FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
|||
|
|||
![]() ![]() Usia : 65 tahun Profesi : Wiraswasta Domisili : Bandung, Jabar Kegiatannya : Pembauran Akulturasi Budaya Sunda - Tionghoa Soeria menjadikan sastra sebagai media harmonisasi antar warga Tionghoa - Indonesia. Soeria Disastra adalah seorang putra Tionghoa yang lahir di Bandung, 28 Mei 1943. Namun melalui sastra, Soeria mampu memperlihatkan betapa perbedaan di antara Tionghoa dan Indonesia tidak membuatnya berjarak. Bahkan, Soeria mampu memadukan harmonisasi di antara keduanya. Terlahir dengan nama Bu Ru Liang, Soeria dibesarkan di lingkungan keluarga Tionghoa. Meski begitu, bukan berarti Soeria menjadi seorang yang eksklusif. 'Eksklusifitas' yang dirasakan Soeria tak lain karena keluarganya - seperti halnya keluarga Tionghoa lain di Indonesia - merasa takut akibat hawa politik yang meminggirkan mereka sehingga kerap tidak mau menonjolkan identitas. Inklusifitas dibuktikan dengan pergaulan Soeria kecil. Ia tak merasa canggung bergaul dengan warga pribumi. "Pergaulan yang erat dengan warga pribumi membuat saya kerap menggunakan bahasa Indonesia," kata Soeria. Keakraban dengan bahasa Indonesia ini terus berlanjut karena Soeria kecil ternyata kerap melahap buku sastra Sunda atau sastra Indonesia lainnya, dan sajian kesenian asli tanah Sunda semisal wayang golek. Maka, kecakapannya berbahasa Indonesia semakin terasah, seiring juga kecintaannya yang semakin besar terhadap bahasa Tionghoa dan Bahasa Sunda. Setelah lulus SMA pada 1961, ia mengajar di sekolah menengah selama beberapa tahun, kemudian beralih profesi menjadi usahawan. Sambil berbisnis, ia belajar di Akademi Bahasa Asing, dan selanjutnya menyelesaikan program S1 Jurusan Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Bahasa Asing, Yayasan Pariwisata Indonesia, Bandung (1987). Di sela-sela itu, Soeria menuangkan pemikiran dan perasaannya ke dalam bentuk karya sastra. Prosa dan puisinya dapat dibaca di Harian Indonesia, beberapa majalah sastra dalam bahasa Tionghoa, dan beberapa buku antologi prosa dan puisi bahasa Tionghoa dan Indonesia. Soeria pun mendorong warga Tionghoa untuk aktif di Klub Pecinta Sastra Bandung. Klub ini merupakan salah satu seksi dari Perhimpunan Penulis Tionghoa Indonesia (Yin Hua). "Tujuan lembaga ini untuk menggugah apresiasi masyarakat terhadap hasil karya sastra baik di antara masyarakat Tionghoa maupun antara masyarakat Tionghoa dengan komunitas lainnya," kata sosok yang layak disebut Seniman Pemersatu ini. Selain menulis karya sastra, Soeria pun menggeluti bidang kesenian lainnya dengan mendirikan Paduan Suara Kota Kembang Bandung pada 1995. Dengan anggota sekitar 100 orang, kelompok ini terdiri dari alumni Sekolah Tionghoa Qiao Zhong (baca: Chiao Cong), tempat Soeria pernah menimba ilmu. Sekolah yang didirikan pada 1947 ini ditutup pada 1966 dalam gelombang anti-Tionghoa setelah G-30-S. "Hingga kini, kelompok ini sering diundang untuk mengisi acara-acara kesenian di Kota Bandung dan sekitarnya," ujar Soeria. Di penghujung 90, reformasi politik Indonesia yang mendorong keterbukaan turut membantu meringankan langkah Soeria. Bersama sejumlah budayawan Bandung, dia mulai berani menggelar sejumlah pertunjukkan yang memadukan kesenian Sunda dan Tionghoa. Misalnya, Soeria bertemu dengan Erwan Juhara, Ketua Umum Yayasan Jendela Seni Bandung - sebuah wadah pembinaan dan pengembangan virus seni budaya bangsa. "Kami menggelar sejumlah pertemuan penulis Sunda dan mendiskusikan rencana kegiatan pengembangan penulis Sunda dan Tionghoa," katanya. Aktivitas lainnya, misalnya, pada 17 Agustus 2001, Soeria memadukan musik tradisional Tionghoa dan Sunda dalam satu pagelaran. Kegiatan ini didukung oleh sejumlah pengusaha dan budayawan. "Pertunjukkan ini terasa begitu mengharukan karena belum pernah ada sebelumnya," kata Soeria. Menurut Soeria, dari berbagai kesempatan itu terlihat betapa warga Tionghoa memiliki keinginan yang tinggi untuk berbaur dengan warga pribumi. "Karena mereka lahir dan besar di sini, warga Tionhoa merasa bagian dari orang Sunda, merasa sebagai warga Indonesia," katanya. Selain itu, didukung oleh pengusaha Karmaka Suryaudaya, Soeria menggelar pertemuan budayawan Sunda dengan masyarakat Tionghoa. Kegiatan ini mendorong Soeria mendirikan Lembaga Kebudayaan Mekar Parahyangan pada akhir Juli 2002. Salah satu kegiatan lembaga ini adalah menggelar lomba menulis Carpon Mini Sunda (Cerita pendek mini Sunda) yang dibukukan menjadi "Ti Pulpen tepi ka Pajaratan Cinta" (2002). Soeria terus gencar menyebarkan pemikiran yang mendorong pembauran di kalangan warga Tionghoa - Indonesia. Tulisannya diramu dalam prosa dan puisi yang sebagian di antaranya sudah dibukukan dengan judul "Senja di Nusantara, Antologi Prosa dan Puisi" pada 2004. Soeria pun menerjemahkan sejumlah puisi baru Tiongkok yang dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul "Tirai Bambu" (2006). Soeria juga menerjemahkan kumpulan 65 puisi Tiongkok modern Salju dan Nyanyian Bunga Mei karya Mao Ze Dong (1893-1976) yang rencananya akan diluncurkan dalam waktu dekat. Tampaknya, memasuki usia ke-67, Soeria tak lelah menjadikan sastra sebagai media agar harmonisasi di antara warga Tionghoa - Indonesia terus terjaga. Seperti yang ditulisnya di Senja di Nusantara: "Sampai di sini kita telah mencapai suatu kesadaran, betapa pentingnya sastra bagi manusia, bagi bangsa, khususnya bagi usaha meningkatkan kualitas manusia dan bangsa Indonesia untuk mencapai toleransi, keterbukaan, kesadaran akan pluralisme, kecerdasan dan kebijaksanaan." Klik VOTE + komentarnya. |
![]() |
|
|