FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]()
Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami.
Menurut Lailatul Mardhiyah, S.H. dalam tulisannya, menyebutkan bahwa kasus-kasus poligami yang kebanyakan terjadi saat ini jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali. Walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya Lailatul Mardhiyah mengatakan bahwa poligami sendiri berarti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. (Dikutip dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974). Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Sehingga dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum, tentu akan beramai-ramai melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian hari. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama (Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu. Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 UU Perkawinan No 1/1974 dan PP No 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam PP No 10/1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perkawinan poligami dimasyarakat lebih sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang istri atau seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri, sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan lebih dari seorang laki-laki. Hikmah perkawinan poliandri dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin kepastian hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Menurut hukum waris Islam seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih janin dalam kandungan. Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri ini didalam Undang-Undang Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat 1 yang menentukan bahwa pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, larangan ini bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang ditentukan untuk kawin dengan lebih dari seorang suami. Untuk kasus poligami untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Untuk keterangan lebih kongkrit silakan klik www.information-for-anything.blogspot.com |
![]() |
|
|