Skenario Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
Dalam beberapa tahun terakhir, banjir selalu menghantui Jakarta. Gerombolan air hujan itu juga ternyata tidak takut sama Pak Kumis yang mengaku �ahlinya� mengurus wilayah ibukota negara ini. Meski kanal-kanal banjir sudah dibuat, danau-danau resapan diperhatikan, namun Sang Air tetap saja memasuki perkampungan warga Betawi tanpa permisi dan tanpa bisa dihalau siapapun.
Apa atau siapa yang salah..?
Jika itu pertanyaannya, semua orang sepertinya dapat menjawab secara ilmiah. Banjir adalah air yang berlebih, karena saluran penggelontorannya kurang menyebabkan air harus antri masuk ke laut. Karena tidak disediakan ruang tunggu selama mengantri, air merambah kemana-mana. Dengan sifatnya yang seperti hantu, lubang seujung rambutpun dapat dimasuki air yang volumenya lebih besar dari kereta Jabotabek. Apalagi ada penelitian yang menyatakan tanah Jakarta makin menurun karena pengambilan air tanah yang besar-besaran.
Dari penjelasan itu, pasti setiap orang bisa menilai apa dan siapa yang salah yang menyebabkan Jakarta menjadi Daerah Tujuan Wisata.. eh tujuan banjir.
Lantas bagaimana mengatasinya? Pendapat ilmiah saya mengatakan ada dua skenario untuk menghadapi situasi ini :
Pertama : Kembalikan Jakarta ke rencana awal sebagai �
water front city� bikinlah sungai banyak-banyak dan normalisasi sungai yang sudah ada yang setidaknya dapat menampung banjir 10 tahunan. Para ahli pasti dapat menghitung pada debit air berapa Jakarta akan terkena banjir.
Masyarakatkan sistem transportasi sungai sehingga dari Pasar Minggu ke Manggadua bisa dengan perahu. Orang Jakarta selain punya mobil juga bisa punya perahu atau
speedboat. Dengan konsep ini, selain kemacetan lalu-lintas jalan dapat dikurangi, Jakarta bisa menjadi kota terunik di dunia.
Kedua : Ada fenomena bahwa banjir Jakarta adalah kiriman dari Bogor. Gubernur DKI jangan hanya merasa cukup dengan menghimbau untuk tetap menghijaukan Bogor. Dengan adanya otonomi daerah, Gubernur Jabar saja tidak akan bisa memerintah kepada bupati/walikota Bogor, apalagi Gubernur DKI. Maka bekerjasamalah dengan daerah hulu sungai yang mengalir ke Jakarta. Misalnya, sekian trilyun hasil pembangunan di Jakarta diberikan ke Pemkab/Pemkot Bogor sebagai kompensasi untuk mempertahankan kawasan hijaunya yang dapat menahan larian air hujan. Berilah
reward jika air di Pintu Katulampa tidak melebihi batas normal 80 cm.
Kedua skenario ini memang mahal biayanya, tetapi bukan suatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Dan yang pasti program
mitigasi bencana ini lebih murah daripada harus menghadapi banjir yang sering disertai dengan korban nyawa manusia�.
__________________
ﷲ ☯ ✡ ☨ ✞ ✝ ☮ ☥ ☦ ☧ ☩ ☪ ☫ ☬ ☭ ✌