FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]() ![]() ![]() Sebelumnya, maaf dulu kalau tulisan kedepan ini terasa menabrak kiri kanan. Ide untuk menulis thread ini sendiri datang dari pengalaman pribadi. Membaca-baca thread yang ada di Forum Buddha, tanggapan-tanggapan dan lain sebagainya. Anggap saja ini artikel Dhamma, yang sepertinya thread itu yang dulu saya buat gagal untuk layak di sticky. Jadi, biar saja lepas.... Yang penting idenya sampai, sharingnya jalan, bila ada yang terjerat yah.... lumayan, kalau juga tidak ngaruh juga gak papa.... Semua disini saya yakin kebanyakan sudah pernah baca, tahu atau pernah dengar tentang perumpamaan orang buta dengan gajah. Sebuah cerita sangat inspiratif, namun sangat susah untuk mengejawantahkannya di dalam diri sendiri. Kadang kita gampang sekali meletakkan cap 'sesat', 'tidak benar', 'tidak mungkin', 'tidak masuk akal' dan 'bullshit' pada suatu wacana begitu saja. Padahal, pada kenyataannya, sebelum kita mencapkan kata-kata penolakan tersebut, sudahkah kita mencobanya? membuktikannya? meng-ehipasiko-nya? Dengan dalih-dalih dari kitab suci dan ajaran Buddha sendiri kita menolak apa yang tidak bisa kita terima. Koq kita? loe aja kali..... Yah... kita, karena saya, kamu, dia dan mereka, kenyataannya begitu. Super sengit juga melihat si Monyet Pintar di Flame menjelek-jelekkan agama Buddha. Sama seperti Bro Mercedes dan Sinthung, saya juga kalang kabut merasa perih karena penghinaan seperti itu. Namun, sekali lagi, lantas, apakah saya harus berbuat seperti dia untuk membalasnya? Kalau saya juga seperti itu pada member lain, katakanlah yang bukan sealiran dengan saya. Katakanlah yang kepercayaan dia tidak bisa diterima oleh defenisi 'benar' milik saya. katakanlah yang menurut saya 'memang sesat' atau tidak bijaksana mensharing sesuatu yang belum tentu benar... Lantas apa bedanya saya dengan dia? Keterbatasan pemahaman membuat saya jatuh lemas saat dituding bukan Buddha (jujur saja...) namun. Saya berpikir begini. Mengapa saya sampai dicap seperti itu? Kenyataannya memang kelakuan saya tidak seperti Buddha. Hanya agama saya yang Buddha. Hanya keyakinan saya yang Buddha. Hanya Buddha yang bisa membuat saya ngefans.... itu juga karena saya menolak untuk dikatakan fanatik. Perbuatan saya? Saya belum Buddha. Tapi, saya sedang berusaha untuk menjadi seperti Buddha.... Mungkin dikehidupan yang akan datang baru bisa menjadi Buddha... Mungkin bisa miliyaran tahun lagi, mungkin juga gak bisa-bisa.... Tapi, sekali lagi, semangat tetap ada, ambisi yang mungkin sudah bisa saya kesampingkan. Kemaren, pertama kali ada semacam 'pujian' dari beberapa rekan di sini. Sebagai manusia, ini membahagiakan. Bukan untuk menjadi besar kepala. Tapi memberikan kekuatan tersendiri, bahwa apa yang sudah saya lakukan agaknya bisa diterima. Itu saja. Dan, bagi yang tidak bisa menerima, belum mengerti, yang ada memang penolakan. Di Forum Religi manapun agama apa saja, ajaran merekalah yang paling benar.... karena apa? karena mereka belum mengerti ajaran yang lain.... Dengan paksaan, iming iming surga, ancaman neraka, dengan kesadaran sendiri, dengan kemauan sendiri, dengan keinginan sendiri.... bukankah itu semua hanya metode di dunia?....... Kalau kesadaran sudah datang.... iming-iming, ancaman atau paksaaan tak mungkin bisa jalan. Namun disisi lain, pada saat kesadaran sudah datang juga apakah masih ada ambisi? Keinginan, kemauan dan harapan sendiri? Akhirnya semua metode dunia juga tidak berguna. Sama dengan metode iming-iming pada pembacaan mantra. Tidak bisa dipungkiri, ini dipraktekkan dalam tradisi Mahayana. Namun kembali ke kitanya. Ingin iming-imingnya atau ingin mantranya.... atau tidak menginginkan apa-apa.... Kondisi ini terjadi juga saat pandangan Hindu masuk membahas pandangan Buddha pada Ketuhanan.... pandangan itu pandangan dunia. Tidak bisa dituliskan. Hanya sekedar buah pikiran yang menuliskan, ratusan, ribuan tahun yang lalu yang masih tersisa pada kita sampai sekarang, dalam bentuk kitab suci. yang menuntun kita.... bukan mendogma kita. Lalu pada aliran Meitreya.... sempat jadi polemik besar dulu, saat saya menuliskan 'menjewer adik sendiri' lalu berkembang menjadi 'mentaboki muka sendiri'.... Maknanya apa? makna yang ingin disampaikan adalah intropeksi. Ada thread dari Akiong tentang kekurangan/kelemahan kita.... Kenyataannya tidak banyak yang berani berbagi.... Hanya sedikit yang berani mengakui kekurangan diri sendiri, hanya sedikit yang tahu kelemahan diri sendiri. Kita kadang sombong. Kita selalu merasa lebih pintar dari orang lain. Kita bahkan tak jarang berusaha untuk tajam.... tapi yang ada justru menjadi kasar.... ini yang disebut berantem.... orang batak bilang Panggaron. Kalau yang perempuannya Parbada. Panggaron dan Parbada.... Sok Tahu dan Tukang Berantem, bagi saya itu lawan dari Hiri dan Otapa.... Malu dan Takut. Satu lagi kenyataan.... belajar dhamma bisa dimana saja.... Bukan berarti kalau tidak ada source kitab sucinya maka menjadi 'tidak benar', 'tidak mungkin', 'salah', 'sesat' atau 'bullshit'. Seperti kata Sang Buddha, yang diajarkan hanya sebanyak daun telapak ditangan, bila dibandingkan dengan jumlah daun dalam hutan. Yang dalam genggaman tangan itu sendiri tidak bisa kita pahami. Karena tercecer dalam Mahayana, dalam Theravada dan Tantrayana.... lalu bagaimana dengan yang didalam hutan? Melihat ke dalam, bukan memeriksa keluar.... sudah ratusan postingan Bro Sinthung yang baik yang mengajarkan hal tersebut. Namun ternyata tidak semua sanggup membacanya. Sampai Forum Buddha bergejolak lagi.... yang kita nasbihkan sebagai hal yang biasa. Karena mengkritik ajaran sendiri lebih baik dari pada mengkritik ajaran orang lain. Kembali lagi, melihat kedalam, bukan memeriksa keluar. Bukan Salah atau Tidak Mungkin, Kadang kita yang belum Mengerti. |
![]() |
|
|