finansial dalam berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain.

Trust ini bisa dibedakan antara trust vertikal dan trust horisontal. Trust vertikal akan lebih bersifat internal karena lebih terkait dengan relasi antara pemimpin agama dengan umat atau jemaatnya. Sementara itu trust horisontal bisa bersifat internal dalam relasi antar umat dalam satu agama, bisa pula bersifat eksternal ketika berhubungan dengan umat dari agama lain, yang masing-masing mempunyai pengandaian yang sama. Dalam hal ini, salah satu hal yang berlaku universal adalah bahwa kemunafikan itu, atau ketidaksesuaian antara hati dan tindakan, dikecam dalam semua agama. Dengan kata lain, logika promosi dalam dunia dagang tidak berlaku dalam dunia agama.

Trust horisontal menjadi penting, khususnya yang eksternal, karena akan terkait lebih jauh dalam upaya mewujudkan suatu nilai atau gagasan. Perlu diingat bahwa suatu nilai tidak bisa terwujud begitu saja. Perlu ada rekayasa bersama, yang melibatkan semua poros kehidupan sosial, yaitu poros negara (yang khususnya mempunyai wewenang membuat hukum atau aturan) dan poros pasar/bisnis (yang pada umumnya mempunyai dana untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung).

Trust vertikal itu pun pada gilirannya mendasari potensi yang kedua yaitu struktur dalam organisasi agama. Meski dalam beberapa agama struktur itu, seperti misalnya dalam agama Katolik, mempunyai pembenaran teologis, pada umumnya struktur dalam agama lebih didasari oleh trust vertikal ini.

Kedua potensi ini (struktur dan trust) menjadi penting untuk digali, dikenali dan digunakan secara optimal dalam mengkomunikasikan suatu gagasan perubahan sosial. Trust akan menarik orang untuk mau menangkap gagasan itu dan bekerjsama mewujudkannya. Dengan trust biasanya orang tidak perlu bertanya terlalu jauh tentang suatu gagasan. Pendeknya, trust akan sangat meminimalkan kecurigaan yang biasa terjadi dalam relasi antar manusia. Demikian pun, struktur organisasi keagamaan akan lebih memperlancar proses penyampaian gagasan itu dan juga bentuk gerak-bersama dalam mewujudkannya.

Konteks Eksternal

Memang, kurang mewujudnya suatu nilai agama dalam perilaku juga terkait erat dengan adanya faktor eksternal. Salah satu yang paling kentara adalah bahwa dalam kasus perilaku nyampah, peran agama jelas ada dalam konteks peran elemen kehidupan sosial yang lain. Menurut dua narasumber (Ibu Sri Bebassari dan Ibu Endang), peran agama ada pada bagian penyuluhan dan penanaman nilai. Masalah sampah menyangkut lima aspek, yaitu hukum, kelembagaan, pendanaan, peran serta masyarakat dan teknologi. Wewenang dan kemampuan agama untuk aspek hukum, kelembagaan, pendanaan dan teknologi jelas sangat kecil. Agama bisa berperan besar dalam membantu penyuluhan dengan mendasarkan pada nilai-nilai yang diusungnya maupun pada trust yang relatif masih kuat dimiliki.

Hal itu pun menjadi jelas jika mencermati bahwa dua aspek pertama, yaitu hukum dan kelembagaan, adalah kekhasan wewenang pemerintah, dan dua aspek lain, yaitu pendanaan dan teknologi, ada di dalam kewenangan pemerintah dan pengusaha. Dalam hal ini, agama adalah sebuah bagian dari masyarakat, dan karena itu partisipasinya lalu terkait dengan aspek ini.

Menurut ibu Sri Bebassari, aspek peran serta masyarakat menyangkut empat hal, yaitu (a) meningkatkan kesadaran bahwa setiap makhluk adalah produsen sampah melalui pendidikan formal dan informal, (b) harus ada desain socio engineering (top down) yang dikombinasikan dengan pemberdayaan masyarakat (bottom up), (c) keterlibatan stakeholder termasuk LSM, swasta, dan sektor informal, diupayakan sejak awal perencanaan, serta (d) mekanisme pemantauan dan pengawasan pelaksanan kebijakan oleh masyarakat, misalnya pembuatan loket pengaduan di tingkat kelurahan.

Harapan ini cukup sesuai dengan gambaran peran agama dalam masalah sampah yang dikemukakan Bapak Robert Borrong. Ia mengatakan setidaknya ada lima peran yang bisa dimainkan, yaitu (a) pembentukan karakter umat yang menghargai dan peduli pada kebersihan lingkungan, (b) pengaderan para pemimpin umat yang berkomitmen pada pemeliharaan lingkungan hidup sebagai ibadah kepada Tuhan, (c) mengembangkan pemikiran teologi agama-agama yang peduli pada hak-hak lingkungan sebagai ciptaan Tuhan, (d) menyediakan bahan pembinaan terhadap umat mengenai kaitan antara iman dan kepedulian pada lingkungan hidup sebagai bahan ajar untuk pembinaan dan pendidikan umat, dan (e) membangun kerja sama lintas iman pada semua aras organisasi keagamaan, mulau dari lapisan paling kecil di jemaah atau komunitas basis sampai kepada tingkat pemimpin-pemimpin. Agar kebersamaan agama-agama ini menjadi potensi pemberi motivasi rohani kepada umat untuk bersama memelihara lingkungan hidup.

Akhirnya: Peduli Selangkah

Paparan di atas, karena terkait dengan agama, jelas terkait dengan nilai peduli yang menjadi salah satu nilai inti banyak agama, serta upaya mewujudkannya dalam tindakan nyata. Karena terkait dengan sampah, bisa dikatakan bahwa peduli sampah adalah peduli selangkah. Sampah adalah masalah setiap orang, setiap hari. Di Jakarta, diperkirakan setiap orang memproduksi sekitar 0,7 kg sampah. Kalau peduli yang dicita-citakan oleh agama-agama adalah peduli sesama dan dunia, yang berarti peduli beberapa atau mungkin beribu-ribu langkah, peduli sampah adalah peduli selangkah, yaitu peduli pada perkara di depan mata.

Tampak gampang, memang, tetapi mengingat kelembaman manusia dan kompleksitas masalah, perlu upaya besar untuk mewujudkannya. Jika yang tampak sederhana ini saja tidak bisa, jangan terlalu berharap agama bisa mendorong perubahan sosial yang lebih besar. Peduli selangkah pada sampah bisa pula berarti maju selangkah ke perubahan sosial yang lebih besar, setapak demi setapak. Sampah lalu bisa menjadi entry point. Terkait dengan ini pun tidak boleh dilupakan bahwa sikap dan perilaku individu terkait dengan sampah adalah cerminan budaya masyarakat, dan, tentu, juga cerminan perwujudan nilai-nilai agama. Maka jelas, peduli sampah adalah juga peduli pada nilai agama dan sekaligus peduli pada sesama dan dunia. Rencana aksi nyata setiap agama untuk peduli sampah lalu menjadi sebuah keniscayaan di tengah kota Jakarta kita!***

SUMBER


Maaf jika repost ndan,,, hanya sekedar share informasi saja,,,

JANGAN LUPA DI RATE YA,,,,


Tidak menolak

Mohon JANGAN dikasih


Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 04:28 PM.


no new posts