FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Save Our Planet Forum diskusi tentang penyelamatan lingkungan hidup, tips, dan ide untuk GO Green |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Permasalahan lingkungan, terutama perubahan iklim, saat ini telah menjadi salah satu isu terbesar dunia, karena dapat menjadi ancaman global dan serius bagi keamanan manusia (human security). Berbagai dampak negatif dari pemanasan global mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia. Permasalahan lingkungan telah terjadi baik di tingkat internasional (global), regional, nasional maupun lokal.
Dampak meningkatnya pemanasan global yang telah terjadi di antaranya adalah naiknya permukaan air laut, terjadi penipisan lapisan ozon, perubahan iklim, bencana banjir dan cuaca ekstrim yang telah terjadi di berbagai daerah. Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai pihak di antaranya LIPI, bahwa pihak yang paling merasakan dampak pemanasan global dan perubahan iklim adalah negara dunia ketiga, khususnya kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi, di mana di dalamnya terdapat kelompok perempuan dan anak-anak. Sayangnya sejauh ini kesadaran akan pentingnya melibatkan perempuan ke dalam berbagai pengambilan keputusan mengenai kebijakan lingkungan belum tampak nyata. Padahal, berdasarkan beberapa penelitian masalah lingkungan, khususnya pemanasan global (global warming) memiliki implikasi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan (Poskupang,26/11 / 2010). Kerusakan lingkungan Kerusakan lingkungan jika kita tidak serius menanganinya dapat berubah menjadi bencana yang lebih besar. Komitmen dan tindakan nyata dalam menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang benar tidak boleh hanya di tataran wacana. Implementasi kebijakan lingkungan secara konsisten dan konsekwen haruslah menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar lagi .Namun, fakta perilaku sebagian masyarakat dunia adalah sebaliknya. Revolusi Industri di Eropa pada tahun 1800-an menyebabkan meningkatnya intensitas penggunaan energi, pembakaran batu bara, minyak bumi dan gas. Hal ini secara kumulatif mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfir, khususnya CO2, gas metan dan lain-lain. Demikian juga penebangan hutan yang tidak mempertimbangkan kemampuan daya dukung semakin memperparah keadaan. Meningkatnya konsentrasi GRK ini menimbulkan efek rumah kaca (green-house effect). Akibatnya, temperatur permukaan bumi meningkat tajam. Diperkirakan suhu akan naik dari 0,74 derajat Celcius (tahun 1800-an) menjadi 6.4 derajat celcius pada tahun 2100-an (UNFPA, 2009). Kenaikan suhu tersebut menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan mengancam kelangsungan hidup daerah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil. Indonesia termasuk salah satu negara yang terancam akan kehilangan lebih dari 2000 pulau-pulau kecilnya pada tahun 2030 nanti. Selain itu, pemanasan global telah meningkatkan potensi dan intensitas terjadinya bencana alam seperti tanah longsor, tsunami, kekeringan dan banjir di sejumlah wilayah, juga meningkatnya potensi penyakit seperti malaria,kolera dan diare. Negara-negara yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana adalah Asia Selatan dan gurun Sahara (Afrika). Negara-negara tersebut sebelumnya telah terkenal dengan tingginya tingkat kemiskinan dan kelaparan. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh sulitnya memperoleh air bersih dan rendahnya fasilitas sanitasi serta pelayanan kesehatan. Dampak pemanasan global terhadap perempuan Dampak peningkatan pemanasan global tidak diragukan lagi sangatlah destruktif. Berdasarkan penelitian terhadap 141 negara oleh The London School of Economics and Political Science pada tahun 1981-2002 menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan erat antara pemanasan global dan keadaan ekonomi perempuan. Pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim telah memunculkan beragam perubahan negatif pada alam yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pergeseran cuaca dan iklim juga mengakibatkan gagalnya panen dan merubah pola tanam petani. Akibatnya, panen menjadi tidak optimal dan menurunkan kesejahteraan petani yang umumnya adalah masyarakat miskin. Mayoritas masyarakat miskin tersebut adalah perempuan, yang umumnya bekerja disektor pertanian dan sektor informal. Akibatnya, semakin terjadi peningkatan ketidaksetaraan gender karena perempuan harus menanggung beban tanggung jawab ganda, yaitu sebagai penanggung jawab keluarga dan pencari nafkah tambahan untuk kelangsungan hidup keluarga. Pemanasan global memiliki dampak sosial ekonomi pada perempuan. Data-data menunjukkan tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban dari berbagai fenomena alam akibat pemanasan global. Fenomena angin kencang (puting beliung) dan gelombang pasang tinggi yang sering terjadi, mengakibatkan masyarakat pesisir banyak kehilangan kesempatan melaut serta komunitas perempuan juga kehilangan kesempatan mendapatkan kerang,rumput laut dan komoditas pantai. Gelombang ekstrim pernah terjadi dalam bentuk tsunami.Sebagai contoh bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 ,70 persen dari sekitar 200 ribu korban meninggal adalah perempuan. Ketika terjadi peningkatan gelombang panas di Perancis pada tahun 2003 perempuan merupakan 70 persen dari 15,000 korban meninggal. Demikian juga korban badai Katrina di Amerika Serikat (AS) adalah mayoritas perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika, yang termasuk kategori masyarakat miskin di USA (LIPI, 22/1/2010). Berdasarkan fakta tersebut, menunjukkan bahwa dampak dari pemanasan global berimplikasi terhadap meningkatnya kemiskinan di kalangan perempuan karena terkait dengan pembagian kerja bagi perempuan. Kebanyakan perempuan bekerja di sektor informal dan pertanian yang sangat rentan secara ekonomi akibat perubahan alam. Keduanya tergolong sektor dengan tingkat kerusakan terparah ketika terjadi suatu bencana alam. Akibat bencana, para perempuan yang menggantungkan hidupnya di kedua sektor tersebut menderita kerugian yang luar biasa karena kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin. Di samping itu, implikasi bencana alam bagi kaum perempuan yang menjadi orang tua tunggal (single parent) kondisinya semakin parah. Meskipun mereka cenderung lebih bebas dalam membuat keputusan. Bencana alam yang menyebabkan hilangnya sumber mata pencahariaan semakin memperparah kondisi ekonomi mereka. Banyak perempuan di Bangladesh juga di beberapa negara miskin lainnya telah menjadi orangtua tunggal sekian lama dan berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya di tengah potensi ancaman bencana banjir yang kerap terjadi dinegara tersebut. Para perempuan tersebut dengan �terpaksa� menjadi kepala keluarga karena suami-suami mereka bermigrasi ke negara lain untuk bekerja,meninggal atau bercerai. Di samping sistem pengupahan kerja yang diskriminatif untuk perempuan (buruh perempuan cenderung dibayar lebih murah), kemiskinan yang diakibatkan oleh bencana alam juga terjadi di kalangan perempuan karena mereka tidak atau hanya sedikit memiliki aset ekonomi, seperti lahan. Data dari Institute for Social and Environmental Transition menjelaskan, ternyata secara global hanya kurang dari 2 persen perempuan dunia yang memiliki aset lahan. Pada kondisi darurat aset-aset tersebut dapat dikelola atau dijual sehingga bermanfaat untuk menopang hidupnya dan membantu memulihkan kondisi ekonominya pascabencana. Oleh karena itu, ketika perempuan tidak memiliki kekuatan ekonomi karena minimnya aset yang dimiliki maka perempuan tidak memiliki banyak peluang untuk memperbaiki kondisi ekonominya, termasuk dalam situasi darurat seperti pascabencana. Peran Perempuan dalam agenda pengurangan pemanasan global Pemanasan global telah dicermati memiliki implikasi sosial-ekonomi bagi perempuan. Di sisi lain perempuan dapat memainkan perannya sebagai kekuatan penggerak penurunan pemanasan global. Berdasarkan beberapa penelitian tentang lingkunagan (environmental sustainability) perempuan dapat berperan sebagai agent of change yang dapat merespons perubahan lingkungan dengan lebih baik daripada laki-laki karena sifat �memelihara� yang dimiliki perempuan, diantaranya dengan berperan aktif dalam situasi bencana alam. Perempuan yang berposisi sebagai decision makers atau leader berperan penting untuk mendorong pengintegrasian perspektif perempuan dalam berbagai kebijakan terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Penyataan akan pentingnya perspektif gender telah muncul dalam the Hyogo Framework of Action sebagai hasil dari the World Conference on Disaster Reduction States yang diselenggarakan PBB pada tahun 2005. Terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa �a gender perspective should be integrated into all disaster risk management policies, plans and decision-making processes, including those related to risk assessment, early warning, information management, and education and training�. Hal ini menunjukkan keseriusan PBB dalam menghimbau pemerintah negara-negara untuk menghasilkan berbagai kebijakan pemanasan global perubahan iklim yang terintegrasi dengan isu gender dan keamanan manusia. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa perempuan telah mampu memainkan peran yang sejalan dengan isu lingkungan, yaitu mitigasi dan adaptasi. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki pengalaman, naluri dan pengetahuan akan local wisdom (kearifan lokal) dalam menjaga kelestarian hutan, alam dan lingkungan. Upaya mitigasi terkait dengan langkah pencegahan atas dampak pemanasan global, di antaranya dengan mengurangi emisi gas dan memperkecil kadar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir. Pengalaman di India menunjukkan bahwa kebijakan mitigasi dalam bentuk penekanan pentingnya konservasi lingkungan di tingkat masyarakat akar rumput, ternyata telah mampu mendorong masyarakat India mengurangi pemanasan global. Indonesia dengan Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon yang berkontribusi mengurangi kadar GRK khususnya CO2 di udara sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global. Bentuk komitmen kaum perempuan adalah aktivitas kepedulian dalam menyelamatkan dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, dengan mencegah pencemaran dan perusakan yang diakibatkan oleh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Di mana kegiatan tersebut secara langsung berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Beberapa perubahan perilaku dapat dilakukan misalnya, upaya mitigasi terhadap pemanasan global dengan penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon, melalui gerakan penanaman pohon, penyelamatan ozon melalui penggunaan kosmetik yang alami tanpa gas pendorong seperti misalnya hair spray dan parfum. Upaya adaptasi terhadap pemanasan global dengan membuat ruang terbuka hijau di halaman rumah. Misalnya seluas 10 persen dari luas lahan. Di samping itu juga melaksanakan hemat penggunaan air, listrik dan gas serta penggunaan energi alternatif seperti misalnya energi biogas, matahari ataupun air. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah membudayakan, dan melaksanakan perilaku 3R, yaitu reduce (mengurangi produksi sampah), reuse (menggunakan lagi barang bekas), recyle (mendaur ulang). Hal tersebut tidak hanya akan menyelamatkan lingkungan, tetapi juga berpotensi menghasilkan nilai ekonomi, dan pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga. Semua itu diharapkan tercipta lingkungan yang bersih, teduh dan aman serta memahami arti penting kelestarian fungsi lingkungan hidup. Membudayakan penggunaan produk produk ramah lingkungan serta berinovasi dalam teknologi, seperti kompos, biogas, biopori dan biofuel. SUMBER |
![]() |
|
|