Disampaikan oleh: Alvin Loka
Dr. Iwan T. Budiarso, pakar patologi dan parasitologi tamatan Universitas Purdue, Indiana, Amerika Serikat, sungguh tak luput dari penyakit. Tahun 1979, ketika sedang mengikuti seminar patologi di Bali, untuk pertama kalinya ia mengalami serangan jantung. Sejak itu jantungnya kerap ngadat.
Tahun 1984, ia menjalani operasi bypass di Australia. Menurut dokter setempat, operasi ini bisa membuat jantungnya tahan hingga 10-15 tahun. "Nyatanya, baru dua tahun sudah kumat lagi," ujarnya dengan nada kocak.
Begitulah dengan berbagai upaya, ia bisa mengatasi beberapa kali serangan jantung. Namun jantungnya kian membengkak. "Jalan sedikit saja napas sudah sesak," ungkapnya. Mau dioperasi lagi, selain biaya yang aduhai, resikonya juga terlalu tinggi. Maka, sesuai saran tim medis yang menanganinya, Iwan terpaksa menghentikan segala kegiatannya.
Dosen patologi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini merasa sangat prihatin. "Kalau dulu saya bisa menolong orang, maka giliran saya yang harus ditolong orang," ungkapnya.
April 1999, salah seorang sejawatnya menyarankan agar meminum air seninya sendiri. Sebagai peneliti, Iwanpun mencari literatur-literatur tentang terapi auto urin (meminum air seni sendiri) sebagai dasar ilmiahnya.
Setelah membaca buku 'Water of Life, Treatise of Urine Therapy' karya John W. Armstrong bab 9 tentang pembengkakan jantung, Iwanpun langsung menenggak urinnya sendiri. Keinginannya untuk sembuh membuat ia begitu bersemangat melakukannya. "Saya meminumnya sampai lebih dari 1 liter sehari."
Keesokan harinya ia mendapati tekanan darahnya langsung normal. Iapun kian bersemangat mendalami ihwal terapi auto urin. Ia mengkontak pakar terapi urin di Yamanashi, Jepang, Dr. K. Sano, dan ilmuwan Belanda, C der Kroon, yang menulis buku 'The Golden Fountain: The Complete Guide to Urine Therapy'.
Iwan juga menghubungi panitia penyelenggara The Second World Conference on Urine Therapy di Jerman, Mei 1999, untuk memesan makalah para pakar terapi urin dari berbagai negara. Sesuai disiplin ilmu yang digelutinya, Iwan melakukan pengkajian terhadap bahan-bahan tersebut. Seiring waktu, Iwan sangat bersyukur karena kondisi jantungnya normal kembali - setelah tekun meminum air seninya sendiri selama setahun.
Khasiat air seni juga dialami Eleanor Lanny. Pertengahan Agustus 1997, dokter menemukan semacam balon yang berisi cairan di ovariumnya. Ternyata, ada sel kanker stadium 2C. Selama 3 bulan, pemandu wisata pada sebuah biro perjalanan ini menjalani chemotherapy.
Ternyata, sel-sel kanker tetap berkembang merajalela di rongga perutnya. Lanny mengalami konstipasi, sulit buang air besar karena ususnya terdesak. Dokter akan membuat lubang sementara di bagian perutnya untuk mengatasi hal itu.
April 1999, atas saran seorang kenalannya ia mulai meminum urinnya sendiri. Lalu ia membatalkan rencana operasinya yang ketiga. Selain meminum urin, ia juga mengkonsumsi kunyit putih dan daun tapak dara.
Hasilnya, perutnya yang semula buncit sudah kempes dan perasaan nyeri hilang sama sekali. Sesudah menjalani terapi air seni, ia gembira mendapati hasil tes darahnya. "Sel kanker dalam tubuh saya sudah menurun banyak."
Apa yang dilakukan Iwan dan Lanny menunjukkan bahwa air seni ternyata mujarab. Memang belum banyak orang Indonesia yang mau mencobanya kecuali bila kepepet karena sakit. Padahal bagi orang sehat, air seni bisa mencegah datangnya penyakit dan memberi efek kesegaran bagi tubuh.
Dalam seminar Urine Therapy yang berlangsung di Hotel Santika, Jakarta, Jumat (14/4/00), Iwan menyimpulkan, jangan memandang urin sebagai musuh. Tetapi, jadikanlah sebagai teman penyembuh. "Hanya dengan modal keberanian, kita bisa merasakan khasiatnya," tegasnya.
Rasa urin memang bisa berubah-ubah sesuai dengan apa yang kita makan setiap hari. Bila ingin air seni terasa tawar, disarankan untuk memperbanyak makan sayur dan buah. "Bila mengkonsumsi daging, urin akan terasa lebih asin, asam, bahkan pahit." Iwan mengakui, selain efek menyembuhkan, terkadang terapi auto urin memberi efek lain, yakni recovery reaction atau detoxification period. Yakni, reaksi dari dalam tubuh bila akan sembuh. Gejalanya bermacam-macam. Misalnya, diare, batuk, pusing-pusing, berjerawat, dll.
Bila terjadi hal demikian, Iwan menyarankan untuk berhenti selama seminggu. Kemudian mulai meminumnya lagi dengan dosis meningkat dari yang paling kecil. Apapun rasanya, urin adalah penyembuh cuma-cuma. Cocok digunakan pada situasi sulit seperti sekarang ini untuk macam-macam penyakit. Bahkan John W. Armstrong menyebutnya sebagai air kehidupan -- seperti tertera dalam Amsal 5:15, "Minumlah air dari kulahmu sendiri. Minumlah air dari sumurmu yang membual."
Diminum Sampai Dilulur
Anda berminat mengkonsumsi urin sendiri? Silakan menadahinya dalam mangkuk atau gelas tertentu. Yang penting, buanglah tetesan-tetesan awal dan akhir. Ambil antaranya saja. Cara memakainya bisa dengan langsung diminum, dikumur, diteteskan (untuk mata, hidung dan telinga), direndam, dikompres atau dilulur, dan juga disuntikkan.
Bentuknya bisa berupa air seni segar atau berupa ekstrak (melalui proses). Sedangkan dosis yang dianjurkan berbeda-beda.
Untuk menjaga kesehatan dan kebugaran, minimal sehari satu kali meminum satu gelas (250 cc) urin pertama pagi hari sebelum makan pagi. Untuk pengibatan penyakit, minimal sehari meminum 3 gelas urin sebelum makan. Sedangkan untuk pengobatan kanker dan penyakit-penyakit kronis lainnya, minimal sehari meminum lima gelas urin - juga sebelum makan. Bagi yang menderita penyakit tertentu, sambil meminum urin, juga tetap meminum obat-obat dari dokter. Jika gejala penyakit sudah stabil, dosis obat tersebut boleh dikurangi sepertiga.
Setiap dua atau tiga minggu disarankan tetap cek ke dokter atau ke lab. Jika gejala penyakit stabil, obat bisa dikurangi hingga sepertiga dosis. Pada minggu ke-7 atau ke-9, penderita penyakit bisa bebas - tidak perlu meminum obat dokter. Hanya meminum urin saja.
Sumber