|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Selasa, 4 Januari 2011 - 22:16 wib
![]() JAKARTA � Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho memaparkan, berdasarkan hasil riset ICW antara 2001 sampai 2010, sedikitnya ada lima modus korupsi yang ditemukan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Kasus joki atau penukaran narapidana merupakan salah satu modus dalam kasus ini. �Berkaitan dengan temuan soal joki narapidana, sekedar referensi berikut adalah lima modus korupsi di penjara berdasarkan riset ICW tahun 2001 dan pemantauan yang dilakukan ICW selama ini. Joki atau stuntman merupakan salah satu modusnya,� kata Emerson di Jakarta, Selasa (4/1/2010). Modus pertama yang digunakan adalah pengunaan narapidana pengganti (stuntman) atau joki untuk menjalani hukuman. Jika negosiasi sejak penyidikan lancar, terdakwa tidak hanya absen dari sidang di pengadilan. Bahkan, lanjut dia, tempatnya di penjara jika dihukum juga bisa digantikan oleh orang lain atau stuntman. �Tentu saja, sang stuntman telah mengubah identitas sehingga secara formal identitasnya sama dengan terdakwa. Napi yang asli cukup membayar bulanan dan menjamin kebutuhan stuntman selama di penjara,� jelasnya. Modus kedua, dengan pemberian perlakukan dan fasilitas khusus selama dalam tahanan. Dengan membayar sejumlah uang, seorang napi dapat memperoleh perlakukan atau fasilitas yang berbeda dengan napi yang lain. Bahkan, napi bisa memilih ditempatkan di penjara yang disukainya. Selain itu, napi juga dapat meminta fasilitas khusus, misalnya saja sel tersendiri yang terpisah dengan napi lain, mendapatkan makan dan minuman yang bergizi, peralatan elektronik, hiburan, dan sebagainya. �Jika disepakati bahkan ruangan sel juga dapat disulap menjadi kantor sementara dari napi yang notabene juga seorang pengusaha,� terangnya. Ketiga, pemberian izin keluar dari penjara. Menurut Emerson, napi pada dasarnya memiliki hak keluar dari penjara, misalnya untuk berobat atau cuti mengunjungi keluarga. Namun prosedurnya harus ada izin yang diberikan oleh Kepala Lapas dan Kakanwil Departemen Hukum dan HAM. Hanya saja, lanjut dia, hak-hak tersebut seringkali disimpangi. �Mungkin masih ingat kasus tertangkapnya Ramadhan Rizal, terpidana korupsi dalam pesta narkoba di sebuah hotel di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada 27 Agustus 2006 lalu. Padahal seharusnya, mantan Panitera PT DKI itu mejalani hukuman di Lapas Cipinang. Modusnya dengan beralasan sakit dia menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto,� ungkapnya. Kasus serupa dapat dilihat terhadap Corby, napi dalam kasus narkotika asal Australia yang diberitakan keluar dari LP Krobokan untuk jalan-jalan. Modus yang dipakai sangat klasik, yaitu beralasan sakit yang menurut dokter dikatakan depresi. Dengan alasan itu, Corby bisa menikmati fasilitas mewah rawat inap di RS Sanglah dengan biaya kamar Rp1,2 juta per malam plus jalan-jalan. Keempat, pemberian pengurangan hukuman (remisi). Salah satu jalan cepat yang dapat digunakan oleh napi agar segera menghirup udara bebas adalah melalui pemberian remisi. Remisi merupakan salah satu hak narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Jika seorang napi berkelakukan baik selama di penjara maka yang bersangkutan dapat diberikan remisi. Pemberian remisi sangat tergantung dari penilaian subyektif kalangan petugas atau kepala penjara. Hal menjadi sangat rentan disalahgunakan dan menjadi komoditas antara oknum petugas dengan napi yang berduit. Berkelakuan baik diterjemahkan sebagai �tindakan napi memperlakukan petugas dengan baik� misalnya memberikan sejumlah uang atau barang. Akibatnya sering terjadi ketimpangan jumlah remisi antara satu napi dengan napi lainnya. Napi yang berduit umumnya memiliki remisi yang lebih banyak daripada napi dari golongan miskin. Terakhir, pungutan untuk tamu atau pengunjung. Ketika ada keluarga atau tamu ingin mengunjugi napi di penjara ternyata ada pungutan �tidak resmi� yang seolah-olah telah terstandarisasi. Untuk sekali kunjugan, tamu yang akan mengunjungi sanak saudaranya dalam penjara dikenakan biaya antara Rp10 ribu hingga Rp50 ribu. Petugas maupun napi binaan juga sering mengutip uang terutama bagi mereka yang diketahui telah menerima sejumlah uang dari sanak saudaranya. Tamu juga dapat mengunjungi napi di kamar penjara dan tanpa terikat jam kunjungan, dengan membayar sejumlah uang suap yang lebih besar. Keterbatasan, ketidaknyamanan, dan lemahnya pengawasan serta rendahnya kesejahteraan para petugas lapas dan integritas yang buruk dinilai menjadi faktor pendorong masih maraknya korupsi di penjara hingga saat ini. "Akibat praktik korupsi, istilah penjara sebagai Hotel Prodeo (gratis) sudah tidak tepat dalam kondisi saat ini. Karena tidak ada yang gratis selama dipenjara dan muncul adagium �sepanjang ada uang semuanya bisa diatur,� terang Emerson.(M Purwadi/Koran SI/ram) sumber : Spoiler for sini:
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|