Terdapat tiga lapisan dalam proses pembangunan bangsa yaitu:
Pada lapisan pertama dan paling bawah, adalah etnik atau suku bangsa, yang merupakan komunitas antropologis dan menjadi tumpuan dasar bangsa dan negara. Sistem nilai kultural etnik atau suku bangsa ini mempunyai arti psikologis dan sosiologis yang penting karena ikut membentuk pribadi warganya, di manapun mereka berada, baik sebagai warga negara biasa maupun sebagai penyelenggara negara (Linton, 1962, Sherman dan Kolker, 1987). Eksistensi etnik atau suku bangsa ini dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh hukum internasional hak asasi manusia. Bila keadaan berjalan secara normal, kehidupan etnik ini berjalan secara diam-diam dan tidak tampil ke permukaan.
Pada lapisan kedua, adalah bangsa sebagai komunitas politik, yang dibentuk secara sengaja secara artifisial melalui suatu kontrak politik dan oleh karena itu merupakan produk sejarah, dan karena itu �sesuai dengan peringatan Ernest Renan� harus dipelihara setiap hari, baik oleh setiap warga negara maupun oleh para penyelenggara negara.
Benedict R.O.G Anderson memperingatkan bahwa bangsa hanyalah suatu komunitas imajiner yang hanya ada dalam alam pikiran kita, yang selain memerlukan kemampuan memvisualisasikannya juga menghendaki perwujudan konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa dapat digambarkan sebagai suatu wadah besar dengan ruang gerak yang lebih luas bagi setiap orang, yang melintasi keterbatasan etnik, ras, agama, warna kulit atau jenis kelamin.
Pada lapisan ketiga adalah negara, sebagai suatu subyek utama hukum internasional, yang bersamaan dengan mempunyai kewenangan untuk membangun dan menegakkan hukum nasionalnya ke dalam negeri, juga harus patuh pada hukum internasional, baik hukum internasional tertulis maupun hukum internasional tidak tertulis. Dalam pergaulan internasionl, negara diwakili oleh pemerintah yang sah menurut undang-undang dasar negara itu.
Dalam suatu bangsa yang secara kultural bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia, suatu masalah konstan yang amat krusial dan karena itu harus ditangani secara amat bijaksana adalah hubungan antara pemerintah pusat dengan berbagai etnik yang merupakan komponen utama dari rakyat. Suatu anak masalah yang melekat erat dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa kekuasaan politik dan pemerintahan yang akan menentukan nasib orang banyak akan selalu berada dalam tangan tokoh-tokoh etnik mayoritas, yang bisa peka dan bisa sama sekali tidak peka terhadap aspirasi dan kepentingan yang absah dari demikian banyak etnik bangsa yang bersangkutan.
Untuk Indonesia, masalah ini amat sangat penting. Demikian banyak masalah konflik vertikal antara pemerintah pusat, yang hampir selalu dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional dari etnik Jawa yang menganut kultur politik otoritarian, bersumber dari ketidakpekaan pada masalah ini. Dalam visi tradisional Jawa, Jawa-lah yang merupakan pusat dunia. Selain Jawa adalah mancanegara dan tanah seberang, yang bukan saja dipenduduki oleh manusia kelas dua tetapi juga berperadaban rendah.
Dengan amat jelas kedua penulis, Ann Gregory dan DeWitt Ellinwood, menegaskan bahwa faktor penentu terletak pada kebijakan pemerintah pusat tentang kebudayaan, kelembagaan, dan alokasi sumber daya (baca: ekonomi). Dengan perkataan lain, kebijakan pemerintah pusat adalah merupakan independent variable.
