|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa? ![]()
Quote:
Pendahuluan Berapa sering kita mendengar saudara kita dari agama Kristen lain yang mengatakan bahwa “Pengakuan dosa adalah cuma karangan Gereja Katolik saja. Alkitab mengatakan bahwa Tuhan sendiri yang memberikan pengampunan, bukan pastor. Jadi sudah seharusnya kita langsung mengaku dosa langsung kepada Yesus, dan tidak perlu mengakukan dosa di hadapan pastor. Memangnya Kitab Suci mengajarkan pengakuan dosa? Ah, pastor khan cuma orang biasa, kenapa kita musti mengaku dosa di depan pastor?” Kemudian ada komentar-komentar dari orang Katolik yang mengatakan “Setelah kita mengaku dosa, kita juga berdosa lagi, jadi pengakuan dosa tidak ada gunanya… Saya malu, karena saya kenal sama pastornya. Bagaimana kalau pastornya sampai membocorkan rahasia pengakuan dosa saya?” Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa pengakuan dosa hanya urusan satu kali dalam satu tahun. Mari kita lihat satu persatu keberatan tersebut di atas berdasarkan Alkitab, Bapa Gereja, dari pengajaran Gereja, dan juga perkembangan Sakramen Pengakuan Dosa. Pada bagian pertama ini, kita akan menelaah terlebih dahulu tentang apa sebenarnya hakekat dari dosa, sehingga kita akan secara lebih jelas menghayati bahwa Sakramen Pengakuan Dosa sungguh merupakan berkat dari Tuhan untuk membantu kita bertumbuh dalam kekudusan.
Quote:
Apakah ‘dosa’ itu?
Ada begitu banyak definisi tentang dosa. Namun, secara prinsip, dosa dapat dikatakan sebagai suatu keputusan[1] dari pilihan[2] untuk menempatkan apa yang kita pandang lebih utama, lebih baik atau menyenangkan daripada hukum Tuhan(1 Yoh 3:4). Pada saat seseorang menempatkan ciptaan lebih tinggi daripada Penciptanya, maka orang tersebut melakukan dosa (St. Bonaventura). Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendefinisikan bahwa dosa adalah melawan Tuhan (KGK, 1850), namun secara bersamaan melawan akal budi, kebenaran, dan hati nurani yang benar. (KGK, 1849) Sebagai contoh, mari kita melihat dosa menggugurkan kandungan atau aborsi. Di Amerika, setiap 30 detik, ada satu bayi yang digugurkan. Namun, tetap saja ada beberapa negara bagian di Amerika yang melegalisir warganya untuk menggugurkan kandungan. Dosa adalah melawan akal budi, karena hanya orang yang dapat menggunakan akal budi bertanggung jawab terhadap dosanya. Itulah sebabnya bahwa Sakramen Pengampunan dosa hanya dapat diterimakan kepada orang yang telah dibaptis dan mencapai usia yang dapat berfikir rasional. Dengan akal budi, seharusnya kita memilih tujuan yang paling akhir, yaitu persatuan dengan Tuhan, namun kita sering dikaburkan dengan oleh pengaruh dunia ini, sehingga akal budi kita lebih banyak dipengaruhi dan didominasi oleh kedagingan atau “sense appetite“.[3] St. Paulus mengatakan pemberontakan keinginan daging melawan keinginan roh (lih. Gal 5:16-17,24; Ef 2:3). Secara nalar, kita dapat melihat bahwa menggugurkan kandungan adalah melawan akal budi, karena tidak seharusnya manusia membunuh sesamanya, apalagi anaknya sendiri. Dosa adalah melawan kebenaran, karena kebenaran hanya ada pada Tuhan. Namun sering kita menganggap kejadian di dunia ini semuanya relatif, atau ibaratnya, tidak putih, tidak hitam, melainkan abu-abu. Karena kecendungan faham relativitas, maka kita tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Karena beberapa negara bagian di Amerika melegalisir pengguguran kandungan, banyak orang yang mungkin beranggapan bahwa hal ini adalah sesuatu yang wajar, yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun kebenaran tidak berpihak kepada mayoritas, yang sering berganti-ganti dari waktu ke waktu. Kebenaran adalah tetap dan tidak berubah, dan kebenaran sejati hanya dapat ditemukan dalam diri Yesus, karena Yesus adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14:6). Dosa melawan hati nurani yang benar. Hati nurani yang benar ditekankan oleh KGK, karena jaman sekarang ini, begitu sulit untuk membentuk hati nurani yang benar. Kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita mau berlaku jujur di dalam bisnis, kita dinasehati “jangan sok jujur”. Kalau di sekolah kita tidak mau nakal dan menyontek, kita akan dibilang “sok alim.” Seolah-olah sesuatu yang seharusnya benar, tidak boleh dipraktekkan. Dengan mentolelir kesalahan-kesalan kecil, maka hati nurani kita yang awalnya benar, yang diciptakan menurut gambaran Allah, menjadi tertutup dengan dosa, sehingga tidak murni lagi. Di sinilah pentingnya kebenaran yang diwartakan oleh Kristus melalui Gereja-Nya, sehingga Gereja dapat menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran (lih 1 Tim 3:15) yang menuntun hati nurani umat-Nya. Seperti yang dilakukan Gereja Katolik di Amerika, mereka berperan aktif untuk menyuarakan kebenaran atau membangkitkan hati nurani yang benar dengan berjuang untuk menghentikan legalisasi aborsi.
Quote:
Apakah bobot dosa berbeda-beda?
Dalam beberapa kesempatan, saya mendengarkan kotbah, ada yang mengatakan bahwa semua dosa adalah sama. Dosa kecil maupun besar menyedihkan hati Tuhan. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa Alkitab mengajarkan bahwa semua dosa adalah sama, yaitu dosa berat, dengan upahnya adalah maut, jadi tidak ada istilah dosa ringan (Why 20:14-15; Eze 18:4; Rom 6:23). Jadi ajaran Gereja Katolik yang mengatakan bahwa dosa dibagi menjadi dua: dosa berat dan dosa ringan, dan juga bahwa dosa berat hanya dapat dilepaskan melalui Sakramen Pengakuan Dosa adalah sangat tidak mendasar. Memang semua dosa menyedihkan hati Tuhan, namun Alkitab juga mengatakan bahwa ada dosa yang berat yang mendatangkan maut dan ada dosa ringan yang tidak mendatangkan maut (Lih 1 Yoh 5:16-17). Kita bisa melihat contoh dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita akan dapat membedakan tingkatan dosa. Misalkan, dosa membunuh dan dosa ketiduran sewaktu berdoa. Tentu, kita mengetahui bahwa membunuh adalah dosa yang lebih berat daripada ketiduran saat berdoa yang disebabkan oleh tidak-disiplinan dalam meluangkan waktu untuk berdoa. Dengan dasar inilah, Gereja Katolik mengenal dua macam dosa, yaitu: (1) Dosa berat atau “mortal sin” (KGK, 1856) dan (2) Dosa ringan atau “venial sin” (KGK, 1863) Kalau dosa berat adalah melawan kasih secara langsung, maka dosa ringan memperlemah kasih. Jadi dosa berat secara langsung menghancurkan kasih di dalam hati manusia, sehingga tidak mungkin Tuhan dapat bertahta di dalam hati manusia. Dosa berat atau ringan tergantung dari sampai seberapa jauh dosa membuat seseorang menyimpang dari tujuan akhir, yaitu Tuhan. Dan persatuan dengan Tuhan hanya dimungkinkan melalui kasih. Jika dosa tertentu membuat seseorang menyimpang terlalu jauh sampai mengaburkan dan berbelok dari tujuan akhir, maka itu adalah dosa berat.[4] Lebih lanjut dalam tulisannya “Commentary on the Sentence I,I,3“, St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa dosa ringan tidak membuat seseorang berpaling dari tujuan akhir atau Tuhan. Digambarkan sebagai seseorang yang berkeliaran, namun tetap menuju tujuan akhir. Untuk seseorang melakukan dosa berat, ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Menyangkut kategori dosa yang tidak ringan, (2) tahu bahwa itu adalah sesuatu yang salah, dan (3) walaupun tahu itu salah, secara sadar memilih melakukan dosa tersebut. Dengan kata lain seseorang menempatkan dan memilih dengan sadar keinginan atau kesenangan pribadi di atas hukum Tuhan. Apakah efek dari dosa? Kita melihat bahwa dosa menghancurkan relasi kita dengan Tuhan, yaitu dengan menghancurkan prinsip vital kehidupan kita, yaitu kasih. Seperti 10 perintah Allah, dibagi menjadi dua, yaitu kasih kepada Tuhan dalam perintah 1-3, dan kasih kepada sesama dalam perintah 4-10, maka dosa juga mempunyai dua efek, yaitu: efek vertikal dan efek horisontal. Efek vertikal mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan, sedangkan efek horisontal mempengaruhi hubungan kita dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa tidak ada dosa yang bersifat pribadi. Semua dosa kalau kita telusuri akan mempunyai dimensi sosial. Kita lihat saja dari hal yang sederhana, misalkan seorang ayah yang sering marah-marah di rumah akan mempengaruhi seluruh anggota di rumahnya, menyebabkan istri dan anak-anak ketakutan. Yang lebih parah, anak-anak pun dapat tumbuh sebagai pemarah. Atau contoh yang lain, yaitu dosa manusia pertama, menghasilkan dosa asal, yang menyebabkan terputusnya persatuan antara manusia dengan Tuhan, dan pada saat yang sama membawa dosa asal bagi seluruh umat manusia (Rom 5:12). Sebagai akibat dari dosa Adam (Kej 3:1-6), manusia kehilangan (1) rahmat kekudusan, dan (2) empat berkat “preternatural“, yang terdiri dari a) keabadian atau “immortality“, b) tidak adanya penderitaan, c) pengetahuan akan Tuhan atau “infused knowledge“, dan d) berkat keutuhan (integrity), yaitu harmoni dan tunduknya nafsu dan emosi kedagingan (sense appetite) kepada akal budi (reason). Karena kehilangan berkat-berkat tersebut, maka manusia mempunyai concupiscense (KGK, 2515) atau “the tinder of sin” (KGK, 1264), atau kecenderungan untuk berbuat dosa[5], di mana manusia harus berjuang terus untuk menundukkan keinginan daging. St. Paulus menyebutnya sebagai nafsu kedagingan yang berlawanan dengan keinginan Roh (Lih Gal 5:16-17, Gal 5:24; Ef 2:3). Manusia tidak dapat melawan semuanya ini tanpa berkat dari Tuhan yang memampukan manusia untuk “berkata tidak” terhadap dosa. Karena dosa pertama dari Adam adalah dosa kesombongan, maka kerendahan hati adalah penawar dari dosa yang memampukan manusia untuk menerima berkat dari Tuhan secara berlimpah. Mari sekarang kita melihat secara lebih jelas proses perkembangan dari dosa.
Quote:
Bagaimana proses Dosa berkembang?
Pernah saya tidak mengindahkan sakit gigi, karena kadang muncul dan kadang hilang. Namun lama-kelamaan sakitnya bertambah parah, sehingga harus dilakukan operasi. Nah, proses dari dosa sama seperti contoh di atas, mulai dari hal kecil, dipupuk terus-menerus sehingga menjadi besar dan sulit diatasi. Mari kita melihat perkembangan dari dosa: [6]
Quote:
Jadi apakah Sakramen Pengakuan Dosa? Selama tinggal di Amerika, saya melihat bahwa orang Amerika begitu memperhatikan kesehatan jasmani. Mereka berdiet, berolahraga secara teratur. Bahkan yang sudah tuapun tidak mau ketinggalan, mereka aktif berolahraga dengan berenang, jalan kaki, dll. Semuanya dilakukan dengan teratur, demi satu tujuan, yaitu agar badan mereka sehat, mungkin ada yang mempunyai tujuan lain agar bentuk lahiriah mereka lebih indah. Data di Amerika menunjukkan bahwa mereka menggunakan 6% dari uang mereka untuk kesehatan jasmani, seperti olahraga, ikut fitness club, dll.[7] Saya tidak tahu data di Indonesia, namun mungkin datanya hampir sama dengan di Amerika, bahwa begitu banyak orang menggunakan uangnya untuk kesehatan jasmani. Semua orang begitu peka terhadap kesehatan jasmani dan keindahan tubuh. Namun pertanyaannya adalah mengapa terhadap kesehatan rohani, kita sering kurang peka bahkan kadang kita sering mengacuhkannya? Mungkin kita akan lebih peka terhadap sesuatu yang dapat kita raba dan lihat. Namun kalau kita pikir, kesehatan rohani jauh lebih penting daripada kesehatan jasmani. Ini dapat dibuktikan bahwa Yesus datang ke dunia ini bukan untuk menyembuhkan semua penyakit jasmani, namun Dia datang untuk menyembuhkan penyakit rohani, yaitu dosa. Nah, dosa adalah suatu penyakit yang begitu berbahaya. Salah satu penyembuhannya adalah dengan menerima sakramen pengakuan dosa. Di dalam Sakramen Pembaptisan, dosa asal dan seluruh dosa yang kita lakukan sebelum kita dibaptis dihapuskan. Namun sebagai manusia, kita dapat jatuh lagi ke dalam dosa setelah pembaptisan, bahkan kita dapat jatuh ke dalam dosa yang berat. Dosa berat yang kita lakukan setelah Pembaptisan hanya dapat diampuni dengan menerima Sakramen Tobat (KGK, 1423) atau Sakramen Pengakuan Dosa (KGK, 1424), atau Sakramen Pengampunan Dosa (KGK, 1424). Di dalam Sakramen inilah, kita juga bertemu dengan Dokter dari segala dokter, yaitu Yesus sendiri yang hadir di dalam diri imam/pastor. Untuk bertemu dengan Yesus di dalam Sakramen Pengampunan, diperlukan kerendahan hati dan penyesalan, sehingga Yesus sendiri akan memulihkan dan menyembuhkan hati kita. Namun demikian, masih banyak orang yang meragukan tentang Sakramen Tobat yang dapat memberikan kesehatan rohani bagi kita. Silakan membaca bagian-2, yaitu jawaban terhadap keberatan-keberatan tentang Sakramen ini ditinjau dari Alkitab, Bapa Gereja, dan penerapan sakramen ini dalam sejarah Gereja.
Quote:
CATATAN KAKI:
__________________
ﷲ ☯ ✡ ☨ ✞ ✝ ☮ ☥ ☦ ☧ ☩ ☪ ☫ ☬ ☭ ✌
Last edited by vals; 30th January 2012 at 12:22 PM. |
#2
|
||||
|
||||
![]()
Sakramen Pengakuan Dosa telah membahas apa itu dosa, perbedaan dosa, konsekuensi dosa, dan juga tahapan dosa, sehingga kita dapat melihat bahwa Tuhan benar-benar merencanakan Gereja-Nya untuk diberiNya kuasa mengampuni dosa. Namun sayangnya tidak semua orang percaya akan hal ini. Lebih sayang lagi kalau umat Katolik yang diberi berkat yang indah ini tidak menyadari manfaatnya dan menggunakannya.
Mari sekarang kita melihat beberapa keberatan yang diajukan tentang Sakramen Pengakuan Dosa, terutama dari umat Kristen, non-katolik. Mereka mungkin akan mengajukan keberatan-keberatan yang bersumber dari Alkitab, seperti berikut ini:
Quote:
Keberatan 1: Mengaku dosa hanya kepada Tuhan saja, bukan kepada manusia.
Keberatan pertama ini mengatakan bahwa hanya kepada Tuhan sajalah kita mengakukan dosa kita (Mzm 32:5; Neh 1:4-11; Dan 9:3-19; Ez 9:5-10; Ez 10:11), karena hanya Tuhan saja yang dapat mengampuni dosa (Yes 43:25). Dengan dasar inilah, orang Kristen mengatakan bahwa seharusnya mengakukan dosa secara langsung kepada Tuhan dan tidak perlu untuk mengaku dosa di depan pastor. Mari kita melihat bahwa sebenarnya, ada suatu kesinambungan dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yaitu bahwa Tuhan menggunakan perantara untuk mengampuni dosa seseorang. Pada masa Perjanjian Lama, kalau seseorang melakukan kesalahan, maka dia harus membawa korban tebusan dan seorang imam harus mengadakan perdamaian bagi orang itu dengan Tuhan, sehingga pendosa tersebut dapat memperoleh pengampunan (Im 19:20-22). Musa menjadi perantara antara bangsa Israel yang telah berbuat dosa dengan Tuhan (Kel 32:20). Pertanyaannya, kenapa mereka tidak minta ampun saja kepada Tuhan, namun harus melalui imam dan juga nabi Musa? Bukankah mereka juga bisa minta ampun kepada Tuhan secara langsung? Hal ini disebabkan karena Tuhan seringkali memakai perantara, baik nabi maupun imam untuk menjembatani manusia dengan Tuhan. Yang penting adalah para perantara tersebut benar-benar membawa umat kepada Tuhan. Namun mungkin ada yang mengatakan bahwa konsep perantara hanya terjadi di Perjanjian Lama, sedang di Perjanjian Baru tidak ada perantara lagi, karena Yesus adalah perantara satu-satunya antara manusia dengan Tuhan (Lih 1 Tim 2:5; Ibr 3:1; Ibr 7:22-27; Ibr 9:15; Ibr 12:24). Mari sekarang kita melihat bukti bahwa Tuhan juga memakai perantara di dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru, Yesus tidak pernah melarang perantara sejauh perantara tersebut berpartisipasi dalam karya keselamatan Yesus. Pada saat Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta, Yesus menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri mereka kepada para imam (Luk 17:12-14) agar para imam dapat menyatakan mereka tahir. Rasul Petrus juga mengajarkan tentang partisipasi dalam karya keselamatan Tuhan, yaitu setiap dari kita menjadi batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi imamat kudus (1 Pet 2:5). Lebih lanjut Rasul Petrus menegaskan bahwa semua umat Allah adalah bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, kepunyaan Allah sendiri (1 Pet 2:9). Pemilihan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan untuk mendatangkan keselamatan pada bangsa-bangsa lain membuktikan bahwa Tuhan menggunakan ‘perantara’ untuk melaksanakan rencana-Nya. Dalam konteks 1 Pet 2:9, kita melihat bahwa rasul Petrus merujuk kepada Kel 19:5-6, yang menyatakan bahwa Tuhan memerintahkan Musa untuk memberitahukan kepada seluruh umat Israel, bahwa kalau mereka berpegang pada perintah Tuhan, mereka akan menjadi umat kesayangan, kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Disamping mengangkat Israel sebagai kerajaan imam, Perjanjian Lama juga mengatakan bahwa suku Lewi dipersiapkan secara khusus sebagai imam (Bil 3:5-13). Apakah kedua ayat di atas bertentangan? Tidak, sebab secara umum memang bangsa Israel dipersiapkan Tuhan menjadi imam dan bangsa yang kudus, namun secara khusus, Tuhan juga menunjuk suku Lewi untuk menjadi imam dan menjalankan tugas yang berhubungan dengan korban dan persembahan. Suku Lewi yang ditunjuk secara khusus oleh Tuhan untuk menjadi imam (imamat jabatan) melayani umat yang lain atau imam secara umum (imamat bersama). Hal yang sama dapat diterapkan di dalam ajaran Gereja Katolik. Gereja Katolik mengenal adanya dua imamat: (1) Imamat jabatan dan (2) imamat bersama. Dimana imamat jabatan melayani imamat bersama.[1] Kita juga melihat bahwa rasul Paulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa dia adalah utusan Kristus, dan dengan mendengarkan Rasul Paulus, maka sama saja mereka mendengarkan Kristus, karena Allah menasihati mereka dengan perantaraan para rasul (2 Kor 5:17-21). Rasul Yakobus mengatakan bahwa kita harus saling mendoakan dan mengakukan dosa (Yak 5:16). Dengan ini, maka dapat disimpulkan bahwa mengaku dosa bukan hanya kepada Allah, namun juga melalui perantara yang ditunjuk oleh Allah, seperti Rasul Paulus, Rasul Yakobus, dll.
Quote:
Keberatan 2: Hanya Yesus yang dapat mendamaikan kita dengan Tuhan, bukan manusia.
Hanya Yesus sendiri yang dapat mendamaikan kita dengan Tuhan atas segala dosa-dosa yang dibuat oleh umat manusia (1 Yoh 2:2; 1 Tim 2:5). Karena hanya ada satu Imam yang benar, yaitu Yesus Kristus (Ibr 3:1; Ibr 7:22-27). Imam atau pastor di Gereja Katolik tidak dapat menggantikan Yesus, satu-satunya Imam besar dan benar. Namun, sebenarnya, Yesus sendiri yang memberikan kuasa kepada Gereja yang dilaksakan oleh para imam. Mari sekarang kita melihat apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri sebelum Dia naik ke Surga di dalam Yohanes 20:21-23 yang menjadi dasar untuk Sakramen Pengampunan Dosa.[2] 21) Maka kata Yesus sekali lagi: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” 22)Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. 23)Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Dari ayat ini, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
Kalau kita baca secara lebih teliti, kita tidak dapat menghindari konsekuensi logis dari ayat 21, yang menyatakan relasi antara Allah Bapa dan Allah Putera dan pengutusan para murid, kemudian dilanjutkan dengan Allah Roh Kudus yang terus berkarya di dunia ini membantu para murid untuk menjalankan misi pengampunan dosa (ayat 22). Kemudian diperjelas dengan perintah yang sangat spesifik, yaitu mengampuni atau tidak mengampuni dosa. Dan karena tugas para murid kemudian diteruskan oleh para uskup dan termasuk pembantu uskup, yaitu para pastor, maka kuasa mengampuni dosa yang diberikan oleh Yesus tidak hanya ‘berhenti’ pada para rasul, melainkan diteruskan juga kepada para uskup dan para imam (ayat 23). Hal ini berkaitan erat dengan amanat yang diberikan Yesus kepada para murid sebelum Ia naik ke surga, yaitu agar para murid pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya dan membaptis mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus … (Mat 28:18-20). Kita tidak dapat mengatakan bahwa ini hanya berlaku untuk para rasul dan murid-murid perdana, namun kita menyimpulkan bahwa amanat agung ini tetap berlaku sampai sekarang. Demikian juga dengan perintah untuk mengampuni dosa. Perintah ini tetap berlaku sampai sekarang, yaitu bahwa para imam Gereja Katolik diberikan kuasa oleh Yesus sendiri untuk mengampuni dosa. Pertanyaannya, bagaimana para uskup dan imam dapat mengampuni dosa kalau mereka tidak mendengarnya terlebih dahulu? Tentu umat harus terlebih dahulu mengakukan dosanya, dan kemudian para imam dengan hak yang diberikan Yesus melalui Gereja-Nya membuat pertimbangan untuk memberikan pengampunan atau tidak. Hal inilah yang terjadi di dalam Sakramen Pengampunan Dosa.
__________________
ﷲ ☯ ✡ ☨ ✞ ✝ ☮ ☥ ☦ ☧ ☩ ☪ ☫ ☬ ☭ ✌
Last edited by vals; 30th January 2012 at 12:20 PM. |
#3
|
||||
|
||||
![]()
mungkin kl menurut ane sistem nya
bisa sedikit dirubah ![]() |
#4
|
||||
|
||||
![]()
sistem apa nih ndan?
![]() |
#5
|
||||
|
||||
![]()
Bukti Sakramen Pengakuan Dosa dari Bapa Gereja
Pembuktian di atas dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memperlihatkan kepada kita bahwa ada suatu konsistensi dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, bahkan terus berlanjut sampai saat ini. Mari kita lihat bagaimana para Bapa Gereja pada abad awal menerapkan Sakramen Pengakuan Dosa, yang juga membuktikan bahwa Sakramen ini bukanlah karangan Gereja Katolik, namun berdasarkan Alkitab dan Tradisi suci yang terus berkembang secara konsisten, yang diturunkan sejak dari jaman para rasul.
Di samping para Bapa Gereja, para pendiri gereja Protestan- pun mengajarkan Pengakuan dosa kepada seorang ‘confessor‘, seperti yang diutarakan oleh Martin Luther:
Perkembangan Sakramen Pengakuan Dosa dalam sejarah Gereja Pada masa awal, dosa-dosa berat yang dilakukan umat yang telah dibaptis, hanya dapat diampuni setelah mereka disatukan kembali ke dalam Gereja melalui uskup. Beberapa ajaran yang bertentangan dengan Gereja Katolik mengatakan bahwa dosa-dosa yang berat dan serius, seperti: perzinahan, kemurtadan, dan pembunuhan tidak dapat diampuni. Namun, Gereja Katolik melalui Konsili of Nicea (325) menolak hal tersebut dan mengatakan bahwa Yesus mengajarkan untuk mengampuni semua pendosa. Pada tahap ini, Sakramen Pengakuan Dosa hanya dipraktekkan untuk mengampuni dosa-dosa yang berat, dan biasanya dilakukan secara terbuka di depan seluruh umat dan juga uskup.[8] Kemudian uskup akan memberikan penitensi atau silih dosa, yang kemudian pada hari Paskah mereka yang telah menjalani penitensi diterima kembali dalam komunitas. Pada abad ke-6, para biarawan dari Irlandia mulai menerapkan pengakuan dosa untuk dosa-dosa yang tidak berat dan juga dilakukan secara pribadi bukan umum. Dan kemudian penitensi juga diperingan. Pada abad ke-12, dicapai suatu rumusan yang baku yang direrapkan sampai sekarang. Dimana Sakramen Pengakuan Dosa terdiri dari empat bagian: 1) penyesalan atau “contrition” (dukacita dan konversi), 2) pengakuan dosa kepada pastor, 3) penitensi atau “satisfaction” (melakukan penitensi sebagai konsekuensi dari dosa yang dilakukan), 4) pengampunan atau “absolution” (pengampunan dari Tuhan, yang dilakukan melalui pastor). Pada abad ke-16, gerakan Protestantism mempertanyakan keabsahan dari Sakramen Pengakuan Dosa. Sebagai jawaban, Konsili Trente (1551) mendefinisikan keabsahan dari Sakramen Pengakuan Dosa, yang terdiri dari empat hal diatas: contrition, confession, satisfaction, dan absolution.[9] Roman Catechism (1566) mendefinisikan secara jelas tentang essensi dan ritual dari sakramen ini. Pada abad ke-20, Konsili Vatican II (1962-1965) dan Katekismus Gereja Katolik (1986-1992)[x] menegaskan kembali keempat komponen dari Sakramen Pengakuan Dosa, namun dengan mengadakan pendekatan yang lebih bersifat “pastoral“. Penggunaan ayat-ayat kitab suci ditambahkan, diberikan kesempatan untuk mengaku dosa berhadapan muka dengan pastor atau dibatasi oleh penyekat, sehingga pastor tidak mengenal siapa orang yang mengaku dosa. Juga diijinkan untuk mengadakan ibadah tobat secara bersama-sama, yang kemudian disusul dengan pengakuan dosa secara pribadi. Alternatif yang lain, dalam kondisi yang benar-benar terpaksa, seperti dalam perang, kecelakaan fatal, dll, dapat diberikan pengampunan secara bersama-sama. Perkembangan organik dari Sakramen Pengampunan Dosa Setelah kita melihat pembuktian dari Alkitab, Bapa Gereja, dan juga penerapan dan perkembangan doktrin Sakramen Pengakuan Dosa, kita dapat menyimpulkan bahwa Sakramen ini bukanlah karangan Gereja Katolik semata, namun sungguh-sungguh bersumber kepada Yesus. Dan kalau dilihat perkembangan dari doktrin ini hanya semata-mata untuk membuatnya menjadi lebih jelas. Perkembangan doktrin seperti ini adalah disebut “perkembangan organik“, seperti yang dituturkan oleh Cardinal John Henry Newman dalam bukunya “The Development of Christian Doctrine“.[11] Perkembangan organik adalah tanda bahwa doktrin ini berkembang secara murni dan tidak dibuat-buat atau merupakan karangan gereja. Ini bukanlah sesuatu yang tadinya tidak ada, baru setelah ribuan tahun menjadi ada. Yang perlu dipertanyakan adalah, kalau dari tadinya ada – seperti yang telah ditunjukkan oleh bukti-bukti diatas – kenapa tiba-tiba setelah jaman Martin Luther dan juga penerusnya menjadi tidak ada? Untuk mengatakan bahwa sakramen ini hanya merupakan karangan belaka, orang tersebut harus berani juga berkata bahwa dia lebih pandai dalam menafsirkan apa yang dikatakan oleh Yesus dan para rasul daripada jemaat Kristen abad awal, para Bapa Gereja, juga Martin Luther, dan semua konsili para uskup. Panggilan untuk kembali mempercayai Sakramen Pengakuan Dosa Dengan semua bukti di atas, sungguh sangat sulit untuk menyangkal bahwa Yesus sendiri yang menginstitusikan Sakramen Pengakuan Dosa. Kalau Yesus yang menginginkan agar Sakramen ini dapat dipergunakan untuk membantu umat-Nya menjadi kudus, maka sebagai umat-Nya, kita hanya dapat mensyukuri dan berterimakasih atas berkat yang begitu ajaib. Kalau kita pikir, malaikatpun tidak mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa, namun Yesus sudah memberikan kuasa-Nya kepada Gereja yang dilaksanakan oleh para imam untuk mengampuni dosa, demi maksud pengudusan umat Allah. Sebagai umat Katolik, kita harus mensyukuri berkat yang begitu indah ini. Dan kita dipanggil bukan hanya untuk mensyukuri, namun juga menggunakan Sakramen Pengakuan Dosa untuk membantu kita hidup kudus.
__________________
ﷲ ☯ ✡ ☨ ✞ ✝ ☮ ☥ ☦ ☧ ☩ ☪ ☫ ☬ ☭ ✌
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|