FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
nie gan jika agan-agan suka nonton sinetron walupun menurut agan-agan sinetron itu asik,, nie ane ceritain cekidot: Mimin, pembantu rumah tangga bu Yahya itu sejatinya penggemar berat sinetron. Sang Majikan beberapa tahun lalu sempat jengkel pada Mimin lantaran Mimin sering abaikan tugas-tugas utamanya. Tapi akhir-akhir ini pada jam-jam primetime tayangan sinetron di teve, ia sering terlihat kongkow dengan sesama pembantu di depan rumah majikannya. Prilaku tak lazim ini ternyata buah kebosanan mereka terhadap sinetron. Bagi Mimin cs, sinetron makin lama menyebalkan. Fragmen di atas sekelumit tipikal penggemar sinetron. �Orang kecil� yang selama ini jadi target dan alasan para pembuat sinetron untuk terus berkarya. Terlepas komunitas Mimin cs yang cuma segelintir, bisa dikatakan para babu pun sebenarnya mulai jengah nonton sintetron. Entah apa yang ada dalam pikiran para produser, penulis naskah sinetron Indonesia itu. Dari hari ke hari mereka masih saja mereka memproduksi sinteron-sinetron, dengan tema yang sama sekali tidak memberi nilai tambah. Tidak menginspirasi. Seandainya saja boleh membedah isi kepala para pembuat sinetron itu, barangkali di sana ada jawabnya. Sebagai seorang muslim, malu menonton sinetron berjudul, Sampeyan Muslim. Malu karena banyak hal tak pantas dan tak wajar. Yang disampaikan secara vulgar dan menggurui. Itu cuma sebuah contoh dari ribuan judul sinetron yang kelasnya sama. Sampah!. Sudah lama sinetron-sinetron Indonesia menuai kritik. Tapi, kafilah budeg mendengar anjing mengonggong. Bahkan atas serangkaian kritik terhadap sinetron, para pembela dan pekerja sinetron berdalih, karena kejar tayang dsb, dsb. Sebuah alasan alias akal bulus mencari tempat berlindung dari ketidakmampuan berkreasi. Padahal jika melihat shooting pembuatan sinetron, lagak dan gaya pra crew, sutradara hingga sang produser, petantang-petenteng dengan pakain�kebanyakan� warna hitam-hitam dengan tampilan nyentrik. Bahasa tubuh mereka pun seolah isyaratkan: �kami ini kelompok ekslusif�, seniman bung! Ada lagi alasan mengapa sinetron-sinetron konyol itu masih di produksi. Konon karena memang cerita atau tema itu yang menarik dan laku dijual. Cuma dengan gaya India sinetron yang bisa diserap pasar. Lagi-lagi alasan yang dicari-cari. Mereka tak belajar pada beberapa sinetron yang �keluar� dari mainstream. Misalnya saja, Losmen, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, Si Doel dan banyak contoh lainnya. Sinetron-sinetron itu toh nyatanya mendapat sambutan masyarakat. Berhasil mendapat rating tinggi. Selain menghibur mendidik pula. Kalau mau jujur, sebenarnya bukan soal selera pasar. Selera pasar bisa diciptakan, bisa dibuat oleh para kapitalis rumah-rumah produksi. Masalahnya para kapitalis itu mau tidak sedikit berbaik hati memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Nah lantaran orientasi rumah-rumah produksi itu semata profit, maka masyarakat di strata paling dasar, macam Mimin cs itu, biasanya dijejali apa saja, hayuh aja. Karena haus hiburan dan tak ada pilihan lain. Tentang Menghina Logika Ada orang yang menunjukkan nasionalismenya secara salah. Mereka tak terima sinetron Indonesia dicerca, bagaimanapun sinetron itu produk dalam negeri. Harus dihargai, harus diapresiasi. Siapa lagi yang akan menghargai kalau bukan kita sendiri??. Weeh!!. Para pembela sinetron itu malah menuding bahwa film-film Barat lah yang sering menghina logika. Penyelamatan sandera yang tak masuk akal dalam film Speed, kisah heroik Ramboo yang membumihanguskan sebuah kota dan menaklukkan ratusan tentara bersenjata dls. Entah bagaimana menjelaskan soal ini pada pembela sinetron Indonesia, lha wong dalam membela saja sudah tidak fokus pada masalahnya. Yang dimaksud dengan menghina logika dalam sinetron Indonesia itu, beberapa contoh misalnya, Setting, adegan, angle kamera, kontinuitas (terutama mimik wajah), penghayatan peran, dialog dls yang DIGARAP SEADANYA. Terkesan tidak wajar. Tidak memperhatikan hal-hal yang wajar dan seharusnya seperti keadaan sebenarnya. Diproduksi asal jadi. Yang penting segera dibayar stasiun Teve. Teringat sebuah sinetron yang lupa judulnya. Menceritakan anak muda kaya raya yang oleh bapaknya diberi sebuah usaha restoran kelas atas. Di dapur restoran, saat dialog antara bos dan seorang karyawan dengan latar belakang dinding, dimana menggantung peralatan masak. Panci, penggorengan dan sebagainya. Alamak! betapa tak nyaman melihat pantat penggorengan dan panci-panci yang gosong, berjelaga hitam, macam penggorengan tukang tahu dipinggir jalan. Pantaskah, wajar kah sebuah restoran kelas atas mempunyai perabotan murah dan dekil pula?. Atau adegan kecelakaan yang dialami orang kaya. Ia pingsan, kepalanya bersandar pada stir, setelah mobil barunya yang mewah menabrak pohon. Mobil mewah kok tidak ada airbagnya. Inilah beberapa contoh adegan yang disebut menghina logika. Terlalu panjang untuk menguraikan semua kemalasan-kemalasan pekerja sinetron. Tidak Kreatif Karena Malas Nonton sinetron Indonesia memang tidak disarankan. Sebab di sana tak bakal dijumpai sebuah kreativitas sinematografi. Penghayatan peran. Nada-nada dialog dan ekspresi wajah sering tak sinkron. Datar seperti sedang menghafal. Penonton cuma dijejali dominasi akting mata. Biji mata lah yang selalu diclose-up. Dijadikan alat ekspresi, marah, benci, senang, sedih dan sebagainya, sembari bermonolog, seolah suara dalam hati pemain sinetron untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah bisa ditebak penonton. Belum lagi angle yang membosankan lantaran sinetron kerap diproduksi cuma dengan satu atau dua kamera. Cara para penulis naskah sinetron menyelesaikan sebuah masalah pun kebanyakan berangkat dari tabrakan, tertabrak, dan ditabrak. Dari ranjang rumah sakit ke ranjang rumah sakit lainnya. Diinfus dengan kepala diikat perban. Sinetron memang telah menjadi industri. Terlalu banyak orang yang terlibat didalamnya. Terlalu sedikit orang yang bisa diandalkan bisa berkreasi dengan baik. Rumah-rumah produksi penghasil sinetron Indonesia dikuasai oleh keluarga Punjabi. Yang tak berkomitmen pada kualitas. Tak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, kecuali membuai kelompok marjinal untuk terus bermimpi. Kalau mau jujur pekerja sinetron Indonesia, khususnya director/sutradara, DoP sebenarnya bisa kreatif, tapi lantaran mereka tak berdaya dikepung berbagai kondisi �nguber setoran� dan lain sebagainya, maka mereka sekadar jalani tugas. Biangkeroknya justru ada pada orang-orang kreatif pembuat cerita dan penulis naskah yang didominasi para pemilik rumah produksi itu sendiri. Selama orang-orang yang mendominasi itu malas mikir dan berkreasi, Sinetron Indonesia seperti panggung politik Indonesia�parlemen/pemerintah�sama-sama menyebalkan dan menghina logika. cuma gitu yang bisa ane ceritain Terkait:
|
![]() |
|
|