FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Sumber foto: http://i.ytimg.com/vi/A13zEZ603rQ/maxresdefault.jpg Pemungutan suara dalam Pilpres 2014 dan pengumuman siapa pemenangnya sudah beberapa bulan berlalu. Dan pasca ajang 5 tahunan sekali itu digelar, muncul sebuah tayangan iklan anonim �Kutunggu Janjimu� di tiga stasiun televisi swasta, yang ditengarai menyudutkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP). Bahkan, kasus ini pun sudah masuk dalam pantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dan yang menjadi pokok permasalahan selanjutnya adalah apakah tepat jika Jokowi dan PDIP ataupun KPI serta Bawaslu mempermasalahkan iklan tersebut bahkan membawanya ke ranah hukum? Sebenarnya, iklan anonim �Kutunggu Janjimu� merupakan sebuah nuansa baru dalam perpolitikan Indonesia. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya, sudah menjadi hal yang lazim ditemui iklan-iklan pada media massa yang berisikan tentang pencitraan dirinya sendiri dan pemaparan isu-isu mengenai program-program yang diusung dalam kampanye partai tersebut. Iklan anonim �Kutunggu Janjimu� dapat ditafsirkan sebagai produk dari iklan politik dan tidak tepat jika diasosiasikan sebagai sebuah kampanye hitam (Black Campaign) dikarenakan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya merupakan fakta-fakta yang tak terelakkan serta telah diketahui khalayak umum tanpa ada unsur menyinggung perasaan dan merendahkan martabat orang pribadi (jika memang dimaknai telah terjadi hal tersebut maka itu merupakan misinterpretasi dan nilai subjektivitas). Dalam perspektif ilmu komunikasi politik yang merupakan turunan dari ilmu komunikasi serta ilmu politik, dijelaskan bahwa iklan politik merupakan segala bentuk macam promosi yang berkaitan dengan kegiatan politik. Akan tetapi, harus diingat pula bahwa iklan politik ini tidak hanya berjenis iklan strategis maupun iklan taktis layaknya iklan konvensional yang tujuannya membangun citra ataupun mempersuasi. Robert Baukus dalam Combs (1993) membagi iklan politik atas empat macam, yakni; iklan serangan, yang ditujukan untuk mengdiskreditkan lawan; iklan argumen, yang memperlihatkan kemampuan para kandidat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi; iklan ID, yang memberi pemahaman mengenai siapa sang kandidat kepada para pemilih; dan iklan resolusi, di mana para kandidat menyimpulkan pemikiran mereka untuk para pemilih. Dari empat macam jenis iklan tersebut, maka iklan anonim �Kutunggu Janjimu� dapat dikategorikan sebagai iklan serangan. Artikel ini hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan iklan anonim �Kutunggu Janjimu�. Jika dikatakan telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (pasal 58) yang menyatakan bahwa sebuah iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat orang pribadi, kelompok, ideology, SARA, tampaknya KPI menafsirkan iklan politik tersebut seperti halnya iklan-iklan konvensional yang sudah familiar bagi khalayak umum. Atau bahkan KPI terkesan ketinggalan jaman karena tidak mengadopsi mengenai edukasi politik yang di dalamnya mengajarkan kita akan arti pentingnya sebuah iklan politik? Jika pesan-pesan yang terkandung di dalamnya merupakan fakta-fakta mengapa harus dipermasalahkan atau bahkan membawanya ke ranah hukum? Sebab, kita semua tentunya masih ingat apa saja janji-janji yang diberikan oleh para capres dan cawapres dalam iklan-iklan politik berwujud iklan capres yang selama beberapa bulan yang lalu �mengunjungi� layar tv kita setiap hari. Bahkan kalau kita menilik jumlah dana dalam belanja iklan capres kemarin, sudah ratusan miliar uang yang digelontorkan dari kedua kubu capres. Berdasarkan data temuan SatuDunia.net, seperti yang dimuat dalam situs www.iklancapres.org, untuk berbagai media yang ada di Jakarta saja, sudah Rp 114,62 miliar uang yang dibelanjakan untuk iklan capres. Sementara menurut data hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Sigi Kaca Pariwara, terungkap bahwa total belanja iklan televisi untuk kampanye Pilpres 2014 tercatat mencapai Rp 186,63 miliar. Masing-masing capres mengeluarkan dana yang hampir berimbang untuk keperluan tersebut. Terkait:
|
![]() |
|
|