Ramadan di Belanda: Tantangan yang Membawa Nikmat

XiaoYanZi

Oleh: Dian Ina Mahendra

Ramadan yang baru saja berlalu menyisakan sejumlah kenangan mengesankan bagi Rizki Pandu Permana dan Rohprimardho, dua mahasiswa Indonesia yang tengah bermukim di Belanda. Bagi mereka, hal yang paling mereka rindukan dari melaksanakan ibadah Ramadan adalah suasana yang begitu khusyuk dan syahdu di Indonesia
�Kalau tak pintar-pintar menciptakan suasana berpuasa di sini, rasanya ya, sangat biasa, seperti tidak ada apa-apa, karena cuma kita yang melaksanakan. Tak ada panggilan untuk sahur, tak ada yang berjualan takjil di jalan-jalan, semua kegiatan berjalan seperti biasa, orang lain juga makan dan minum seperti biasa. Bahkan pernah, suatu kali setelah salat Idul Fitri, saya harus kembali lagi ke kampus untuk ujian semester,� cerita Rizki.
Hal senada diungkapkan pula oleh Ardho, yang mengaku setelah sampai di Belanda, baru merasakan beratnya melaksanakan ibadah puasa. Saat ini ia tinggal di pinggiran Amsterdam, sebuah kota kecil di mana muslim adalah minoritas dan Islam nyaris tak dikenal penduduk setempat.
�Di Indonesia semua serba terkondisi untuk berpuasa. Jadi berpuasa sama sekali bukan tantangan, karena sangat mudah dilaksanakan. Jam belajar dan jam kerja diperpendek, sebagian besar orang di sekitar kita berpuasa, tempat makan kebanyakan tutup di siang hari, ada yang membangunkan sahur, semua hal yang mempermudah itu tidak ada di sini,� katanya.
Terlebih lagi, selama dua tahun ke belakang, Ramadan hadir di puncak musim panas, yang berarti waktu berpuasa di sini jauh lebih panjang dibandingkan waktu berpuasa di Indonesia. Pada bulan Juli hingga September, matahari baru terbenam sekitar pukul 21.00, sementara waktu imsak jatuh pada pukul 04.00.
Artinya, umat Islam di negara-negara Eropa berpuasa selama sekitar 17 jam.
�Beberapa tahun yang lalu, pernah juga Ramadan terjadi saat musim dingin, yang siangnya lebih pendek dan malamnya lebih panjang. Tapi kalau sahur terlewat, tetap sengsara juga jadinya. Karena kalau dingin 'kan lebih cepat lapar,� kata Ardho sambil tertawa.
Soal terlewat sahur ini, Rizki yang tinggal di Utrecht mengaku mengalaminya beberapa kali �Entah kenapa, terjadinya selalu hari Minggu. Memang harusnya saat sahur sendirian, alarm sahur jangan langsung dimatikan. Kalau perlu pasang beberapa alarm sekaligus, supaya ada cadangan.�
Karena tidak ada azan yang berkumandang lewat menara masjid, kedua mahasiswa ini, sebagaimana muslim lainnya di negara ini, mendapatkan jadwal salat dan imsakiyah dari sejumlah website yang menyediakannya.
Tetapi Rizki menemukan bahwa masjid di pemukiman Turki di dekat rumahnya punya waktu imsak setempat yang lebih mundur daripada jadwal yang diunduhnya dari Internet.
Selain lapar dan dahaga, dua mahasiswa ini mengakui bahwa suhu udara yang panas juga mudah memengaruhi emosi mereka. Untuk hal ini, tentu muslim yang berpuasa di Indonesia juga merasakannya. Tapi, ada ekstra untuk mereka, yakni menjaga pandangan dari kemolekan gadis-gadis Belanda dalam gaya busana musim panas yang serba minim dan tipis menerawang. Tapi tentu, makin banyak tantangan, makin puas kita ketika berhasil mengalahkannya.
Ketika saya menanyakan tentang makanan halal, keduanya mengaku untuk mendapatkannya tidak terlalu sulit. Selain karena banyaknya kedai kebab/shawarma milik para imigran dari negara-negara Arab, juga karena daging halal bisa didapatkan di pemukiman Turki yang terletak di beberapa bagian kota. Dan karena sebagian besar mahasiswa memilih memasak untuk menghemat pengeluaran sehari-hari, masih ada pilihan untuk mengolah ikan atau sari laut untuk hidangan sahur dan buka puasa.
Hal lain yang juga senantiasa dihadapi umat muslim yang merupakan minoritas di Belanda adalah berbagai pertanyaan seputar ibadah puasa. �Selalu ada saja yang bertanya 'Kenapa harus berpuasa?' 'Kalau puasa boleh minum air tidak?' 'Kenapa harus berpuasa sampai Maghrib, itu 'kan lama sekali, sampai 17 jam?' tak jarang ditambah komentar-komentar lain yang kurang enak didengar,� kata Ardho.
�Tetapi, saya juga menerima banyak penghargaan yang tulus dan perhatian karena menjalankan ibadah ini. Teman-teman yang mengetahui kalau saya berpuasa ada juga yang lantas sengaja tidak makan-minum di depan saya karena ingin menghormati. Mengharukan sekali.�
�Iya, pasangan orang Jerman yang tinggal serumah dengan saya selama seminggu pertama puasa sengaja ikut bangun pada waktu sahur dan menemani saya makan. Mereka juga cukup sering menunda waktu makan malam supaya bisa makan bersama saya pada saat buka puasa,� kata Rizki.
�Setiap kali berbuka, menyelesaikan satu hari berpuasa, rasanya jadi nikmat banget. Jauh lebih nikmat daripada kalau saya berpuasa sehari penuh di Indonesia.�
Bagi mereka, hari demi hari yang berhasil dilewati selama Ramadan terasa bagaikan kemenangan demi kemenangan kecil, dalam melawan godaan dan cobaan yang seringkali harus dilawan sendirian. Saat-saat hari raya Idul Fitri jadi lebih bermakna, sekaligus jadi lebih sendu karena kerinduan merayakan Lebaran bersama keluarga di Tanah Air.
Untunglah, perkumpulan ibu-ibu warga Indonesia selalu berhasil menyediakan hidangan lebaran yang istimewa bagi para perantau ini saat open house seusai shalat Ied di KBRI Den Haag. Masakan yang lahir dari tangan mereka setidaknya mampu mengobati sedikit kerinduan itu.

Terkait:

domechow

Allah maha kuasa, hambanya diberi kekuatan

_______________________
RAMAL NASIB ANDA SEGERA! 100% SAINS, MODERN, NO MISTIS, NO SYAITON

Menu