
Dok. Gran Melia Jakarta Kushiyaki di Yoshi Izakaya-Gran Melia Jakarta
Pegawai kantoran di Jepang memiliki kebiasaan unik saat malam tiba, yaitu mengunjungi tempat makan dengan konsep
robatayaki. Keda makan ini sederhana, biasa disebut Izakaya. Dahulu konsep
robatayaki hanya ada di Izakaya yang kebetulan berada di pesisir. Penjajanya juga nelayan. Dengan konsep
robatayaki, pengunjung bisa melihat langsung proses memanggang sate-sate khas Jepang atau yang biasa disebut dengan
kushiyaki.
“Di Izakaya, pengunjung mengelilingi nelayan yang sedang memasak dengan proses
robata. Nelayan memanggang lambat dengan arang panas di atas lubang pasir. Di depannya telah tersedia aneka varian sate. Mulai dari yang berbahan dasar ayam hingga
seafood,” ungkap Japanese Chef Yoshi Izakaya-Gran Melia Jakarta, Tomoaki Ito pada
Kompas Travel.
Karena sudah menjadi kebiasaan dan berakhir menjadi budaya, Izakaya selalu ramai saat malam tiba. Pengunjung biasanya pria, karena teman menikmati hidangan sate ini adalah
sake. Mereka menikmati
kushiyaki dan
sake sampai mabuk. Saking populernya, Izakaya tidak hanya hadir di pesisir. Rumah makan berkonsep
robatayaki menyebar di Jepang.
“Pulangnya pun bisa sampai tengah malam. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa rumah-rumah makan yang menawarkan konsep
robatayaki hanya dibuka saat malam hari. Selain itu, pastinya pakaian akan bau asap,” terang Chef Ito.
Berbeda dengan di Jepang, restoran berkonsep
robatayaki di Indonesia masih belum terlalu banyak. Walaupun diminati banyak orang, tempat khusus yang menawarkan hidangan ini masih terkesan eksklusif dan menawarkan harga yang sedikit mahal.
“Mungkin karena bahan dasar yang digunakan harus
seafood segar dan belum banyak resto yang menyediakan menu ini. Jujur saja, karena bumbu yang dipakai sederhana,
seafood harus benar-benar segar karena kalau tidak akan mempengaruhi rasa saat dinikmati,” tuturnya.
Bumbu yang dipakai saat memanggang sate memang tergolong sederhana, menurut Chef Ito bumbu yang digunakan hanyalah serai dan lemon agar
seafood tidak terlalu amis. Belakangan ada tambahan cita rasa, beberapa
kushiyaki dilumeri keju mozarela untuk menambah kaya cita rasa.
“Mungkin kalau di Indonesia varian
kushiyaki masih terbatas karena paling hanya aneka
seafood, daging ayam, dan sapi. Kalau di Jepang, variannya lebih kaya lagi. Apapun bisa jadi bahan dasar
kushiyaki. Mulai dari aneka sayuran, lalu semua bagian tubuh ayam bisa dipakai. Misalnya jantungnya, ati ampela, sayap, kulit, leher, sampai buntutnya pun banyak yang suka. Kalau
kushiyaki yang berbahan dasar
seafood, kurang lebih sama dengan di sini,” tambahnya.
Perbedaan lain dengan Indonesia yaitu konsep restoran yang sudah mulai modern. “Kalau di Jepang datang ke restoran berkonsep robatayaki sudah pasti pakaian bau asap, tapi tidak dengan di Indonesia. Peralatan yang dipakai sudah modern, restorannya pun begitu. Mungkin ada tempat khusus yang memungkinkan pembeli duduk di depan dapur terbuka tempat proses memanggang, tapi kebanyakan pengunjung lebih pilih duduk di tempat biasa tinggal tunggu pelayan membawa hidangan
robatayaki yang dipesan,” tutupnya.