FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Nasional Berita dalam negeri, informasi terupdate bisa kamu temukan disini |
![]() |
|
|
Thread Tools |
#1
|
|||
|
|||
![]()
Sungguh menakjubkan, bahwa jika sungguh - sungguh dijabarkan, tiga unsur konstitutif negara menurut Konvensi Montevideo 1933 tersebut akan berkembang menjadi 14 keterkaitan struktural, yang dapat diatur dan dikendalikan secara sistematis, koheren dan konsisten. Sejak tahun 1995 Bahar telah menyebarluaskan konsep operasional kehidupan berbangsa dan berbangsa ini
PEMERINTAH Lazimnya, pemerintahan suatu negara dipandang terdiri dari tiga cabang yang walau pun berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain, yaitu cabang legislatif, cabang eksekutif, dan cabang yudikatif. Cabang legislatif bisa disusun secara unikameral bisa juga bikameral. Cabang eksekutif bisa disusun menurut sistem pemerintahan parlementer bisa juga menurut sistem pemerintahan presidensil. Dalam sistem pemerintahan presidensil, pemerintah adalah presiden, dibantu oleh wakil presiden, para menteri, panglima dan kepala staf, kepala lembaga pemerintah non departemen. Cabang yudikatif biasanya bersifat independen dari dua cabang pemerintahan lainnya. Tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan mana pun juga adalah: bagaimana caranya para negarawan suatu negara mampu menjaga integrasi intra- dan antar elite sedemikian rupa, sehingga seluruh perhatian serta energi mereka bisa diarahkan secara berkesinambungan dan melembaga, untuk tercapainya cita-cita nasional, tujuan nasional, serta sasaran-sasaran nasional. RAKYAT Pertama, umumnya seluruh etnik ini mempunyai sejarah, adat istiadat, kebudayaan, serta wilayah kampung halaman mereka sendiri (homeland), yang eksistensinya secara konstitusional dijamin oleh pasal 18 dan 32 Undang-Undang Dasar 1945. Rezim kolonial Hindia Belanda dahulu mengadakan studi yang mendalam mengenai etnologi, antropologi,serta hukum adat (ter Haar, 1950), yang kelihatannya agak diabaikan oleh pemerintahan Republik Indonesia. Akibat dari pengabaian, baik sengaja maupun tidak sengaja ini, sungguh merugikan, oleh karena pemerintah serta seluruh jajarannya bukan saja tidak memahami tetapi juga bisa terasing dari dinamika kehidupan rakyatnya yang bermasyarakat majemuk ini. Keterasingan tersebut bukan saja dapat menyebabkan pemerintah mempunyai gambaran yang keliru, tetapi juga dapat menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan dan tindakan yang keliru. Dari kekeliruan tersebut akan timbul konflik vertikal, yang memang telah terjadi secara berkepanjangan sejak tahun 1946 sampai sekarang. Kedua, dewasa ini seluruh etnik yang ada di suatu negara, khususnya yang masih berdiam dikampung halamannya masing-masing, mendapat perhatian dan perlindungan hukum internasional hak asasi manusia. Dasawarsa antara 1994-2004 dinyatakan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai International Decade of the Indigenous Peoples. Badan dunia tersebut menunjuk seorang Special Rapporteur untuk menekuni masalah etnik dan masyarakat hukum adat ini. Ketiga, setiap pemerintah harus hati-hati untuk melakukan kekerasan terhadap suatu etnik, oleh karena tindakan kekerasan yang dapat menyebabkan terbunuhnya warga etnik ini secara yuridis dapat termasuk dalam genocide, yang akan termasuk dalam kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). WILAYAH NEGARA Sungguh mengherankan, bahwa seperti juga dengan kecilnya minat terhadap kemajemukan rakyat kita, demikian jugalah kecilnya perhatian terhadap wilayah kita yang amat luas. Hal ini tidak bosan-bosannya diingatkan oleh Dr. Hasjim Djalal dari Departemen Luar Negeri. Demikianlah pulau Sipadan dan Ligitan, yang dibiarkan saja dieksploitir kerajaan Malaysia, yang berdasar asas effective occupation sekarang ini diserahkan oleh Mahkamah Internasional kepada kerajaan tersebut. Kekayaan kita di laut, yang na�udzubillah besarnya, dijarah dengan tenang-tenang saja oleh kapal-kapal Thailand, sebagian dengan izin dan sebagian lagi tanpa izin pemerintah. Dewasa ini beberapa pakar hukum laut serta pengamat sudah menengarai bahwa Indonesia akan dapat kehilangan pulau-pulau lainnya, antara lain di kepulauan Natuna. Lebih dari itu, sungguh mengherankan bahwa sebagai negara kepulauan, Republik Indonesia tidak mempunyai suatu Coast Guard. Mungkin bisa kita pertanyakan: mengapa demikian kecil minat pemerintah terhadap rakyatnya yang demikian banyak dan wilayahnya yang demikian luas? Mungkin bahwa faktor penyebabnya terletak pada sistem nilai dari kultur politik Jawa yang dijelaskan demikian gamblang oleh Soemarsaid Murtono, dan dijabarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Prof. Mr. Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. ![]() ![]() |
#2
|
||||
|
||||
![]()
nice info ndan...
![]() |
#3
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya
|
#4
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya2
|
#5
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya3
|
#6
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya4
|
#7
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya5
|
#8
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya6
|
#9
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya7
|
#10
|
|||
|
|||
![]()
thank you infonya8
|
![]() |
|
|
|