Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (kanan) tiba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta untuk menjalani sidang vonis Kamis (24/9/2014). Anas diduga terlibat korupsi dalam proyek Hambalang, yang juga melibatkan mantan Menpora Andi Malarangeng.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengecam keras putusan Mahkamah Agung yang memperberat hukumannya menjadi 14 tahun penjara. Menurut dia, majelis hakim terlalu bernafsu dalam menjatuhkan hukuman terhadap terpidana sehingga mengabaikan sisi kemanusiaan. "Palu hakim kasasi 'berlumuran darah'. Kebenaran dan kemanusiaan dilukai secara sengaja oleh nafsu menghukum yang menyala-nyala," ujar Anas melalui kuasa hukumnya, Handika Honggo Wongso, di Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Anas mengira hakim kasasi dapat mengoreksi kekeliruan hukum menjadi putusan yang adil. Namun, ia kecewa saat majelis hakim MA justru memperberat hukumannya.
"Dikira hakim kasasi bisa mengoreksi kezaliman dan kekerasan hukum menjadi putusan yang adil, ternyata malah menambah sadisme dan memorak-porandakan keadilan," kata Anas.
Dalam pesannya, Anas lantas menyindir majelis hakim yang memutuskan vonis tersebut. Majelis hakim yang memutus perkara Anas ialah Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap.
"Semoga Pak Artidjo Alkostar makin tenar, Pak MS Lumme makin
kece, Pak Krisna Harahap makin mantap. Tenar,
kece, dan mantap di atas kuburan keadilan," kata Anas.
Mahkamah Agung memperberat hukuman terhadap Anas Urbaningrum setelah menolak kasasi yang diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun. )
Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis pun menilai, pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah keliru. Sebaliknya, MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, dan persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.