Ilustrasi (majalah detik)
Jakarta - Pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub), S, digugat cerai istrinya, N, dengan bukti foto pesta seks. Gugatan ini ditolak majelis hakim karena foto oral seks tersebut bukan zina. Mencegah kasus serupa tak terulang, MA didesak bentuk Pengadilan Keluarga
(family court).
"Dalam kasus gugatan perceraian yang diajukan N terhadap suaminya di Pengadilan Agama (PA) Tigaraksa terlihat jelas, tidak semata kasus perdata tetapi juga kasus pidana yaitu perzinaan dan KDRT psikis," kata Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK, Khotimun Sutanti, saat dihubungi detikcom, Senin (17/3/2014).
"Karena pengadilan agama tidak memiliki kompetensi mengadili perkara pidana maka hanya kasus perceraiannya saja yang diadili," sambungnya.
Menurut Sutanti, kasus KDRT selama ini banyak 'tersembunyi' dalam kasus perceraian. Meskipun dapat dibuktikan dalam persidangan tetapi kasus-kasus kekerasan yang tersembunyi dalam perkara perdata di pengadilan agama maupun di pengadilan negeri tidak dapat diungkap.
Hal ini karena hakim tidak mempunyai otoritas dalam peradilan perdata untuk mengadili perkara-perkara KDRT sehingga diperlukan Pengadilan Keluarga yang terintegrasi. Apapun perkara perdata maupun pidana, harus bisa diselesaikan dalam suatu institusi pengadilan yang sama.
"Pembentukan Pengadilan Keluarga diharapkan bisa mengadili perkara perceraian yang diajukan N terhadap suaminya, baik memeriksa perzinaan dan juga KDRT yang dilakukan suaminya. Hakim yang mengadili kasus perceraian juga akan menjadi hakim yang akan mengadili perzinaan dan KDRT," ujarnya.
Apalagi berdasarkan Data Badan Peradilan Agama juga mencatat mayoritas penyebab perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga Pengadilan Keluarga dinilai sangat mendesak dibutuhkan supaya menghindari kasus N terulang.
"Dengan Pengadilan Keluarga, N akan lebih menghemat waktu, biaya dan tenaga dalam mengurus permasalahan hukum yang dihadapinya," cetus Sutanti.