Halaman 1 dari 2
Jakarta - Raja Ngayogyakarta dapat wangsit. Harus mengubah trah dan memutuskan putra mahkota. Celakanya semua anaknya adalah putri. Pembayun pun didapuk Mangkubumi. Buwono diganti Bawono. Geger pun terjadi.
Sudah mereda sabda Hamengkubuwono X yang kontroversial itu. Tapi jangan harap ini akan selesai. Ini bisa berlarut-larut dan berpanjang-panjang masalah. Mungkin akan mengikuti jejak Mataram lain (Solo), dan meniru Kacirebonan.
Semoga gonjang-ganjing ini tidak mengikuti geger Majapahit. Bakar-bakaran istana. Raja bergonta-ganti hanya dalam hitungan bulan. Dan akibat itu empat tahun hilang dalam catatan sejarah, seperti diungkap Prof Slamet Iman Santoso.
Mataram adalah kerajaan paling langgeng. Kendati terpecah-belah digaris Perjanjian Gianti dan Perjanjian Salatiga, tetapi hingga kini masih tetap kokoh. Kekokohan itu tak dipungkiri karena kesintalan sang raja, dan kesepahaman mengendus perubahan zaman.
Tetapi semaju apapun, kultus adalah perekat. Ini yang menjaga dari zaman ke zaman raja menempati posisi sentral dalam tataran dunia adi-kodrati. Sebagai pusat sabda dan dawuh. Tidak disoal salah atau benar, karena semua dianggap datang dari langit.
Aksesori kultus adalah ritus. Ini senjata paling ampuh untuk mempertahankan kuasa. Ritus itu permisif terhadap agama atau kepercayaan apapun. Sebab kata Prof DR Simuh, orang Jawa itu pandai. Agama apa saja dipersilakan masuk, tapi dia belum tentu memeluknya. Ini alat tawar sang raja, agar tetap menduduki tahta tinggi di dunia adi-kodrati tadi.
Maka Mataram, kendati yang mendirikan kerajaan ini adalah Panembahan Senopati, tetapi harus banyak-banyak bersyukur terhadap Sultan Agung raja ketiga. Dialah raja cerdas Mataram yang ‘mengIslamkan’ kerajaan tanpa mengusik realitas kepercayaan rakyatnya.
Next
Halaman
1 2
Next