TEMPO Interaktif, Jakarta - Terkait insiden Cikeusik dan Temanggung, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengkritik Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo. Timur dinilai tak mampu menggerakkan bawahannya untuk mencegah kerusuhan yang sebenarnya telah dilaporkan intelijen tiga hari sebelum peristiwa.
�Sejak pergantian Pak Timur, dia belum bisa menjalankan fungsi antar lembaga di kepolisian,� kata Widodo, saat dihubungi Tempo, via telepon selulernya, Sabtu (12/2).
Menurutnya, kewibawaan Kepala Polri belum sepenuhnya diterima para pejabat Polri. Perintah dari atasan kepada Bareskrim, Intelijen, dan juga Brimob, akhirnya berjalan lambat.
Lemahnya peran pemegang kendali koordinasi itu, kata Bambang, berdampak buruk hingga pada kesatuan paling redah, Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas). �Seharusnya Babinkamtibmas ini yang maju lebih dulu, memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar tidak melakukan kekerasan,� katanya.
Insiden Cikeusik terjadi Ahad pagi, pekan lalu, yang mengakibatkan tiga anggota Ahmadiyah tewas dibunuh sekelompok massa di Kecamatan Cikeusik, Pandegelang, Banten. Dua hari berikutnya, terjadi pembakaran tiga gedung gereja di Temanggung, Jawa Tegah.
Menurut Bambang, selain soal figur, kelemahan lain menyangkut manajemen operasional kepolisian dalam menerjemahkan informasi intelijen. Bambang menyorot pimpinan kesatuan, seperti tingkat Kapolres dan Kapolda. Bambang yakin, data dari intelijen sudah sampai ke pimpinan kesatuan itu sebelum peristiwa terjadi.
Artinya, kata Bambang, seharusnya pimpinan sudah bisa menghitung kemampuan pasukan yang disiapkan dalam menghadai tantagan massa, kesatuan apa saja yang dilibatkan, dan berhitung besar kecilnya kesatuan, serta perlengkapan pengamanan yang digunakan.
Bambang menyarankan Kapolri belajar dari insiden Cikeusik dan Temanggung. �Dia harus mengubah gaya kepempimpinannya. Jika tidak, bisa carut marut kepolisian,� imbuhnya.
Hamluddin