|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() Belajar dari Bartimeus, Si Pengemis Buta di Pinggir Jalan ![]() Si pengemis buta itu duduk di pinggir jalan. (Bdk Mark 10: 46- 52) Di pinggir jalan adalah situasi yang tidak penting. Ia hanya menjadi penting kalau merujuk pada apa yang sedang terjadi di tengah jalan. Namun, meskipun demikian, siapa pun yang mengerti tentang keadaan di pinggir jalan, akan segera merasa bahwa berada di pinggir jalan adalah suatu pilihan yang dilakukan dengan sadar, suatu keputusan yang dijalankan dengan tepat, karena pilihan ini berkenaan dengan posisi yang pas untuk mengamati apa yang sedang terjadi di tengah jalan. Bartimeus memilih dengan sadar untuk berada di pinggir. Ia berada dari suatu jarak. Meskipun tidak dapat melihat, ia selalu berusaha mendengarkan apa yang sedang terjadi di tengah jalan. Niatnya hanya satu, yaitu merekam sebanyak mungkin, dan mengingatkan dirinya sendiri tentang apa yang sedang terjadi, dan apa saja yang tengah menjadi perbincangan banyak orang di tengah jalan itu. Mungkin ini yang menjadi alasan mengapa ia tidak mau masuk ke tengah kerumunan dan lalu lintas orang banyak di tengah jalan. Yang dibuatnya adalah mendengar dengan tekun, menyimpan semuanya di dalam diri. Tentu ia tidak saja mendengar tentang semua yang dikatakan. Tetapi, lebih khusus lagi, ia mendengar tentang peristiwa-peristiwa ajaib: si lumpuh berjalan, yang sakit disembuhkan, roh jahat diusir, dan bahkan orang mati dibangkitkan. Semua yang ia dengar itu berhubungan dengan satu nama: Yesus, anak Daud. Pengharapan Secara pribadi, Bartimeus mengharapkan agar semua yang ia dengar, boleh terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ketika Yesus berjalan lewat dari pinggir jalan, ia berteriak secara spontan: �Jesu, fili David, miserere mei � Yesus, anak Daud, kasihanilah aku!� Seruan ini muncul secara spontan, keluar begitu saja dari mulutnya dan tanpa beban. Selain itu, seruan seperti ini lahir dari kondisi dan situasi, yang baginya tidak perlu diterima sebagai tugas yang diberikan oleh eksistensi yang penuh dengan persoalan dan harus segera dituntaskan. Yang ada di dalam dirinya hanya satu pengharapan, meskipun pengharapan itu tercampur dengan kefanaan dari diri yang terbatas. �Anak Daud, kasihanilah aku!� Ini adalah pengakuan iman Bartimeus yang paling jujur. Pengakuan ini tidak lahir dari tradisi, atau merupakan warisan. Ia adalah hasil dari revelasi hidupnya yang membaur dengan keterbukaan dari diri yang terbatas. Tampaknya pengakuan seperti ini juga tidak didasarkan pada kanon-kanon agama, atau pada ritus dan ibadat yang diajarkan sebuah tradisi. Imannya bertumbuh dari revelasi hidupnya di jalan dan menyatu dengan bumi. Tidaklah mengherankan, ada yang melihat bahwa seruan semacam ini adalah credo dan mazmur yang datang dari jiwa yang tulus dan luhur. Siapa yang tahu ke mana kata-kata atau suatu pembicaraan akan pergi. Bartimeus juga mungkin tidak tahu dan tidak percaya akan apa yang ia serukan. Yang terjadi bahwa kata-katanya kuat dan hidup terus, dan bahkan menggema mengatasi dirinya. Kekuatan seruan seperti inilah, kemudian membawa Bartimeus masuk ke dalam lompatan transendental untuk menyeberang dari dirinya. Lompatan ini berawal dari kesadaran tentang situasi diri yang terbatas: berada di pinggir jalan, tidak dapat melihat, dan selalu mengemis. Ketiga hal ini adalah motif yang menggerakkan dia kepada satu kesadaran yang lebih tinggi, yaitu agar dapat melihat! Iman yang jujur �Rabuni, supaya aku dapat melihat!� Bagi Bartimeus, melihat bukan sekadar suatu kerinduan psikologis. Lebih dari itu, baginya, melihat adalah kekuatan yang dapat mengubah sekaligus menghidupkan. Oleh karena itu, ia pun berjuang dan memberanikan dirinya masuk ke tengah pasar keselamatan dan melakukan tawar-menawar. Setelah ada kesadaran baru untuk mempertanyakan kondisi dirinya, lalu memilih jalan bersikap kontra diri � dari keadaan buta kepada kerinduan untuk melihat � Bartimeus dengan tegar ingin segera mengekspresikan suatu antitesis dengan keadaan yang sedang ia gumuli. �Rabuni, supaya aku dapat melihat!� Hal semacam ini dapat dimengerti, karena Bartimeus merasa telah menguasai dirinya dan ia mau memperlihatkan suatu bentuk ekspresi imannya yang paling jujur. Ia seolah mau mempertanyakan, apakah ungkapan iman yang dikemas lewat peti konvensi masih cukup sesuai dan juga masih kuat untuk suatu kehidupan? Bartimeus mungkin lebih yakin, bahwa ungkapan iman tidak selamanya terjadi dalam ruang kudus tempat orang memasang lilin, dan kemudian bertekuk lutut sambil melupakan kehidupan yang keras di luarnya. Memang kefanaan selalu mengguncang hati, dan kita pun selalu merasa disentuh oleh kefanaan itu. Sering ia membuat kita bergetar, karena kita selalu berada dan berhubungan dengan bumi. Kesadaran seperti ini dapat saja menampilkan bayangan lain di dalam diri kita, yaitu bahwa kita sebenarnya juga buta, dan seharusnya kita juga selalu memohon. Begitulah, kita harus selalu hidup dan senantiasa meminta diri. Tentu ini semua hanya mungkin, kalau kita sanggup membawa diri kita ke pinggir, mengambil jarak, menemukan sendiri batas-batas diri, dan boleh mendengar lagi secara baru segala hikmat kehidupan yang sedang mengalir di tengah jalan hidup kita. Kita boleh mengatakan bahwa iman adalah sebuah seruan yang selalu terbuka bagi suatu kedatangan. Namun, seperti Bartimeus, kedatangan itu harus selalu diantisipasi agar setiap kita mampu bergerak melampaui setiap horison diri, meninggalkan batas-batas diri, dan mampu bersentuhan dengan Yang Tidak Terbatas. Bukankah cerita tentang iman adalah cerita saat manusia menjadi makhluk yang tidak sempurna dan mengalami persentuhan dengan yang Mahasempurna? Begitulah, kita harus selalu dan senantiasa meminta diri agar kefanaan kita dapat berhubungan dengan yang abadi itu, dan dosa kita selalu bersentuhan dengan rahmat. Felix Baghi SVD Penulis adalah staf pegajar di STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT
__________________
ﷲ ☯ ✡ ☨ ✞ ✝ ☮ ☥ ☦ ☧ ☩ ☪ ☫ ☬ ☭ ✌
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|