
dok.Surya Sejumlah PSK dipajang di Gang Dolly Surabaya.
Suara sirene berbunyi sambung-menyambung. Dimulai dari sebuah wisma, raungan sirene itu dengan cepat menjalar ke wisma-wisma lain di Gang Dolly. Raungan kemudian bersambung ke deretan wisma Jl Jarak, lokalisasi yang masih satu kompleks dengan Dolly.
Suasana happy-happy malam Minggu (26/4/2014) di kompleks prostitusi yang paling tersohor di Surabaya ini langsung berubah. Raungan sirene yang muncul dimana-mana membuat penghuni dan pengunjung tegang.
Suara musik yang masih mengalun keras tak lagi bisa mereka nikmati. Sirene itu seakan mengajak mereka bersiap-siap karena bahaya sudah dekat.
Ada sekitar 10 sirene yang terpasang di halaman wisma-wisma di Dolly. Jumlah sirene lebih banyak terpasang di lokalisi Jarak, yang tempatnya hanya dipisah jalan.
�Sirene ini seperti kentongan kalau di desa. Suaranya adalah tanda peringatan bahaya,� kata Iwan, warga setempat.
Bahaya yang dimaksud Iwan ternyata adalah rencana kedatangan ratusan petugas yang akan merazia Dolly dan Jarak. Mereka gabungan dari Satpol PP Pemkot Surabbaya, kepolisian dan TNI menggelar apel persiapan razia.
Kedatangan pasukan ini menjadi momok. Lebih-lebih sejak Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan Gubernur Jatim Soekarwo memutuskan untuk menutup kawasan esek-esek itu.
Keduanya menetapkan 19 Juni 2004 sebagai hari eksekusi. Itu berarti 49 hari lagi, ribuan penjaja seks komersial (PSK) harus keluar dari kompleks yang dirintis nonik Belanda Dolly van der Mart itu.
Ide pemasangan sirene itu muncul seiring mencuatnya isu penutupan lokalisasi Dolly-Jarak. Langkah itu merupakan bagian dari protes sekaligus perlawanan kelompok penentang penutupan Dolly-Jarak.
Sebaliknya, bagi warga yang pro-penutupan, justru berharap petugas tidak takut. Mereka harus jalan terus untuk menutup bisnis yang mereka nilai bertentangan dengan moral itu