FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Oleh MARIA HARTININGSIH dan AHMAD ARIF Sunyi ditingkahi hujan dan mendung hitam menciptakan suasana muram di kompleks pemakaman tua di Dusun Kedon, Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Jumat pada Maret 2015 itu baru pukul satu siang, tetapi hari terasa seperti sedang menjemput petang. Menerjang hujan, dengan tergopoh kami memasuki gerbang makam. Tak ada orang. Hanya seorang laki-laki tidur membujur di bangku, sebelum seorang pemuda menahan kami, tanpa suara, menyodorkan buku tamu lusuh untuk diisi. Tanpa menatap tamunya, dia mengantar kami memasuki bangunan bergaya kolonial, bercat putih kusam, membuka kunci, meminta kami melepas alas kaki, dan menggelar tikar sebagai alas duduk. Lalu dia mundur, membiarkan kami hilang di antara makam-makam berkijing dan bau tak sedap dari kotoran kelelawar yang berserakan. Yang segera menohok pandang adalah cungkup yang menaungi makam berkijing marmer putih. Cungkup itu berbentuk joglo kayu berukir, terbuka, dengan tirai tipis diikat pada empat tiang penyangga. Udara dalam ruangan terasa padat, menyesak. Di nisan itu, tercantum tulisan dalam aksara Jawi, Raden Ngabehi Ronggowarsito, pujangga ing Nagari Surakarta. Pujangga penutup Keraton Kasunanan Surakarta (1802-1873) itu masyhur dengan karya-karya sastranya. Salah satunya, Serat Kalatidha, syair 12 bait. Salah satu baitnya yang paling dikenal adalah tentang "zaman edan". Di dalam cungkup terlihat sisa dupa dan taburan kembang kering, yang tak tampak pada 11 makam lain di ruangan 50 meter persegi itu. "Banyak orang tirakatan di makam ini," ujar Wardiyono dari Forum Petani Klaten. Katanya, makam itu banyak dikunjungi pejabat dan tokoh, khususnya pada saat-saat penting terkait politik. Menolak hegemoni Ingatan tentang kesejarahan Ronggowarsito tampaknya berhenti pada kisah kesaktian dan kejituan ramalan-ramalannya. Tak banyak yang melakukan kajian mendalam tentang penolakannya terhadap hegemoni pengetahuan kolonial. Bahkan, penyebab kematiannya pun masih diliputi misteri. Apalagi, dalam karya terakhirnya, Serat Sabdo Jati, dia seperti meramal kematiannya. Para sejarawan menengarai, penjajahan yang subtil dilakukan sistematis dengan merusak sistem pengetahuan lokal, melalui pemaksaan (dan diterimanya) bentuk-bentuk pengetahuan dari rezim kebenaran (Foucault, 1991, dan Rabinow, 1991). Menurut sejarawan Hilmar Farid, sastra Jawa berhubungan dengan ritual dan siklus kehidupan. Menghidupi sastra, itulah dasar pengetahuan Ronggowarsito dan semua pujangga Jawa, atau tradisi "laku" yang tak ada habisnya, menurut pakar representasi sosial, Risa Permanadeli. Sebagai contoh, dalam Kitab Rajapurwa, Ronggowarsito menggambarkan letusan Gunung Krakatau yang persis dengan kejadian tahun 1883. Padahal, Rajapurwa terbit pertama kali tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan terjadi. Catatan itu dicomot secara persis oleh Wichmann, geolog Belanda, saat menyusun katalog gempa bumi di Nusantara (1918), tanpa menyebut sumbernya. Dalam kitab itu, juga terbaca pewarisan pengetahuan antargenerasi dan etika pengutipan. Salah satunya, soal gempa bumi di Jawa dan Sumatera, tahun Saka 338 atau 426 Masehi. Dalam pengantarnya, Ronggowarsito menulis, sebagian naskah diambil dari catatan Raja Sri Batara Aji Joyoboyo, yang memerintah Kerajaan Kediri (1135-1157). Diambil alih Karya sastra Jawa, menurut Fay, sapaan akrab Hilmar Farid, tidak seperti literatur dalam pengertian sastra Eropa. Namun, pihak penjajah memaksakan kodifikasi yang stabil dari filologi yang dasarnya Yunani dan Latin. Yang dipersoalkan adalah originalitas, sumber pasti dari teks. Sementara, dalam tradisi Jawa, kepastian sumber bukanlah segalanya. Corpus (himpunan) pengetahuan dibentuk melalui tulisan banyak orang dan bersumber pada warisan pengetahuan dari abad ke abad. Seperti proses penulisan Babad Tanah Jawi, sebelum dipotong-potong oleh Meinsma, atas dasar politik kultural-ideologis tentang sastra dan bukan sastra. Praktik kolonialisasi pengetahuan Barat (penjajah) terhadap Timur (jajahan), yang disebut antara lain oleh Edward Said (1978), tak sulit dirunut. Menurut Fay, siklus apropriasi (mengambil karya lama untuk menyusun karya baru) pengetahuan dimulai akhir abad ke-18. Akhir abad ke-19 mereka mulai merumuskan definisi tentang bahasa dan sastra Jawa. Dengan itu, ilmuwan Belanda, Steward Cohen, menyatakan, pengetahuan Ronggowarsito tentang Jawa Kuno sangat minim. "Saat itulah pengambilalihan pengetahuan sudah terjadi secara lengkap melalui institusi pendidikan," ungkap Fay. Pengalaman serupa terjadi di India. Namun, berbeda dengan Tagore yang berusaha merumuskan kebaruan dengan berpijak pada tradisi, Ronggowarsito melawannya dengan kembali pada tradisi dan pengetahuan yang dimiliki. Kegelisahannya diekspresikan dalam Serat Kalatidha, tentang datangnya zaman Kaliyuga, zaman perubahan yang merusak seluruh tatanan. Warisan leluhur Ronggowarsito tidak hanya menolak hegemoni pengetahuan kolonial, dia juga menolak hegemoni agama yang meminggirkan warisan leluhur. Dalam bukunya, Gatholoco (2012), pengkaji sejarah Nusantara, Damar Shashangka, menduga, Ronggowarsito adalah penulis Serat Gatholoco yang sarkastik, sekaligus penuh ungkapan sufistik yang mendalam. Ronggowarsito-cucu pujangga besar Raden Ngabehi Yasadipura II (kakek) dan Raden Ngabehi Yasadipura II (buyut)-menurut Fay, adalah intelektual Jawa terakhir yang mengembangkan pengetahuan tentang Jawa. Setelah itu, pengembangannya diambil alih para ilmuwan didikan Belanda. Situasi tersebut memperkuat pandangan sejarawan Van Leur (1967), Indonesia lebih banyak dilihat dari geladak kapal Belanda. Jalan yang diambil Ronggowarsito mengingatkan kepada RM Sosrokartono (1877-1952), yang memilih pulang, dalam arti fisik, psikologis, spiritual, setelah 29 tahun mengembara di Eropa. Budayawan Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai sosok genial, yang ingin menyatukan dua kekuatan peradaban: mistisisme Jawa dan peradaban Barat (Eropa). Dalam hal lain, Samin Surontiko (1859-1914), pelopor Ajaran Samin, mempertahankan pengetahuan leluhur dengan menolak nalar kolonial. Nalar sama dipakai korporasi dan siapa pun yang dengan berbagai dalih berupaya menjungkirbalikkan kebenaran, termasuk dalih pengerukan sumber daya alam akan menyejahterakan rakyat. Di makam Ronggowarsito, siang itu, kami menyelami makna "zaman edan" yang terus berlangsung di semua lini; suatu zaman yang meraibkan nurani dan mata hati.. |
![]() |
|
|