Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Lounge

Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 27th May 2012
dkijakarta's Avatar
dkijakarta dkijakarta is offline
Ceriwis Lover
 
Join Date: May 2012
Posts: 1,802
Rep Power: 16
dkijakarta mempunyai hidup yang Normal
Default Siapkan tissu baca cerita ini...!

Maap gan..aku yakin ini repsol banget..tapi menurut saya sangat inspiratif..makannya aku coba post lagi...




[/spoiler][spoiler=open this] for Silahken gan:






Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.



Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.



"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"



Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"



Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...



Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.



Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.



Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?



Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"



Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,



"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?



Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.



Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkanrumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudahmengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarikkertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Sayaakan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."



Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis denganair mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17tahun. Aku 20tahun.



Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikkuhasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).



Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk danmemberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen danpasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimanapenampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalahadikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"



Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."



Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semuagadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."



Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.



Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telahdiganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, akumenari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."



Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.



"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti.



Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.



Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."



Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkanpekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.



Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku danaku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?



Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya sepertiini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidakmau mendengar kami sebelumnya?"



Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.



"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"



Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yangsepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"



"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahunitu, ia berusia 26 dan aku 29.



Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani daridusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itubertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpabahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."



Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkantidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusunyang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untukpergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satudari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.



Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yangbegitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku danbaik kepadanya."



Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannyakepadaku.



Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orangyang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatanyang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air matabercucuran turun dari wajahku seperti sungai.







Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"











Mr. Tai Meng













Mohon kalo berkenan minta



Reply With Quote
Reply

Thread Tools

Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 12:40 AM.


no new posts