
24th February 2011
|
 |
Member Aktif
|
|
Join Date: Nov 2010
Posts: 261
Rep Power: 237
|
|
MA Minta Pembahasan UU Penghinaan Pengadilan Dipercepat
TEMPO/Tommy Satria
TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menyatakan kekerasan di pengadilan, baik di dalam maupun di luar sidang, sudah mengkhawatirkan. Ketua MA Harifin A. Tumpa meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memprioritaskan pembahasan Undang-Undang Penghinaan Pengadilan (contempt of court). �Kami semua merasa miris,� ujar Harifin dalam konferensi pers seusai memberikan laporan akhir tahun di Mahkamah Agung, Kamis (24/2)
Harifin menuturkan kekerasan di pengadilan karena adanya pemaksaan rasa keadilan atas nama kelompok atau pribadi. Mereka, dia melanjutkan, tak puas dengan putusan pengadilan sehingga memaksakan kehendaknya. "Ini hal yang harus dicegah," kata Harifin berharap.
Menurut Harifin, berbicara keadilan, artinya harus melalui proses hukum. Sehingga orang yang berbicara soal keadilan, tentunya harus melalui proses hukum yang benar.
Kepolisian, dia melanjutkan, harus ikut membantu menjaga keamanan di pengadilan. Sebab, pengadilan harus independen, termasuk bebas dari ketakutan. Maka lahirnya Rancangan Undang-Undang Penghinaan terhadap Pengadilan diharapkan dapat membebaskan dari rasa takut sehingga pengadilan tetap independen.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) mencatat sejak September 2005 telah terjadi 30 kekerasan di pengadilan, baik di dalam ruang persidangan maupun di luar. Ketua KRHN Firmansyah Arifin menilai sudah saatnya Komisi Yudisial berinisiatif ke Makamah Agung dan Kepolisian agar membuat sistem untuk mencegah dan mengantisipasi kekerasan di pengadilan. Sebab, Firman menambahkan, kekerasan di pengadilan sudah menelan korban. Misalnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat itu, pengadilan sedang menyidangkan kasus pembunuhan Manajer Hotel Klasik Didi Pontoh dengan terdakwa James Fentury pada 21 Oktober 2008. Kejadian itu menelan korban Stenly Mukuan yang terbunuh seusai persidangan.
Dianing Sari
|