TEMPO Interaktif, Tripoli - Aktivis antipemerintah di Libya kemarin menggunakan situs jejaring sosial untuk menggalang dukungan menentang rezim yang berkuasa. Mereka bergerilya menggelar protes besar-besaran yang disebut "Hari Kemarahan".
Jejaring sosial Facebook bertema "Hari Kemarahan" di Libya telah menjaring anggota sebanyak 9.600 pasca-kerusuhan di Benghazi. Dukungan di media sosial itu diperkirakan terus bertambah seiring dengan memanasnya ketegangan di negara yang dikuasai rezim Moammar Gaddafi itu.
Cara rakyat Libya sepertinya meniru keberhasilan masyarakat Mesir menjungkalkan pemimpin diktator yang telah berkuasa selama 30 tahun, Hosni Mubarak. Dalam sebuah wawancaranya dengan CNN, tokoh kunci gerakan oposisi Mesir yang juga seorang eksekutif Google, Wael Ghonim, mengatakan ini sebuah gerakan online. "Kemenangan media sosial telah bergulir," katanya.
Pemerintah Libya tak tinggal diam. Mereka berencana menutup fasilitas Internet di kawasan itu. Gaddafi dalam sebuah wawancara mengatakan, kerusuhan di Timur Tengah hingga Arab disebabkan intervensi asing. "Asing tengah mengeksploitasi kami," katanya. Sejumlah massa pro-Gaddafi pun menggelar aksi serupa guna meredam gerakan antipemerintah.
Protes di Libya sejak Selasa malam lalu sedikitnya telah menewaskan beberapa demonstran. Adapun puluhan lainnya dilaporkan luka-luka. Pasukan keamanan terus berjaga-jaga. Mereka tak segan menangkap dan menembak para pengkritik pemerintah.
Dunia Barat bereaksi. Inggris dan Uni Eropa, yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami peningkatan hubungan dengan Libya, meminta Kekerasan dihentikan. "Libya seharusnya bisa menahan diri," kata Catherine Ashton, Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa.
Eropa, Ashton menambahkan, mendesak pemerintah Libya memfasilitasi kebebasan berekspresi warganya. "Kami meminta adanya ketenangan dan terbebas dari segala tindak kekerasan," kata Ashton.
Senada dengan juru bicara kantor Kementerian Luar Negeri Inggris, Alistair Burt, yang mengatakan Libya harus menghormati hak berkumpul dengan damai. "Kekerasan tak akan menyelesaikan masalah," katanya.
Kini pergolakan tak hanya terjadi di Libya. Iran dan Bahrain adalah negara terakhir yang tengah dirundung aksi demonstrasi menumbangkan rezim berkuasa.
Reuters | BBC | Rudy P