Dark Side Pornography
[/quote][quote]
Menjadi bintang porno mungkin terlihat menyenangkan. Menjadi sorotan, menjadi idola dan memiliki banyak uang. Dan pekerjaan yang digeluti pun cukup mudah, cukup bertelanjang dan having sex with partner maupun beberapa partner sekaligus. Lalu pernahkan anda terpikir bagaimana para model porno tersebut di kehidupan nyata. Apakah mereka juga berlalu bebas seperti yang ditunjukkan dalan tiap adegan dan film yang mereka perankan?
Bicara mengenai �Sex Industry� memang tak akan ada habisnya yang dikarenakan pula oleh factor permintaan (dari konsumen) para penikmat konten-konten dewasa. Dan penulis bilang pornografi akan tetap lestari dari waktu ke waktu. Berbicara mengenai para model sendiri ada hal yang menarik, yaitu profesionalitas total yang terkadang menantang bahaya. Dalam banyak film blue yang beredar terdapat dua versi yang mendasar �Save Sex� dan �Unprotected Sex�. Dan yang mencengangkan penulis menemui para penikmat film porno lebih menyukai kategori Sex tidak aman dengan alasan lebih natural dan more hot.
Padahal sex tidak aman sangatlah berbahaya bagi para model tentunya. Seorang produser dalam sebuah industry film biru menyatakan model-model mereka dengan nilai-nilai A, B, C, D dan seterusnya. Seorang model (pria atau wanita) dikatakan sukses dan professional apabila ia dapat melakukan adegan sex more extreme than before. Katakanlah seorang produser menginginkan seorang model untuk �double penetration� maupun �gangbang�. Dan ketika sang model berkata �I do� dan tentunya dapat melakukan adegan tersebut dengan sempurna dapat disimpulkan pekerjaan berikutnya akan segera menghampiri bahkan lebih banyak.
Dilihat dari sisi female performer. Perekrutan pada umumnya dilakukan dengan memasang iklan di website. Seorang aktris film porno biasanya direkrut ketika berusia 18 tahun. Kemudian mereka terikat kontrak dan menunggu panggilan untuk syuting. Rata-rata sebuah studio melakukan syuting lima kali dalam seminggu. Dalam empat bulan bisa dirilis ratusan judul. Ketika model tersebut sudah tidak kelihatan fresh dan rating yang terus menurun maka kontrakpun diakhiri. Kontrak berakhir biasanya setelah sembilan bulan atau setahun. Yang harus dihadapi model wanita pada umumnya adalah kerusakan vagina maupun anus yang diakibatkan oleh aksi-aksi yang semakin ekstrim (biasanya mereka melakukan vaginoplasty). Selain itu adalah kemungkinan terjangkit penyakit STD, HIV, AIDS dan lain sebagainya.
Sedangkan dari male performer. Seorang actor tidak terlalu dilihat dalam sebuah film biru heterosexual (karena wanita lebih mendominasi), namun demikian seorang actor diharuskan untuk dapat mempertahankan ereksi penis sesuai dengan panjang durasi dari film itu sendiri. Katakanlah sebuah film dengan durasi 45 menit dan dengan beberapa gaya mengharuskan seorang model untuk terus dapat menjaga ereksi (no ejaculation). Kebanyakan dari mereka menggunakan obat-obatan namun tak sedikit dari mereka yang mendapatkan efek samping seperti pusing, muntah-muntah, kehilangan pikiran dan lain sebagainya. Tentunya film tidak akan menarik ketika seorang actor lebih terlihat seperti zombie ketika melakukan sex. Dalam film biru gay, peran seorang model pria mendominasi. Dari beberapa situs penggunaan kondom menjadi suatu kewajiban ketika melakukan anal sex. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini banyak studio produksi film gay sepertinya berlomba untuk membuat video �bareback�. Padahal anal sex tanpa pengaman adalah sesuatu yang berbahaya bagi model-model tersebut.
Dari beberapa keterangan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya �sex industry� tidak lebih penjabaran lain dari praktek prostisusi. Walaupun di beberapa negara melegalkan pembuatan film porno, tetapi bila di lihat dari sisi performer adalah sebuah kerugian. Dari nilai uang yang diterima sebenarnya tidak sebanding dengan resiko yang harus dihadapi. Umumnya model-model porno tersebut terkena penyakit (STD, HIV, AIDS), mati muda, depresi, ketergantungan obat, kerusakan organ reproduksi, dan lain sebaginya.
|