Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Religion > Buddha

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 18th November 2010
Buddha Buddha is offline
Ceriwis Lover
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 1,075
Rep Power: 16
Buddha mempunyai hidup yang Normal
Default Abhidhamma

ABHIDHAMMA PITAKA

(Sabda Luhur Sang Buddha)


oleh : Selamat Rodjali




I. Pendahuluan

Ajaran-ajaran Sang Buddha, yang terdapat di dalam Kitab Suci umat Buddha yang terlengkap dan diakui oleh seluruh umat Buddha di dunia, terdiri dari Vinaya Pitaka (1/4 bagian), Sutta Pitaka (1/4 bagian) dan Abhidhamma Pitaka (1/2 bagian). Ketiga bagian Kitab Suci (Tipitaka) ini merupakan sumber inspirasi dan dorongan untuk praktik, yang mengarah ke penghancuran pandangan keliru dan kekotoran-kekotoran batin lainnya.

Di dalam ketiga bagian Tipitaka ini, kita diajarkan tentang `Dhamma' tentang segala sesuatu yang nyata. Melihat adalah Dhamma, hal yang nyata. Warna adalah Dhamma, hal yang nyata juga. Merasakan adalah Dhamma, hal yang nyata. Kekotoran batin kita adalah Dhamma, mereka merupakan kenyataan.

Ketika Sang Buddha merealisasi penerangan sempurna, Beliau dengan jelas memahami Dhamma sebagaimana kenyataannya. Beliau mengajarkan Dhamma kepada kita agar kita juga memahami kenyataan sebagaimana kenyataannya.

Vinaya mengandung tata tertib bagi para bhikkhu untuk menjalani kehidupan sempurna sebagai samana. Gol dari kehidupan sebagai samana adalah penghancuran total semua kekotoran batin. Pembahasan Vinaya memakan seperempat dari keseluruhan Tipitaka.

Tidak hanya para bhikkhu, namun juga para perumah tangga seyogyanya mempelajari vinaya. Kita membaca tentang contoh-contoh para bhikkhu yang merosot dari kehidupan murninya, kemudian Sang Buddha menetapkan tata tertib untuk menolong mereka agar lebih waspada. Ketika kita membaca Vinaya, kita diingatkan akan lobha, dosa, dan moha kita, mereka adalah kenyataan yang dialami di dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam Sutta, Dhamma dijelaskan kepada orang yang berbeda di tempat yang berbeda. Sang Buddha mengajarkan tentang semua kenyataan yang hadir melalui enam pintu indera, mengenai sebab dan akibat, mengenai praktik menuju akhir dari semua dukkha. Pembahasan Sutta memakan seperempat dari keseluruhan Tipitaka.

Abhidhamma, merupakan pembabaran semua kenyataan secara rinci. Kata `Abhi' secara literal berarti `lebih luhur', oleh karena itu `Abhidhamma' berarti `Dhamma yang lebih luhur.' Metode penyampaian kenyataan dari bagian Tipitaka ini berbeda dengan bagian lainnya, namun tujuan dan maksudnya sama, yaitu menghancurkan pandangan keliru dan secara bertahap menghancurkan semua kekotoran batin. Oleh karena itu, ketika kita mempelajari banyak deskripsi tentang kenyataan, kita seyogyanya tidak terlupa akan tujuan pokok dari pelajaran tersebut. Teori (pariyatti) seyogyanya mendorong kita untuk berlatih (patipatti) yang dibutuhkan untuk merealisasi kesunyataan (pativedha). Pembahasan Abhidhamma memakan separuh dari isi keseluruhan Tipitaka.

Pemaparan di dalam artikel bersambung ini merupakan awal mempelajari Abhidhamma. Penulis berharap agar para pembaca, tidak merasa bosan atas pemaparan beristilah Pali yang kerap digunakan, melainkan justru akan mengembangkan ketertarikan yang meningkat terhadap kenyataan-kenyataan sehari-hari yang dialami di dalam dan di sekitar kita.


II. Pannatti Dhamma dan Paramattha Dhamma.


Pembabaran Dhamma (Dhammadesana), bila dikelompokkan, terdiri dari dua metode, yaitu vohara desana dan paramattha desana. Vohara desana, adalah pembabaran yang menitikberatkan pada kenyataan sehari-hari yang bersifat konseptual, kesepakatan yang biasanya menggunakan istilah umum, seperti orang, mobil, gunung, aku, milikku, binatang, setan, dewa. Paramattha desana, adalah pembabaran yang menitikberatkan pembahasan pada kenyataan yang sesungguhnya dari segala sesuatu di dalam kehidupan sehari-hari yang terbebas dari konseptual, kesepakatan, yang biasanya berkisar pada pembahasan tentang batin dan jasmani. Kedua jenis pembabaran di atas sebenarnya didasarkan atas pengelompokkan Dhamma yang terdiri dari dua jenis, yaitu Pannatti Dhamma dan Paramattha Dhamma .

Pannatti Dhamma adalah:

- Sebutan, nama, ungkapan, gambaran atas sesuatu; wujudnya dapat berupa kata-kata, isyarat, bentukan pikiran, tulisan dan sebagainya.

- Definisi, keterangan atas sebutan, nama, ungkapan, gambaran; wujudnya dapat berupa kumpulan kata, gabungan isyarat, bentukan pemikiran dan sebagainya.

Contoh:

- Orang merupakan satu sebutan yang disepakati atas makhluk yang terdiri dari batin dan jasmani dengan ciri-ciri sesuai kesepakatan bersama.

- Gula, merupakan sebutan bagi sesuatu yang rasanya manis apabila dikecap lidah.

- Kumpulan kata-kata yang mengilustrasikan rasa manis, misalnya bagaikan air tebu yang baru diperas.

Paramattha Dhamma adalah:

Hakekat sesungguhnya dari segala sesuatu, terdiri dari batin (nama) dan jasmani (rupa).

Contoh:

- Kesadaran sentuhan yang dialami langsung ketika mengecap masakan.

- Perasaan yang muncul langsung ketika mengalami sentuhan kecapan masakan.

Pannatti Dhamma maupun Paramattha Dhamma, keduanya nyata penggunaannya di dalam kehidupan sehari-hari, namun keduanya berbeda di dalam penggunaannya. Pannatti Dhamma digunakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antar orang /makhluk, sedangkan Paramattha Dhamma dialami langsung walaupun kata-kata, tulisan, bentukan tidak dikenal.

Bagian Tipitaka yang membahas secara terperinci Paramattha Dhamma, adalah Abhidhamma Pitaka. Dengan mempelajari Abhidhamma Pitaka, seseorang diajak untuk memandang hidup dan kehidupan ini dalam hakekat yang sesungguhnya. Pembahasan makhluk hidup, reaksinya terhadap objek, evolusi reformasi batinnya di dalam pencapaian tujuannya, serta tujuan hidup yang ideal dijelaskan dengan sangat rinci.

III. Tujuan dan manfaat mempelajari Abhidhamma.

Dengan mempelajari Abhidhamma, seseorang tidak dimaksudkan untuk berspekulasi atau berteori semata, namun lebih daripada itu, tujuan seseorang mempelajari Abhidhamma justeru untuk membantu mereka di dalam memahami:

1. Kehidupan dan dunia ini sesungguhnya.
2. Siapa kita sesungguhnya
3. Siapa di sekitar kita sesungguhnya.
4. Bagaimana dan mengapa di sekitar kita bertindak-tanduk tertentu
5. Bagaimana dan mengapa kita bereaksi terhadap sekitar kita
6. Apa tujuan hidup kita yang sesungguhnya
7. Bagaimana cara merealisasi tujuan hidup yang sesungguhnya secara alamiah

Pelajaran di dalam Abhidhamma Pitaka, seyogyanya diterjemahkan secara ber-kesinambungan di dalam tindak-tanduk kehidupan sehari-hari.

IV. Sejarah Pembabaran Abhidhamma

Kitab Atthasalini menyebutkan bahwa pada minggu keempat setelah pencerahan sempurna, ketika Sang Buddha masih menetap di sekitar pohon Bodhi, Beliau duduk di dalam sebuah rumah permata (ratanaghara) dengan arah Barat Laut. Rumah permata ini bukanlah sebuah rumah yang secara literal dibuat dari batu mulia, namun merupakan sebuah tempat Beliau merenungkan isi Abhidhamma secara keseluruhan. Beliau melakukan perenungan mulai dari isi yang nantinya tertuang dalam Dhammasangani, namun setelah menginvestigasi isi yang nantinya dituangkan ke dalam enam buku pertama, tubuhnya tidak meradiasikan cahaya gemilang. Hanya setelah merenungkan isi Abhidhamma yang nantinya tertuang di dalam kitab Patthana, merenungkan korelasi kombinasi dua puluh empat kondisi universal inilah, tubuh Beliau memancarkan enam jenis warna gemilang.

Kelompok Sarvastivada (salah satu aliran Buddhist Ortodoks juga) menyebutkan bahwa Abhidhamma merupakan karya para murid Buddha belakangan. Namun kelompok Theravada menyebutkan bahwa awal mula pembabaran Abhidhamma dilakukan oleh Sang Buddha, karena tidak hanya spirit Abhidhamma, tetapi juga isinya, telah direalisasi dan dibabarkan oleh Sang Buddha semasa kehidupannya, kecuali kitab Kathavatthu ditulis oleh Mogaliputta Tissa Thera.

Kelompok Theravada berkeyakinan bahwa Abhidhamma dibabarkan oleh Sang Buddha, pertama kali dibabarkan bukan kepada manusia, namun kepada para dewa yang hadir di surga Tavatimsa. Menurut tradisi ini, pada vassa ketujuh Sang Buddha pergi ke Surga Tavatimsa, duduk di batu Pandukambala di bawah pohon Paricchattaka, selama tiga bulan vassa tersebut Beliau mengajarkan Abhidhamma kepada para deva yang hadir dari sepuluh ribu sistem dunia. Beliau menujukan pembabaran tersebut terutama kepada ibundanya Devi Mahamaya yang bertumimbal lahir sebagai Deva di surga Tusita. Alasan Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma di alam dewa bukan di alam manusia, karena untuk memberikan gambaran Abhidhamma secara utuh kepada pendengar yang sama dalam satu sesi pembabaran Dhamma. Pembabaran Abhidhamma secara utuh membutuhkan waktu tiga bulan berturut-turut tanpa istirahat, dan hanya para Dewa dan Brahma yang sanggup menerima pembabaran Dhamma selama itu tanpa henti, karena mereka sanggup untuk duduk berdiam diri dalam postur yang sama selama tiga bulan.

Namun demikian, setiap hari untuk memelihara tubuhnya, Sang Buddha pergi ke alam manusia melakukan pindapata di sebelah utara dari Uttarakuru. Setelah menerima dana makanan, Beliau pergi ke tepi danau Anotatta untuk makan. Y.A. Sariputta Thera, Jenderal Dhamma, menemui Beliau di sana dan menerima sebuah sinopsis(ringkasan) dari ajaran yang dibabarkan di alam dewa. Kepadanya Sang Buddha memberikan metodenya,dan berkata, "Sariputta, begitu banyak ajaran yang ditunjukkan." Demikian, pemberian metode disampaikan kepada siswa utama, yang memiliki ketajaman kebijaksanaan analisis paling tinggi, ketika sang Buddha berdiri di tepi danau dan menunjuk ke lautan dengan tangan terbuka. Kepadanya pula Sang Buddha mengajarkan ajaran di dalam beratus dan beribu metode dan menjadi sangat jelas."

Setelah mempelajari Dhamma yang diajarkan Sang Buddha itu, Y.A.Sariputta Thera kembali mengajarkannya kepada 500 orang muridnya, dan dari sinilah awal dari resensi tekstual Abhidhamma Pitaka terpancang teguh. Sariputta Thera memaparkan urutan tekstual khotbah Abhidhamma sebaik urutan di dalam Patthana. Inilah yang mungkin diyakini oleh para sekte Buddhist lain, yang menghubungkan Abhidhamma dengan Sariputta Thera, di mana di beberapa tradisi Buddhist Ortodoks dianggap sebagai pencipta khotbah Abhidhamma.

Para pembaca, perlu diketahui bahwa banyak hal di dalam bagian Sutta tercantum khotbah-khotbah Sang Buddha yang bernafaskan Abhidhamma, tentang kenyataan kehidupan sehari-hari di dalam hakekat yang sesungguh-nya. Khususnya di Indonesia ini, belum banyak Sutta yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga sebagian besar umat Buddha di Indonesia belum mengetahuinya. Bahkan di antara mereka yang telah mengetahuinya, kerap kali mengalami tantangan di dalam menyelami pengertian khotbah atau Sutta tersebut, namun bila telah dihubungkan dengan Abhidhamma, maka penyelaman akan pengertian Sutta tersebut menjadi sangat jelas dan akurat sehingga lebih kecil kemungkinan munculnya dualisme interpretasi. Di dalam Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, juga ada kisah, "..... Pada masa itu, para bhikkhu, setelah kembali dari berpindapata dan bersantap, berkumpul bersama untuk membahas Abhidhamma ."Demikian pula di dalam Vinaya Pitaka, Mahavibhanga,

Dabbamallaputta Thera-vatthu, tertulis ".. para bhikkhu yang ahli Abhidhamma tergabungkan dalam satu kelompok mengatur tempat duduk untuk mereka dengan berpikir supaya mereka dapat saling mengadakan perbincangan tentang Abhidhamma .. " Saudara pembaca, Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka merupakan tiga serangkai, saling melengkapi sehingga kitab suci umat Buddha utuh. Secara umum, karena istilah dan metode yang dikembangkan di dalam Abhidhamma lebih unik serta sistematis, maka banyak yang menganggap `lebih sulit' dipelajari, dan oleh karenanya amat masuk akal apabila di masa yang akan datang Abhidhamma yang lebih dulu akan dilupakan atau ditinggalkan oleh umat Buddha yang tidak tekun. Padahal di dalam salah satu Sutta disebutkan bahwa selama ada mereka yang membabarkan batin dan jasmani (seperti yang diuraikan di dalam Abhidhamma) serta mempelajari dan mempraktikkannya, maka Dhamma masih dapat terjaga dengan baik kelestariannya, dan dunia tidak akan kekurangan makhluk suci.

V. Tujuh kitab Abhidhamma dalam Tipitaka

Kitab Abhidhamma di dalam Tipitaka terdiri dari tujuh judul, yaitu:

1) Dhammasangani

Kitab ini merupakan pokok utama dari keseluruhan sistematika Abhidhamma. Kata Dhammasangani ini dapat diterjemahkan sebagai "Pemaparan Fenomena." Pemaparan fenomena merupakan katalog lengkap dari semua kenyataan ditinjau dalam hakekat yang sesungguhnya. Buku ini dimulai dengan matika (matriks), ringkasan kategori, yang menyajikan outline keseluruhan istilah teknis kesunyataan yang dibahas dalam Abhidhamma, di mana naskah ini terdiri dari empat bab, yaitu Pemaparan Kesadaran, yang memakan separuh isi buku, membahas analisa kelompok tiga pertama dari matika (Tika-matika), yaitu kusala, akusala dan abyakata. Untuk mendukung analisa ini, naskah tersebut memaparkan 121 jenis kesadaran yang dikelompokkan berdasarkan kualitas moral. Setiap tipe kesadaran diuraikan ke dalam faktor-faktor batin pembentuknya (cetasika), yang dideskripsikan tersendiri secara penuh. Bab kedua, "Pemaparan Materi", melanjutkan pemaparan Abyakata Dhamma secara moral dengan menyebutkan dan mengelompokkan tipe-tipe fenomena materi yang berbeda. Bab ketiga, disebut sebagai "Ringkasan", menyajikan penjelasan konsisten dari semua istilah di dalam matriks Abhidhamma dan matriks Sutta. Bab terakhir, sebuah ringkasan kesimpulan "Sinopsis" yang menyajikan penjelasan yang lebih sederhana atau ringkas dari matriks Abhidhamma tanpa matriks Sutta.

2) Vibhanga

"Buku tentang Analisa" terdiri dari 18 bab, tiap bab merupakan disertasi tersendiri, meliputi: kelompok perpaduan (Khandha), landasan indera (Ayatana), unsur (Dhatu), kesunyataan (sacca), perlengkapan (Indriya), sebab-musabab yang saling terkait (Paticca Samuppada), landasan perhatian murni (Satipatthana), daya-upaya sempurna (Samapaddhana), Iddhipada, factor pencerahan sempurna (Bojjhanga), jalan berunsur delapan (Magga 8), jhana, keadaan tanpa batas (Appamanna), tata tertib latihan, pengetahuan analitis (Patisambhida), jenis-jenis pengetahuan, kelompok minor (kelompok bernomor perihal kekotoran batin), dan `jantung ajaran' (Dhammahadaya), sebuah topografi psiko-kosmik dari alam semesta Buddhist. Sebagian besar bab-bab di dalam Vibhanga, walaupun tidak semuanya, melibatkan tiga sub-seksi, yaitu sebuah analisa menurut metodologi Sutta; sebuah analisa menurut metodologi Abhidhamma; dan sebuah seksi integrasi, yang menerapkan kategori-kategori dari matriks (matika) akan subyek yang diinvestigasi.

3) Dhatukatha

"Pembabaran tentang Unsur", ditulis seluruhnya di dalam bentuk katekismus. Buku ini mendiskusikan semua fenomena dengan referensi terhadap tiga kelompok, yaitu perpaduan (khandha), landasan indera (ayatana) dan unsur-unsur (dhatu), mencari apakah, dan atas hal apa, fenomena-fenomena itu termasuk ataukah tidak termasuk di dalamnya, dan apakah fenomena-fenomena berhubungan dengannya atau tidak berhubungan dengannya.

4) Puggalapannatti

"Konsep tentang individu", merupakan satu-satunya buku Abhidhamma yang lebih condong ke arah metode Sutta dibanding- kan ke arah metode Abhidhamma. Buku ini dimulai dari pemaparan tentang tipe-tipe konsep, dan menganjurkan bahwa hal ini merupakan kenyataan konseptual murni di luar hakekat sesungguhnya yang diterapkan secara strict di dalam metode Abhidhamma. Sebagian besar isi buku menyajikan definisi formal dari perbedaan tipe-tipe individu; terdiri dari 10 bab, dimulai bab pertama tentang satu tipe individu, bab kedua tentang pasangan, bab ketiga tentang kelompok tiga, dan seterusnya.

5) Kathavatthu

"Pokok-Pokok Kontroversi", merupakan sebuah uraian polemik yang ditulis oleh Y.A.Moggaliputta Tissa Thera. Beliau disebutkan telah mengkompilasinya selama masa pemerintahan Asoka, 218 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana, dengan maksud untuk mengcounter pandangan-pandangan dari sekte-sekte Buddhist Ortodoks yang bertentangan dengan kelompok Theravada. Di dalam kitab komentar disebutkan bahwa Mogaliputta Tissa Thera mengisi pokok-pokok outline yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha yang telah memperkirakan akan terjadinya penyimpangan-penyimpangan atas ajaran Beliau.

6) Yamaka

"Buku tentang Pasangan", memiliki tujuan untuk mengatasi dualisme (ambiguities) dan mendefinisikan penggunaan yang akurat atas istilah-istilah teknis. Perlakuan pembahasannya berpasangan antara sebuah pertanyaan dan formulasi kebalikannya. Sebagai contoh, pasangan pertama pertanyaan di dalam bab pertama, seperti demikian: "Apakah semua fenomena baik (kusala Dhamma) adalah akar yang baik (kusala hetu)? Dan apakah semua akar yang baik (kusala hetu) adalah fenomena yang baik (kusala Dhamma)?" Buku ini terdiri dari sepuluh bab, yaitu bab tentang akar (hetu), bab tentang perpaduan (khandha), tentang landasan indera (ayatana), tentang unsur (dhatu), tentang kesunyataan (sacca), tentang formasi, disposisi laten, kesadaran, fenomena dan indriya.

7) Patthana

"Buku tentang Hubungan Kondisi" merupakan buku yang terpenting di dalam Abhidhamma Pitaka dan secara tradisional disebut sebagai `uraian luhur' (Mahapakarana). Isinya sangat banyak baik volume maupun sarinya; terdiri dari lima volume besar. Tujuan dari Patthana adalah untuk menerapkan 24 jenis hubungan kondisi terhadap semua fenomena yang dipaparkan di dalam matriks Abhidhamma. Tubuh utama buku ini terbagi dalam empat bagian besar, yaitu: kemunculan menurut metode positif, menurut metode negatif, menurut metode positif-negatif, dan menurut meyode negative-positif. Tiap bagian besar itu dibagi lagi ke dalam enam sub bagian yang lebih rinci, yaitu: kemunculan dari kelompok tiga, dari kelompok dua, dari kelompok dua dan kelompok tiga berkombinasi, dari kelompok tiga dan kelompok dua berkombinasi, dari kelompok tiga dan kelompok tiga berkombinasi, dan dari kelompok dua dan kelompok dua berkombinasi. Di dalam pola kedua puluh empat bagian yang rinci ini, dua puluh empat model kondisional (24 paccaya) diterapkan secara berurutan terhadap semua fenomena dalam semua kemungkinan permutasinya secara rinci.

Di luar daripada penilaian yang menganggap buku ini berisi format permutasi kombinasi yang kering, Patthana merupakan satu buah hasil pemikiran, pemahaman dan kebijaksanaan manusia terhadap hakekat sesungguhnya segala sesuatu yang sungguh dahsyat dan monumental, dengan visi yang sangat menakjubkan, kemantapan yang sangat konsisten, dan ketajaman perhatian yang rinci. Di dalam tradisi Theravada disebutkan bahwa hanya Sang Buddha yang dapat membabarkannya secara sempurna, dan dengan meninjau Patthana akan membuktikan bahwa Sang Buddha sungguh sempurna dan tak tertandingi pengetahuan-Nya.

Kita telah mengetahui pembagian kitab-kitab di dalam Abhidhmma Pitaka, serta manfaat dan tujuan mempelajari Abhidhamma, dan sejarah pembabaran Abhidhamma oleh Sang Buddha. Untuk mempelajari Abhidhamma secara mendetail maka kita harus mengetahui hakekat sesungguhnya kehidupan kita. Hal ini erat kaitannya dengan pembahasan Citta (Pikiran) dan Cetasika (Bentuk-bentuk pikiran). Bagaimana kita dapat mengerti sepenuhnya hakekat dari pembahasan Abhidhamma ini, untuk itu kita harus mengetahui apakah Citta dan Cetasika itu? Selain itu, kita juga harus mengetahui Fungsi Kesadaran dan Proses Pikiran, maka nantikanlah kehadiran Bapak Selamat Rodjali yang akan membimbing kita dalam mempelajari Abhidhamma di edisi berikutnya.


bersambung...




Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 05:53 AM.


no new posts