Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Lounge

Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 27th May 2012
bakwanmalang's Avatar
bakwanmalang bakwanmalang is offline
Senior Ceriwiser
 
Join Date: May 2012
Posts: 5,897
Rep Power: 21
bakwanmalang mempunyai hidup yang Normal
Default Info #IndonesiaTanpaJIL : "Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender ?"

Ditulis oleh DR. Adian Husaini*


[/quote][quote]







Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita � sebagai Muslim � harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut?







Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUU KKG � maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita � sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia � menolak RUU KKG ini.







Pertama, definisi �gender� dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: �Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.� (pasal 1:1)







Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.







Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma�lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.



Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya.







Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).







Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw � sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia sampai akhir zaman � adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.







Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya � dalam hal-hal yang baik � maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.







Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkimpoian pada intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.







Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkimpoian di berbagai daerah di Indonesia.







Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat � termasuk konsep gender WHO dan UNDP � harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada �trauma sejarah� penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.







Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja.







Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.







Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).







Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep �kesetaraan gender� seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini: �Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.� (pasal 1:2).



***






lanjut dibawah...



Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 12:09 AM.


no new posts